Aceh, Terbuat Dari Kopi dan Kehangatan

Apapun itu, saya senang bisa ke Banda Aceh. Menuntaskan perjalanan di Indonesia. Saya sudah pernah ke provinsi paling timur, dan sekarang sudah pernah menginjakkan kaki di provinsi paling barat.

“Saya sudah di bandara”

Pesan itu masuk begitu saya mengaktifkan data internet di handphone segera setelah masuk ke terminal kedatangan bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Pesan itu datang dari pak Saiful Mahdi atau kerap disapa SM. Beliau ini pernah cukup ramai dibicarakan di media sosial beberapa tahun lalu. Pasalnya, beliau jadi salah satu pesakitan gara-gara UU ITE. Beliau juga yang jadi laki-laki pertama yang mendapatkan amnesti dari presiden Joko Widodo terkait UU ITE.

Kedekatan kami terjalin dari kejadian itu. Sebelumnya kami banyak berinteraksi di ajang pertemuan para korban UU ITE yang tergabung di PAKU ITE. Beliau sangat antusias ketika tahu saya dan teman kantor akan ke Banda Aceh.

“Ini kunjungan pertama kalian ke Aceh, jadi harus dibuat berkesan,” katanya.

Dan jadilah beliau yang menjemput kami di bandara, meski kami tidak meminta. Koordinasi terakhir adalah saat saya di Jakarta dan beliau tanya estimasi mendarat jam berapa. Saya tidak punya bayangan kalau beliau akan menjemput.

Makan Ayam Pramugari

Tapi akhirnya pak SM menjemput kami. Dari bandara kami melaju ke arah kota Banda Aceh dengan mobil pak SM. Tapi di jalan tidak jauh dari bandara, mobil berbelok. Kami memang belum makan siang, dan pak SM langsung menawarkan untuk makan siang di warung makan dekat bandara. Namanya Cut Bit.

“Kita makan dulu,” katanya.

Banda Aceh sedang mati lampu siang itu. Sebenarnya bukan hanya Banda Aceh, tapi juga beberapa kota di Sumatera. Entah apa sebabnya, tapi di awal Juni itu Sumatera punya masalah listrik. Listrik mati berkali-kali di beberapa kota di Sumatera. Kadang sampai berjam-jam. Kami baru tahu kalau siang itu Banda Aceh juga dilanda mati listrik ketika kami minta kipas angin dinyalakan, tapi kata pelayan warung makan, “Lagi mati lampu pak.”

Jadi sudahlah, toh angin sepoi-sepoi masih lumayan mendinginkan. Warung makan di belakang bandara itu tidak punya dinding, jadi angin bisa berembus menyapa kami dengan bebasnya.

Tak berapa lama hidangan tersedia di meja. Saya hanya tahu satu nama; ayam pramugari. Sisanya ada semacam rendang dan kari. Bahannya daging ayam dan sapi. Awalnya saya penasaran, kenapa namanya ayam pramugari? Ternyata itu berasal dari kaki ayam yang jenjang, mungkin mengingatkan beberapa orang pada kaki pramugari yang rata-rata memang jenjang.

Ayam pramugari yang enaaaak!

Lalu bagaimana dengan rasanya?

Dari skala 0-10, saya memberi nilai 9! Ya, saya suka bahkan sampai menambah nasi. Rasanya memang tidak jauh beda dengan rasa masakan Padang. Ada rempah, ada santan, ada rasa daging yang renyah. Sluuurp! Sangat mengasyikkan!

Perjalanan 2,5 jam dari Jakarta atau 7 jam dari Makassar terbayar lunas dengan makan siang yang sungguh nikmat. Keringat bercucuran dari dahi, padahal angin sepoi-sepoi berembus pelan. Ah sebuah sambutan yang menyenangkan.

Kopi dan Kopi

Dari Cut Bit kami melanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh. Bandara Sultan Iskandar Muda ada di daerah Kabupaten Aceh Besar, mungkin sekira 16 km dari pusat kota Banda Aceh. Cukup jauh, tapi karena jalanan tidak padat maka bisa ditempuh kira-kira 20-25 menit.

“Kita mampir ngopi dulu ya,” kata pak SM.

Oke! Kopi memang jadi salah satu hal yang muncul di kepala saya setiap mendengar kata Aceh. Kultur ngopi  di Aceh sangat tinggi, dan kopi dari Aceh seperti Kopi Gayo atau Kopi Ulee Kareng sangat terkenal di antara para pecinta kopi. Banyak cerita tentang kopi Aceh yang sudah sering saya dengar, dan karena itu ajakan ngopi tentu tidak saya lewatkan.

Kopi Solong

Dan mampirlah kami di salah satu warung kopi paling terkenal di Banda Aceh, Kopi Solong. Warung kopi sederhana yang terletak di area Ulee Kareng, sebuah area yang terkenal sebagai pusat kopi di Banda Aceh.

Sebelumnya orang Aceh lebih suka menyesap kopi robusta yang pekat, tapi ketika tsunami datang di 2004 ada perubahan yang terjadi. Seorang pengusaha kopi dari Bali datang ke Aceh dan membuka coffeshop dengan menyajikan kopi arabica. Itu terjadi selepas tsunami, dan ternyata kopi arabica tersebut laris manis oleh para relawan di masa rekonstruksi Aceh. Sebagian adalah relawan asing. Hal itu membuat pengusaha kopi lokal kemudian merasa bahwa arabica ternyata punya pasar juga, dan sejak itu mulailah kopi arabica menjadi pilihan warga Aceh.

