Kolombia 9: Adios Bogota!

Hari terakhir di Bogota. Menikmati pagi dengan sarapan di trotoar dan tertahan di imigrasi Bogota yang sempat bikin deg-degan. Kelanjutan dari cerita sebelumnya di sini.

Teet!

Mesin itu berbunyi dan menampilkan warna merah di layar. Saya coba lagi, mendekatkan pelan-pelan paspor saya ke pemindai, tapi tetap saja. Hasilnya sama. Warna merah, dan tulisan dalam bahasa Spanyol yang saya tidak tahu artinya. Tapi saya yakin itu tanda kalau ada yang salah dengan paspor saya.

Seorang petugas mendatangi saya. Pria dengan kumis tipis yang ujungnya melengkung. Unik sekali tampakannya. Andai saja dia bukan petugas imigrasi, saya ingin memuji kumisnya. Sayangnya, ini bukan saat yang tepat untuk bercanda.

Membuka Pagi di Hari Terakhir

Pagi hari terakhir di Bogota. Saya memilih mencari sarapan di kafe, ingin tahu suasana coffee shop  di Bogota seperti apa. Saya mencari lewat Google dan ada beberapa coffee shop yang buka dari jam 7. Penerbangan saya masih jam 14:15 siang, jadi masih ada waktu lowong untuk menikmati Bogota sebelum ke bandara.

Saya keluar hotel berbelok ke kanan ke arah utara, berjalan jauh ke area yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Sambil video call saya terus berjalan, mencoba memperlihatkan suasana Bogota di pagi hari kepada Mamie yang sudah malam di Makassar.

Saya terus berjalan sambil mengingat-ingat petunjuk dari Google Maps, tapi sampai di titik yang ditunjuk Google Maps saya tidak menemukan coffee shop yang terbuka. Entah Google Maps yang berbohong, atau dia yang sudah ketinggalan informasi.

Sudahlah, saya coba mencari alternatif lain dan Google Maps menunjukkan satu coffee shop lain yang berjarak sekitar 800m. Mari kita ke sana.

Menyusuri jalanan di daerah Chico di pagi hari terasa menyenangkan. Sesekali berbaur dengan kerumuman orang yang buru-buru ke kantor. Saya masuk ke daerah pemukiman yang berisi apartemen dan rumah-rumah yang sepertinya rumah kelas atas. Sebagian besar dindingnya bata ekspos dengan arsitektur yang terlihat minimalis tapi menarik. Beberapa pekerja lapangan – sepertinya pekerja kabel – sedang bekerja di tepi jalan. Pakaian mereka lengkap dengan helm proyek dan rompi berwarna oranye.

Agak jauh berjalan, pandangan saya tertuju pada sebuah warung makan di tepi jalan. Di depannya ada tenda dan meja makan serta kursinya. Sepertinya menarik. Saya memutuskan untuk mampir di sana saja, daripada ke coffee shop yang ditunjukkan Google.

warung makan tepi jalan
Warung makan yang menyediakan sarapan

Jadilah saya mampir ke rumah makan itu, memesan kopi americano dan memilih dua cemilan yang ada di lemari display. Saya tidak tahu apa namanya, saya hanya menujuk yang tampilannya menarik. Dua-duanya seperti gorengan.

Sarapan di Trotoar

Saya duduk di meja di depan warung itu. Tidak lama, pelayan datang membawakan satu gelas kopi americano dan satu piring berisi dua gorengan yang saya pesan. Satu gorengan bentuknya bulat besar yang isinya ternyata berasa agak aneh. Entah apa isinya, mungkin seperti daun-daunan yang dicampur dengan kentang. Di dalamnya juga ada satu telur utuh. Ada juga sambal di tempat kecil yang rasanya juga aneh. Mungkin karena campuran daun-daunnya itu yang entah apa. Tapi sebenarnya rasanya lumayan juga, rasa aneh itu tetap bisa saya kesampingkan dan dua gorengan itu bisa saya habiskan.

Duduk di depan warung makan, di atas trotoar itu cukup menyenangkan. Saya bisa sarapan dengan santai, menyesap kopi dan merokok santai sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang.

