Tidak Semua Hal Seindah Kulitnya

ilustrasi, sumber karakter: Freepik

Obrolan dengan seorang mbak pramugari yang membuat saya merenung

Pak, mohon maaf. Bisa pindah ke emergency exit?” Seorang pramugari berseragam kemerahan mendekati saya.

Kala itu saya dalam penerbangan Lion Air dari Lombok Praya ke Sultan Hasanuddin. Penerbangan itu sepi, di bagian belakang di kursi nomor 30 ke atas hanya ada dua orang. Saya dan seorang lagi pria muda. Sesuai standar keselamatan penerbangan, harus ada penumpang yang duduk di dekat pintu darurat. Berjaga-jaga bila kemungkinan terburuk terjadi.

Saya yang sedang asyik membaca buku sambil menunggu pesawat take off lalu bergeser ke pintu darurat. Sebenarnya saya memang suka duduk di pintu darurat karena ruangnya yang lebih luas dan lowong buat kaki yang lumayan panjang.

Beberapa saat sebelum tinggal landas, si mbak pramugari itu duduk di depan saya, di kursi yang khusus memang disediakan buat awak pesawat. Kami berhadapan, hanya terpisah jarak tak sampai dua meter saya kira. Saya masih asyik membaca buku. Penerbangan adalah saat paling tepat membaca buku ketika kita tidak bisa mengecek telepon genggam.

“Sepatunya bagus pak, pasti enak dipakai naik gunung,” tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari si mbak pramugari. Terpaksa saya menghentikan bacaan, mengangkat kepala dan berniat membalas sapaan si mbak pramugari.

“Wah gak tahu ya, saya belum pernah naik gunung. Dipakai naik eskalator di mall sih enak,” kata saya sambil bercanda. Si mbak pramugari itu tertawa renyah.

Saya memang memakai sepatu Merrel, merek yang cukup terkenal di kalangan pendaki gunung. Sebenarnya bukan karena saya suka mendaki, tapi lebih karena model dan bentuknya yang enak. Eh tapi alasan utamanya karena ini dihadiahkan istri tercinta. Soal enak atau tidaknya, saya harus bilang Merrel yang berwarna dominan biru ini memang enak dipakai meski saya tidak pernah memakainya di alam bebas.

Kami lalu terlibat pembicaraan ringan. Si mbak pramugari –yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya – bercerita kalau dulu dia juga senang naik gunung. Kegiatan yang tentu saja berbeda dengan kegiatannya sekarang yang menuntutnya tampil anggun dan rapi.

Pembicaraan kami terputus ketika pesawat sudah berada di ketinggian jelajah. Dia kembali ke bagian belakang dan saya kembali sibuk membaca, mendengarkan musik lalu tidur beberapa menit.

Hidup Sebagai Awak Pesawat

Beberapa saat sebelum mendarat si mbak pramugari itu kembali ke kursi di depan saya. Kamipun kembali terlibat pembicaraan ringan. Kali ini seputar kehidupan sebagai awak pesawat.

“Ini hari keenam saya bertugas. Nanti sesampai di Makassar saya akan menumpang pesawat yang ke Jakarta. Off dulu,” katanya.

Ketika saya tanya hari ini dia terbang ke mana saja, dia menjawab, “Hari ini Lombok – Surabaya, Surabaya – Lombok dan sekarang Lombok – Makassar,”

Mendengar penjelasannya saya langsung membayangkan betapa melelahkannya perjalanannya. Seharian menumpang pesawat dan melakuan ritual yang sama. Saya yang hanya sesekali naik pesawat dalam sebulan saja kadang merasa capek, apalagi yang beberapa kali sehari?

Naik pesawat bagi saya adalah kegiatan yang melelahkan. Saya lebih memilih jalan darat delapan atau sepuluh jam daripada naik pesawat empat jam apalagi lebih. Entahlah, mungkin karena tekanan udara atau kebosanan karena tidak ada pemandangan lain di luar yang bikin saya tidak betah berlama-lama di pesawat.

“Kemarin malam di kota apa mbak?” Iseng saya bertanya.

