30 Menit Yang Mendebarkan

Turbulence (foto: Google)
Turbulence (foto: Google)

Kalau mau jujur, saya sebenarnya tidak terlalu suka naik pesawat.

Entahlah, naik pesawat rasanya membosankan. Sepanjang perjalanan kita hanya duduk tenang di kursi, tidak bisa berlarian ke sana ke mari dan tidak bisa melihat pemandangan yang menarik. Di luar hanya ada awan dan langit, tidak ada burung camar yang beterbangan atau sapi yang merumput. Kalau disuruh memilih saya sebenarnya lebih senang naik kapal laut. Ruangannya lebih luas dan yang paling penting, bisa melihat laut sepanjang hari.

Sepanjang 2012 saya jadi makin sering naik pesawat, saya tidak menghitungnya tapi tebakan saya jumlahnya di atas 20 kali. Pergi dan pulang. Saya jadi benar-benar hapal prosedur dari mulai check in, menunggu pesawat, bosan di atas pesawat hingga turun dari pesawat. Termasuk prosedur baku menolak ajakan supir taksi bandara di Makassar.

Satu hal yang juga membuat saya agak malas naik pesawat sebenarnya adalah cuaca buruk. Bayangan pesawat yang berguncang hebat karena cuaca buruk sudah sering saya lihat di layar televisi dan pernah pula saya alami dalam skala yang kecil. Rasanya sungguh membuat perut jadi tidak nyaman. Bukan cuma perut, jantungpun terasa berdetak lebi h kencang. Padahal getaran karena cuaca buruk yang pernah saya alami jauh lebih kecil dari getaran yang pernah saya lihat di televisi.

Sampai kemudian momen itu datang.

Senin 18 Februari, jam 21:00 WIB. Saya sudah siap di antrian gate C di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Malam itu saya hendak kembali ke Makassar setelah meluangkan waktu di Jakarta dan Air Asia yang jadi pilihan karena harganya yang paling murah. Ini pengalaman pertama naik maskapai yang diklaim sebagai maskapai penyedia tiket termurah di Indonesia (atau bahkan dunia?).

Semua berjalan lancar. Naik ke pesawat, duduk di kursi yang ditetapkan (yang tidak tertera di tiket), memasang sabuk pengaman hingga pesawat tinggal landas. Sepanjang perjalanan saya menghabiskan waktu dengan membaca buku. Buku Titik Nol punya Agustinus Wibowo mampu membuat saya tidak tergoda untuk tidur walaupun jam sudah merangkak ke pukul 22:00 WIB.

Titik Nol terlalu menarik untuk dilewatkan. Halaman demi halaman terlewatkan dengan penuh konsentrasi. Saya kebetulan duduk di kursi B, diapit dua orang lelaki yang saya sendiri tidak terlalu ingat wajahnya bagaimana. Jarang saya duduk di tengah, biasanya saya lebih memilih duduk di jendela tapi hari itu saya lupa meminta kursi dekat jendela.

Perjalanan baru berubah menjadi seru ketika Makassar sudah dekat. Pilot baru saja mengumumkan kalau sebentar lagi kita akan mendarat. Saya melongok ke jendela, di luar sudah ada kerlap-kerlip lampu di atas laut menandakan kota pelabuhan itu semakin dekat.

” Kita sedang berada di dalam cuaca buruk, mohon agar penumpang mengenakan sabuk pengaman..”

Suara pramugari itu terdengar merdu. Tapi waktu itu saya lupa betapa merdunya suara itu karena detik berikutnya pesawat tiba-tiba bergetar hebat. Lampu dalam kabin diredupkan karena alasan keamanan, ini standar baku. Yang tidak baku adalah getaran yang hebat di dalam kabin. Di luar hanya ada awan putih.

Saking kerasnya getaran itu sampai-sampai kami para penumpang sempat terangkat sedikit dari kursi. ?Beberapa wanita juga menjerit tertahan, sementara pramugari yang belum sempat duduk terlihat sedikit panik berlarian ke bagian belakang. Sepintas saya melihat sayap pesawat juga bergoyang keras. Dalam hati bergumam, bagaimana kalau sayapnya patah? Alamat maut untuk kita semua.

Getaran masih terus terasa. Di luar masih gelap sambil sesekali awan putih melintas. Saya melongok ke luar, ini masih di udara atau sudah mendarat? Getaran yang terasa persis seperti getaran ketika pesawat mendarat dengan keras di landasan.

Dalam hati saya mengucap kalimat syahadat. Sebenarnya saya malu, di saat seperti ini saya baru mengingat Tuhan. Dari mana saja saya selama ini?

Getaran dahsyat itu berhenti sejenak. Say amelirik jam tangan, pukul 00:39. Menurut jadwal, kita akan mendarat sebentar lagi. Lampu dalam kabin masih gelap, sekarang lampu dengan tulisan EXIT malah sudah menyala. Saya makin gugup, sepertinya ini bukan tanda yang baik, saya belum pernah berada dalam situasi seperti ini.

Saya membayangkan kalau hal buruk terjadi sepertinya akan sangat parah karena di bawah sudah pemukiman penduduk, bukan laut lagi. Gilanya lagi, saya sempat berpikir kalau hal buruk memang terjadi dan saya selamat maka pengalaman ini bisa jadi bahan tulisan yang menarik. Sialan! Segera saya singkirkan pikiran buruk itu.

Beberapa menit kemudian, getaran itu datang lagi. Tidak sekeras getaran sebelumnya, tapi cukuplah untuk membuat perut terasa mual. Ini beneran? Pesawat ini bisa mendarat dengan selamat atau kita akan mengalami hal buruk? Saya bertanya dalam hati, tangan mencengkeram lengan kursi dengan kuat. Saya tidak menoleh ke kanan atau ke kiri, saya sibuk dengan pikiran sendiri dan rasa malu karena baru ingat Tuhan di saat-saat seperti itu.

Getaran kedua itu kemudian berlalu. Pesawat kembali stabil dan sepertinya mulai terbang makin rendah. Beberapa menit kemudian mendarat dengan mulus di atas runway bandara Sultan Hasanuddin. Tidak terbayangkan betapa leganya saya waktu itu. Hanya kalimat “Alhamdulillah” yang keluar dari mulut ketika akhirnya pesawat berjalan dengan tenang menuju terminal kedatangan. Saya melirik jam tangan, jam 00:55. Berarti sekitar 30 menit kami berada di dalam suasana yang mencekam.

Benar-benar 30 menit yang mendebarkan.

[dG]