Makin lama warung itu makin ramai. Banyak yang orang berhenti membeli kopi dan cemilan. Beberapa di antaranya juga duduk di meja yang kosong, sisanya makan sambil berdiri dan bahkan langsung berjalan. Di seberang tempat saya duduk ada pusat perbelanjaan yang tidak terlalu besar. Karena masih pagi jadi pusat perbelanjaan itu belum buka.

Kira-kira sejam lebih saya menghabiskan waktu sarapan di trotoar itu. Menikmati pagi terakhir di Bogota.

Hari Pertandingan

Selesai sarapan saya kembali berjalan ke utara, menjauh dari hotel. Ini benar-benar area baru yang belum saya datangi sebelumnya. Makin ke utara makin ramai karena di sana ada banyak tempat perbelanjaan dan toko. Mungkin karena masih pagi jadi belum semuanya buka, tapi orang yang berlalu-lalang sudah cukup ramai.

Di antara orang-orang yang lalu lalang itu beberapa di antaranya mengenakan kaos tim nasional sepakbola Kolombia. Warna kuning cerah. Saat saya di sana, Kolombia sedang bertarung di Copa America, dan hari itu Kolombia akan menghadapi Kosta Rika. Pantas saja banyak yang lalu lalang dengan kaos tim nasional Kolombia.

Di tepi jalan juga ada banyak pedagang kaki lima yang menjual jersey tim nasional dan bendera Kolombia. Saya mencoba menanyakan harga satu kaos tim nasional Kolombia yang saya yakin itu KW, bukan kaos asli. Kata penjualnya COP120.000,- atau sekitar Rp.440.000,-. Mahal menurut saya untuk sebuah kaos KW. Jadi niatan untuk membeli kaos tim nasional itu saya urungkan.

jualan jersey
Pedagang jersey di pinggir jalan

Kolombia juga termasuk negara yang sangat menggilai sepakbola, sama seperti sebagian besar negara Amerika Selatan. Di level tim nasional, prestasi mereka juga cukup mentereng meski tidak semengkilap Brazil atau Argentina misalnya. Kolombia kerap menjadi kuda hitam, apalagi di periode 90an ketika diperkuat oleh pemain seperti  Faustino Asprilla, Carlos Valderrama, dan Rene Higuita. Terakhir mereka punya pemain bagus sekelas James Rodriguez yang pernah main di Real Madrid.

Menuju Bandara

Setengah 11 siang saya ke bandara. Hari itu saya tidak sendirian karena Celest, teman dari Filipina juga berangkat dengan pesawat yang sama. Kami menumpang KLM yang akan membawa kami ke Amsterdam. Di Amsterdam saya akan transit 10 jam, dan Celest transit 8 jam. Lumayan lama.

Kami ke bandara dengan taksi milik hotel. Harganya COP60.000,-. Sayang supirnya tidak bisa bahasa Inggris, jadi sekali lagi saya gagal mewawancarai supir tentang Bogota. Padahal biasanya kita bisa mengulik banyak cerita unik tentang sebuah kota dari supir.

Sepanjang jalan ke bandara beberapa kali kami melihat pedagang kaki lima yang menjajakan bendera dan jersey Kolombia. Suasana hari pertandingan sangat terasa.

“Senor, today Colombia versus Costa Rica, right?” Tanya saya mencoba membuka percakapan dengan si bapak supir.

Awalnya agak susah, dia tidak mengerti arah pertanyaan saya. Tapi kemudian ketika dia mengerti, dari arah kursi depan dia coba memamerkan sesuatu. Dia memiringkan jaketnya dan seperti berusaha memperlihatkan sesuatu. Saya mendongak, dan berhasil melihat logo persatuan sepakbola Kolombia di kaos si bapak. Jadi di bawah jaketnya dia memakai jersey timnas Kolombia berwarna merah. Kami tertawa bersama.

Ketika berpisah di bandara dia memamerkan jersey-nya. Membuka kancing jaketnya dan memperlihatkan jersey merah berlogo persatuan sepakbola Kolombia.

“Vamos Colombia!” kata saya sambil menjabat tangan si bapak. Kami tertawa berbarengan.

Tertahan di Imigrasi

Setelah check in, kami bergerak ke pintu masuk dan melewati imigrasi. Beberapa alat pemindai otomatis menyambut para penumpang yang bukan warga Kolombia. Warga Kolombia sendiri antre panjang di sisi berbeda.