Kopi dan Aceh memang seperti karib akrab. Selama beberapa hari di Aceh, hampir setiap hari saya minum kopi sampai tiga atau empat gelas. Selain di hotel – yang kopinya biasa saja – saya minum kopi di kantor mitra, lalu malamnya diajak ngopi lagi. Benar-benar menandakan bagaimana kopi dan Aceh adalah satu kesatuan.

Kita sangat mudah menemukan warung kopi di Aceh. Dari yang sederhana sampai yang moderen. Rasanya kalau kita menutup mata dan melempar batu ke arah manapun, jatuhnya akan di atap warung kopi. Saking banyaknya.

Warung kopi itu pun hampir tidak pernah sepi, utamanya di malam hari. Saat sepinya mungkin hanya saat solat ketika sebagian besar warung kopi akan menutup sejenak usahanya. Saking ramainya, di hari Sabtu pagi ketika kami berkunjung ke sebuah warung kopi yang katanya warung kopi legendaris di Aceh bernama Cut Nun, kami sempat kesulitan mencari tempat duduk. Sepertinya ngopi juga jadi salah satu pilihan rekreasi bersama keluarga.

Warung kopi Cut Nun yang ramai di Sabtu pagi

“Kami tidak punya bioskop, mal juga tidak ada. Jadi ngopi ya jadi satu-satunya rekreasi dan berkumpul bersama teman,” kata Yudi Randa, seorang bloger Aceh yang sempat saya temui.

Masjid Baiturahman

Tak lengkap rasanya ke Banda Aceh tapi tidak ke Masjid Baiturahman, atau Masjid Raya Banda Aceh. Masjid kebanggan orang Aceh ini menjadi simbol sejarah dan perjuangan orang Aceh melawan penjajah. Masjid yang menjadi benteng terakhir orang Aceh melawan Belanda ini pernah dibumihanguskan oleh Belanda sebelum akhirnya dibangun kembali di tahun 1879.

Sabtu siang yang panas, kami berkunjung ke Baiturahman. Menengok masjid di tanah Serambi Mekah ini. Arsitekturnya masih asli, hanya bagian halaman yang mendapat sentuhan perubahan. Ada beberapa payung raksasa yang berdiri di halaman, menyerupai Masjid Nabawi di Madinah. Ketika kami datang, payung-payung itu tidak terbuka. Hanya ada satu payung di bagian utara yang terbuka dan menjadi tempat wisatawan dan pengunjung berteduh di bawahnya.

Marmernya tidak panas, cuma hangat

Hamparan marmer di halaman masjid itu benar-benar luar biasa. Tersiram matahari siang yang terik luar biasa, tapi rasanya hanya hangat dan bukan panas. Kami bisa berjalan dengan santai di atas marmer itu tanpa merasa kepanasan. Oh ya, sebelum masuk halaman masjid, kami harus melepas alas kaki seperti sepatu dan sandal. Perempuan harus menggunakan pakaian muslimah dengan rok, dan laki-laki tidak boleh bercelana pendek. Petugas menyiapkan sarung untuk jamaah atau pengunjung yang tidak berpakaian syar’i.  Kami berjalan di atas marmer dengan kaki telanjang atau hanya dengan kaos kaki. Saya bayangkan kalau halaman itu dilapisi keramik biasa maka tentu mustahil manusia biasa bisa berjalan di atasnya dengan kaki telanjang, tanpa merasa kepanasan di tengah matahari siang yang terik.

Ketika azan dhuhur berkumandang, saya bergerak ke dalam masjid menunaikan salat dhuhur. Interior masjid Baiturahman terlihat mengagumkan. Megah, bersih, dan nyaman. Ada sedikit keharuan menyusup ketika sadar kalau saya berada di salah satu masjid paling ikonik di Indonesia. Masjid di tanah Serambi Mekah yang dari dulu memang terkenal dengan syariat islamnya.

“Sebelum ke Mekah, setidaknya ke serambinya dulu,” kata saya dalam hati.

Interior Masjid Baiturahman

*****

Kami meninggalkan Banda Aceh di hari Ahad yang masih gerah. Hanya empat hari di sana, dan karena judulnya “bekerja” maka tentu saja kami tidak bisa banyak ke sana dan ke mari. Kami hanya menikmati sekitar Banda Aceh, dari kotanya, masjidnya, sampai tentu saja makanannya. Setidaknya saya sudah merasakan mi aceh di kandangnya. Mie Bardi, salah satu mi aceh paling terkenal.

Mi Aceh Bardi yang terkenal itu

“Kenapa tidak ke Sabang?”

“Harusnya ke Takengon sekalian”

“Ke pantai Lampuuk juga”

Ah, sayang sekali semua usulan itu tidak bisa kami turuti. Waktu yang mepet membuat kami harus mengefektifkan waktu. Kerja, istirahat sejenak, menikmati Banda Aceh, dan kemudian pamit. Mungkin di waktu yang lain, ketika kami datang ke Banda Aceh dengan waktu yang lebih lowong. Supaya kami bisa menikmati lebih banyak tanah Serambi Mekah, dan bukan hanya di kota Banda Aceh.

Apapun itu, saya senang bisa ke Banda Aceh. Menuntaskan perjalanan di Indonesia. Saya sudah pernah ke provinsi paling timur, dan sekarang sudah pernah menginjakkan kaki di provinsi paling barat.

Pukul 11 pagi, pesawat kami meninggalkan Banda Aceh menuju Jakarta. Kami akhirnya menuntaskan perjalanan di kota yang buat saya terbuat dari kopi dan kehangatan. Mudah-mudahan masih ada rezeki untuk kembali bersua dengan Aceh di lain waktu. [dG]