A Long Way To Koroway (2)
Setelah perjalanan panjang hingga ke kampung Sipanap, kami masih harus menjalani drama tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Kami terpaksa melewati malam dengan menginap di bivak.
SORE SEMAKIN GELAP, HUJAN SEMAKIN DERAS. Di atas perahu fiber sepanjang lebih kurang enam meter itu saya menggigil. Sekujur tubuh sudah basah oleh air hujan ditambah angin dingin yang menusuk. Sesekali saya bergidik, berusaha mengusir rasa dingin. Saya duduk paling belakang, hanya beberapa meter di depan tukang perahu bertubuh kecil itu. Di depan saya teronggok barang-barang bawaan kami yang ditutup terpal. Tiga anggota tim yang lain berada paling depan. Kami semua duduk di atas papan yang dipasang melintang di badan perahu, hanya sekadar supaya kami bisa duduk.
Baca bagian pertama dari perjalanan ini di sini.
“Bapak, ini belokkah, luruskah?” Suara itu agak lirih, datang dari si tukang perahu. Saya butuh meminta dia untuk mengulang kembali sebelum mendengar jelas pertanyaannya.
Kami berada di dekat percabangan sungai. Satu sungai mengarah ke kanan dan satu lagi lurus.Pertanyaan si tukang perahu sudah membuat saya curiga. Bukannya dia tahu jalan? Kenapa pula dia bertanya ke saya?
“Wah, nda tahu saya pak. Pokoknya ke Koroway,”jawab saya. Dia hanya diam, nampak sedikit bingung sebelum akhirnya memutuskan mengambil arah ke kanan. “Kalau terus ke mana?” tanya saya.
“Jalan potong,” jawabnya.
Baiklah, saya berusaha untuk mempercayainya. Perahu itu terus melaju melawan arus yang cukup deras. Sesekali bermanuver ke kiri dan ke kanan menghindari batang-batang kayu yang hanyut dan terdampar di kali. Salah perhitungan perahu bisa menabrak batang kayu itu dan pecah. Membayangkannya saja saya sudah keder duluan.
Sungai yang kami lewati lebih kecil dan dangkal dari sungai sebelumnya. Sepertinya ini memang anak sungai. Arusnya sangat deras dan jelas kami sedang melawan arus menuju ke arah hulu. Kenangan buruk ketika perahu yang saya tumpangi terbalik di Malinau kembali membayang. Kenangan itu memang sangat membekas dan membuat saya selalu gugup setiap kali menumpang perahu. Tapi kali ini saya sedikit tenang karena semua alat elektronik penting seperti kamera dan handphone sudah saya taruh di dry bag.
Baca juga: Tragedi Sungai Adiu Dan Salam Manis Dari Kalimantan
Jujur, kekhawatiran saya memang lebih besar ke rusaknya alat-alat elektronik itu kalau terendam air. Bukan khawatir saya bakal tenggelam.
Perahu kami terus meniti sungai, pelan tapi pasti. Sesekali kami berpapasan dengan warga yang juga melintasi sungai ke arah berlawanan. Mereka sangat ramah, melempar senyum dan melambaikan tangan. Kami membalasnya. Sejak dari Agats, pemandangan seperti ini jadi sangat biasa. Ketika berpapasan, senyum dan lambaian tangan akan saling ditukarkan.
Hujan masih cukup deras. Saya melirik jam tangan, sudah pukul 17:15 WIT. Berarti sudah satu jam lima belas menit kami meninggalkan kampung Sipanap. Katanya jarak dari Sipanap ke Mabul, ibukota distrik Koroway hanya satu jam. Ini sudah lewat 15 menit, tapi kenapa tidak ada tanda-tanda kehidupan? Tanya saya dalam hati. Perahu kami akhirnya berhenti di sebuah percabangan sungai. Di sebelah kanan ada gundukan pasir yang menyerupai pulau. Sungai mulai sangat dangkal, mungkin hanya setinggi betis orang dewasa.
“Memang lewat sini kah?” Tanya Joni setengah berteriak dari depan. Tukang perahu yang ditanya hanya bengong, tampak kebingungan.
Lalu terjadi diskusi antara pak Blas dan Joni. Mereka berdua sudah pernah ke Koroway, Joni bahkan sudah berkali-kali. Sepertinya mereka tidak yakin kalau jalan yang kami ambil adalah jalan ke Koroway.
“Perasaan dulu tidak ada kayak begini,” kata Jon sambil menunjuk gundukan pasir di sebelah kanan kami. Suaranya tertelan rinai hujan. Saya menggigil, menoleh ke tukang perahu yang makin nampak kebingungan.
“Ko tahu jalan ka tidak?” Tanya pak Blas.