Papan informasi

Ketika tiba giliran saya, saya maju ke satu mesin pemindai. Harusnya prosesnya sederhana saja. Paspor dipindai di mesih, lampu menyala hijau, dan palang terbuka. Tapi pas giliran saya ternyata tidak semudah itu. Mesin tetap menyala merah dan palang tidak mau terbuka. Sampai akhirnya petugas dengan kumis lucu itu menghampiri. Dia membantu saya memindai paspor, tapi tidak berhasil. Warna merah tetap terlihat.

“Kamu ke sana, ke petugas di ujung. Nanti dibantu sama dia,” katanya dengan sopan.

Di bagian ujung ada beberapa penumpang juga yang bernasib sama. Seorang petugas perempuan membantu mereka sampai akhirnya palang berwarna hijau dan mereka lolos. Ketika tiba giliran saya, warnanya tetap sama: merah. Di layar muncul tulisan kira-kira begini: it is impossible to proceed your passport. Paspor saya gagal terbaca.

Anjrit! Ada apa ini? Apa ada hubungannya dengan kebocoran data PDNS?

Terus terang saya mulai agak panik, takut paspor saya benar-benar tidak terbaca dan saya akan berurusan panjang dengan imigrasi Kolombia bahkan mungkin akan ketinggalan pesawat. Aduh!

“Kamu ikut antre di sana ya, nanti diperiksa manual,” kata petugas perempuan itu. Jadilah saya ikut mengantre bersama warga Kolombia. Antrean cukup panjang dan ketika melihat sekeliling sepertinya saya satu-satunya warga asing. Beberapa orang yang memegang paspor sepertinya memegang paspor Kolombia berwarna merah marun. Wah, ada apa ini? Tanya saya dalam hati. Sedikit rasa takut menyusup ke dada. Saya tidak mau ketinggalan pesawat dan harus tertahan menunggu tanpa kepastian di Bogota. Beruntung waktu keberangkatan masih cukup lama, masih dua jam lebih.

Ketika tiba giliran saya, saya berusaha santai. Petugas yang menerima saya seorang pria botak brewokan. Beruntung meski tampangnya cukup seram, dia kelihatan ramah. Dia bertanya apa benar nama saya hanya satu kata? Kenapa tidak ada surname-nya seperti kebanyakan orang lainnya. Setelah meneliti dengan baik paspor saya, dia memasukkan beberapa data ke komputernya.

“Tunggu di sini ya,” katanya sambil meninggalkan posnya entah ke mana. Saya masih agak gugup, tapi berusaha menenangkan hati. Semoga tidak ada yang salah.

Tidak sampai dua menit dia sudah datang kembali ke posnya. Membuka halaman paspor saya dan ceklek! Dia membubuhkan stempel.

“Okay, have a nice flight,” katanya sambil mengembalikan paspor saya. Pfiuh! Alhamdulillah. Tidak terbayang betapa leganya saya waktu itu.

Adios!

Sekitar 14:45 waktu Bogota, KL0741 perlahan meninggalkan Bogota menuju Cartagena. Dari Cartagena kami hanya transit sebentar mengambil penumpang lalu terbang 10 jam menuju Amsterdam.

Saya duduk di lorong jadi tidak sempat melihat Bogota untuk terakhir kalinya. Tapi dalam hati saya berucap, “Adios Bogota!” selamat berpisah. Terima kasih untuk hari-hari yang berkesan dan cukup menyenangkan meski hanya empat hari lima malam. Waktu yang sangat singkat memang untuk mengenal Bogota. Tapi kenangan-kenangan itu sangat berkesan buat saya. Tentunya ada penyesalan, kenapa tidak tambah hari? Kenapa tidak ke sana? Kenapa tidak ke sini? Tapi sudahlah, semua sudah diatur. Sempat ke Bogota saja sudah luar biasa buat saya.

Begini perjalanan saya ke Amsterdam

Entah kapan saya bisa ke sana lagi. Saya tidak mau bilang tidak mungkin, karena hidup adalah tempe. Tidak ada yang tahu. Apapun itu, adios Bogota! Hope I can see you again one day later [dG]