“Kemarin malam di..” tiba-tiba kalimatnya berhenti, dia seperti berpikir keras mencoba mengingat malam sebelumnya dia ada di kota apa. Tidak lama kemudian, “Oh iya, kemarin malam di Balikpapan.”

“Terus, malam sebelumnya?”

Dia kembali berpikir, mencoba mengingat-ingat. “Wah, koq saya bisa lupa ya dua malam lalu di mana?” Wajahnya nampak kebingungan dan tidak berselang lama dia tertawa.

Jawabannya sudah cukup menggambarkan kepada saya bagaimana pekerjaan sebagai pramugari itu cukup berat. Si mbak pramugari bahkan sudah tidak bisa mengingat lagi dia tidur di kota mana dua malam lalu. Kehidupannya berputar dari pesawat, bandara, hotel lalu ulangi kembali. Tidak ada kesempatan untuk berpikir, “Wah kota ini indah sekali, jalan-jalan bentar ah,”

Tidak, karena mereka mampir ke kota-kota itu bukan untuk berwisata, tapi beristirahat sebelum tugas berikutnya menyambut. Tidak penting mengingat mereka ada di kota apa.

Mungkin banyak di antara kita yang pernah membayangkan enaknya hidup sebagai pramugari. Tiap hari naik pesawat, mengunjungi tempat-tempat berbeda, datang ke kota yang berbeda-beda. Bagi sebagian orang, gambaran seperti itu sangat menyenangkan. Saya pun pernah berpikir begitu, sampai kemudian merasakan sendiri capeknya naik-turun pesawat dalam waktu yang tidak terlalu berjauhan.

Ada Enaknya, Ada Juga Tidak Enaknya.

Dalam sebuah episode serial Friends, ada adegan ketika Rachel mencoba mendekati seorang dokter kandungan yang cukup tampan. Mereka sempat berbincang hangat sebelum si dokter secara tidak sadar mulai curhat.

Dia curhat tentang bagaimana dia kadang sudah merasa berlebihan melihat vagina. Seharian di tempat kerja sebagai dokter kandungan, vagina adalah menu utama. Hal itu kadang membuatnya jadi kehilangan selera untuk bercinta sepulangnya ke rumah. Pengakuan yang membuat Rachel mundur perlahan.

Jujur, sebagai anak laki-laki yang baru tumbuh remaja saya pun pernah membayangkan enaknya menjadi dokter kandungan. Bersama teman-teman sebaya kami tertawa-tawa membayangkan enaknya menjadi dokter kandungan. Tiap hari bisa melihat langsung vagina perempuan yang berbeda-beda dan bahkan menyentuhnya. Dasar pikiran anak remaja mesum!

Tentu saja kenyataannya tidak seperti itu bukan? Dokter kandungan yang profesional tentu saja tidak pernah memberi kesempatan pikiran macam-macam merasuki kepalanya ketika berhadapan dengan pasien. Lagipula, adegan itu datang nyaris setiap hari dan pelan-pelan akan membuatnya “mati rasa”.

Persis seperti seorang pramugari yang naik-turun pesawat nyaris setiap hari.

Begitulah, ternyata apa yang kita lihat setiap hari tidak selamanya seindah bayangan. Sebagai orang luar yang tidak menjalaninya kita bisa menjatuhkan vonis betapa menyenangkannya sebuah pekerjaan yang bukan milik kita. Padahal, dalam pekerjaan itu pasti ada tantangannya, ada rutinitas yang bisa membuat kita “mati rasa”. Ada tanggung jawab berlebih yang justru menghilangkan nafsu atau keinginan bersantai. Itu kalau pelakonnya adalah seorang profesional.

Semua pekerjaan punya sisi enak dan tidak enaknya pasti. Tidak ada pekerjaan yang semuanya enak dan sebagaimana pun kita menikmati pekerjaan itu, kadang akan ada juga keluhan yang terlontar. Setidaknya sekali-dua kali.

“Yah, capek sih pak. Tapi saya menikmati koq. Semua ada enak dan tidak enaknya,” kata mbak pramugari yang saya tidak tahu namanya itu. Dia tersenyum manis sambil membereskan kursi-kursi, bersiap meninggalkan pesawat.

Hidup memang hanya persoalan seberapa bisa kita mensyukuri apa yang kita punya. Betul? [dG]