Si tukang perahu hanya menjawab dengan gumaman yang tak jelas. Saya yang ada di dekatnya saja tidak bisa mendengar apa yang dia bilang. Sampai akhirnya dia angkat bicara, “Sa sudah lama tidak ke sana. Su empat tahun kapa,”
Ya Tuhan! Jadi pantas saja tadi dia bertanya ke saya soal arah. Ternyata dia sudah empat tahun tidak pernah ke Mabul. Dengan kondisi yang tampaknya hampir sama dan banyaknya percabangan, wajar jika orang akan kebingungan mencari jalan ke Mabul.
“Coba ko bilang dari tadi, kita cari orang lain yang bisa bawa,” kata pak Blas dengan nada yang agak jengkel. Si tukang perahu hanya diam, masih dengan wajah kebingungan. Saya juga diam, hanya berusaha menahan dingin.
Akhirnya, sebagai ketua rombongan pak Blas memutuskan untuk putar balik ke arah Sipanap lagi. Mustahil melanjutkan perjalanan di malam hari di tengah arus sungai yang deras dan banyaknya batang kayu dan batu. Salah-salah, perahu kami akan kandas di tengah sungai. Atau lebih parah, bocor. Apalagi si tukang perahu ternyata tidak membawa senter.
Mendekati pukul setengah enam sore, langit masih diselimuti awan tebal. Hujan masih mengguyur,saya masih menggigil kedinginan. Perahu sudah berbalik arah, mengikuti arus kembali ke Sipanap. Satu jam lima belas menit yang sia-sia, batin saya.
*****
LANGIT MAKIN GELAP, di kejauhan terlihat cahaya lampu dari sebuah bangunan kayu darurat di sisi kanan sungai. Pak Blas memerintahkan tukang perahu merapat ke sana. Bangunan itu sepertinya bangunan milik seorang warga, biasanya jadi tempat istirahat sementara. Orang menyebutnya bivak. Setelah perahu merapat, kami semua beranjak ke bangunan itu.
Ternyata bangunan kayu sederhana itu adalah warung milik seorang pria Gorontalo. Bayangkan, di tengah hutan ada warung! Iya, si bapak itu memang menyediakan beragam barang kebutuhan seperti beras, mi instan, minuman sampai bensin dan oli. Pelanggannya adalah warga kampung terdekat atau mereka yang melintasi sungai dan kehabisan perbekalan.
Kami bertukar cerita sebentar. Pak Blas menceritakan kronologi kenapa kami bisa sampai tersesat dan akhirnya terdampar di situ. Pria yang saya lupa namanya itu dengan ramahnya memberikan petunjuk arah ke kampung Mabul. Di sampingnya, seorang anak Papua berusia belasan tahun juga ikut memberi petunjuk. Si anak sepertinya sangat hapal jalan.
“Pak, kami bisa menginap di sini malam ini?” Tanya pak Blas.
“Oh bisa pak. Orang yang kemalaman biasanya memang menginap di sini,” jawab si bapak. “Tapi tempatnya seadanya,” sambungnya.
Buat kami tidak masalah, mau sesederhana apapun tempatnya asal ada tempat berteduh sampai matahari bangun, kami akan terima saja. Bangunan kayu itu memang sederhana saja, terbuat dari balok-balok kayu dengan lantai papan. Tingginya kira-kira satu setengah meter dari tanah. Atapnya ditutup seng. Ada satu genset yang mengalirkan listrik ke beberapa titik lampu. Sangat lumayan saya pikir.
Kami ditempatkan di sebuah ruangan yang sebenarnya adalah gudang. Ruangan ini dibatasi dinding papan setinggi satu setengah meter. Setelah makan malam seadanya dan berbagi cerita, pukul sembilan malam kami mulai tidur. Tuan rumah menggelar satu terpal besar sebagai alas tidur kami. Di luar hujan sudah berhenti, dan dinginnya malam juga tidak terlalu menggigit. Suara binatang malam terdengar di kejauhan.Benar-benar syahdu, apalagi karena tidak ada sinyal seluler atau internet. Kami bisa fokus berbagi cerita hingga akhirnya sama-sama mengantuk.
Saya tidur dengan sangat nyenyak. Hanya terbangun dua kali, tapi selebihnya saya benar-benar pulas. Pukul lima subuh saya bangun, pun dengan anggota tim yang lain. Tuan rumah kami punya banyak ayam dan mereka sudah mulai ribut ketika matahari mulai bangun. Di luar kabut masih menyelimuti alam, tanah basah oleh hujan semalam. Kami memang memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlalu telat tiba di Mabur.
Si anak kecil yang semalam memberi arahan, kami ajak jadi penunjuk jalan. Dua orang anggotapemilik warung juga ikut. Kali ini kami tidak perlu kuatir akan tersesat lagi. Kurang sepuluh menit sebelum pukul enam pagi, perahu mulai kembali melawan arus menuju Mabur. Hujan gerimis mulai turun, untung saja tidak lama. Bukan apa-apa, stok pakaian saya tinggal satu-satunya setelah pakaian sebelumnya basah tersiram air hujan.
*****
PUKUL TUJUH LEWAT SEPULUH PAGI, kampung Mabur akhirnya terlihat di depan mata. Lega rasanya melihat sebuah gerbang bertema hari kemerdekaan Indonesia berdiri tegak di tepian sungai, di bagian atas tebing. Sebuah perahu fiber besar terparkir di tepi sungai. Seorang pria segera menyambut kami. Rupanya dia staf distrik yang memang sedang menyiapkan perahu yang akan ditumpangi pak kepala distrik yang sudah berencana turun ke Agats hari itu. Untung saja kami datang cepat, terlambat lima belas menit mungkin kami tidak bertemu lagi dengan pak kepala distrik.
Saya tidak bisa bercerita banyak tentang kampung Mabur yang jadi ibukota distrik Koroway Bulanop itu. Kami hanya beredar di sekitar kantor distrik karena acara memang dipusatkan di sana. Saya bertemu dengan tim dari Kominfo yang baru saja menyelesaikan tugas menyambungkan jaringan telepon seluler di kampung Mabur.
Proyek itu adalah kerjasama antara Kominfo dengan Telkomsel. Menurut pria yang sepertinya adalah ketua tim, proyek itu masuk ke dalam skema pengadaan jaringan untuk daerah-daerah terpencil di Papua. Salah satunya adalah Koroway Bulanop yang jadi distrik paling ujung kabupaten Asmat.
Lumayan juga bahwa di daerah sejauh itu sudah ada sinyal seluler. Warga dan aparat kampung serta distrik bisa dengan mudah melakukan koordinasi lewat telepon dengan mereka yang ada di ibukota kabupaten. Sebenarnya bukan hanya sinyal seluler yang ada di kampung itu, tapi sinyal internet pun ada. Ada pihak yang menyediakan sambungan internet, dan ada warung yang menjual voucher internet.
Awalnya saya penasaran, siapa yang membutuhkan internet di tempat seterpencil itu? Rasa penasaran saya terjawab ketika diberi tahu kalau kampung Mabur ramai oleh para pendatang. Pendatang itu kebanyakan adalah para pendulang emas, sisanya adalah pedagang yang seperti semut ketika ada gula. Rupanya Koroway Bulanop memang termasuk daerah dengan sumber emas yang cukup besar.
“Kata warga di sini, dulu mereka itu cari emas di depan sana,” kata bapak teknisi dari Kominfo itu sambil menunjuk ke arah sungai yang tadi kami lewati. Dia kemudian melanjutkan,“Tapi sekarang sudah susah, makanya carinya sudah agak jauh ke atas.” Atas yang dia maksud adalah daerah hulu yang lebih dekat ke Yahukimo.
Si bapak itu bercerita kalau emas yang didapat para pendulang itu besarnya bisa sebesar biji merica atau biji cabe. Itupun katanya, tidak butuh usaha keras. Tinggal mengorek sedikit, langsung dapat. Wajar saja kalau Koroway Bulanop didatangi oleh para pendulang dari luar, di samping warga sendiri yang ikut mendulang. Tidak heran juga kalau ibukota distriknya tergolong ramai untuk ukuran sebuah daerah di pedalaman yang susah dijangkau. Memang tidak ada listrik, tapi setidaknya mereka sudah punya akses internet dan telepon seluler.
Kami tidak lama di Mabur. Setelah acara selesai sekira pukul 10:30 WIT kami bergegas meninggalkan Mabur. Kami akan meniti kembali jalan yang kami lalui sejak kemarin, menuju Agats. Perjalanan panjang itu akan berakhir malam hari. Beruntung perjalanan pulang lancar-lancar saja, meski harus saya bayar mahal dengan kulit yang menghitam terbakar matahari dan tubuh yang rasanya seperti kena gebuk hansip.
Secara keseluruhan, perjalanan ke Koroway memang melelahkan. Namun, keseruannya juga tidak terlupakan. Saya memang belum sempat melihat orang Koroway yang tinggal di rumah pohon karena katanya untuk menuju ke sana kami masih harus berjalan kaki seharian. Tapi tak apalah, yang penting sudah pernah menginjakkan kaki di distrik terjauh Asmat. Sudah pernah merasakan a long way to Koroway. [dG]
berasa baca buku petualangan 😀 ekstrim banget perjalanannya!
hahaha lumayanlah
bukan apa-apa, ini sudah jauh di pedalaman Papua yang terkenal ganas itu