Obituary Seorang Ibu
13 APRIL 1955, untuk pertama kalinya manusia mungil itu menghirup udara segar. Merangsek keluar dari rahim Ibunya yang ditempatinya selama 9 bulan lebih. Dia lahir sebagai buah hati pasangan St. Halijah Dg. Sunggu dan Abdul Hamid Dg. Gassing. Sepasang suami istri suku Makassar yang sederhana dari sebuah kampung di Selatan kota Sungguminasa, Gowa.
Si kecil kemudian dinamai Syamsiar yang dalam bahasa Arab berarti matahari atau berdasarkan hitungan matahari. Belakangan paddaengang disematkan di belakang namanya, dg. Caya yang juga berarti cahaya. Dia dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah yang teguh memegang ajaran Islam. Kelak dia memang tumbuh menjadi seorang perempuan yang taat memeluk ajaran agamanya, bahkan bersuara merdu kala melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
Dia sempat menyelesaikan sekolahnya di PGSD (Pendidikan Guru SD) dan berniat menjadi seorang guru agama. Sayang, dia tak sempat meneruskan cita-citanya karena keburu dipinang seorang pria yang juga masih terhitung kerabatnya.
Sang pria pertama kali melihatnya dalam sebuah acara keluarga dan kemudian jatuh cinta. Tak butuh lama sebelum dia meminta kepada keluarganya untuk melamar sang gadis yang saat itu sedang mekar. Tak butuh lama juga sebelum sang gadis mengiyakan lamaran si pria kurus berambut kribo itu. Suatu hari tahun 1976 mereka resmi menjadi suami-istri. Sang pria yang kini menjadi suaminya tidak mengijinkannya untuk bekerja.
Sang suami tumbuh dalam keluarga yang sibuk. Bapak dan Ibunya bekerja, membuatnya tak punya banyak waktu berinteraksi dengan mereka di siang hari. Itulah yang membuatnya bertekad tak mengijinkan istrinya untuk bekerja. Sang istri tak keberatan, sepanjang hidup dia mengabdikan dirinya sebagai istri dan Ibu untuk anak-anaknya.
Setahun lebih setelah mereka menikah, lahirnya seorang bayi pria yang sehat dan gemuk. Anak pertama ini disambut gembira kedua keluarga besar mereka. Di keluarga sang istri, anak itu adalah cucu pertama. Sedang di keluarga sang suami meski dia cucu ketiga namun dia karena jaraknya yang sangat jauh dengan kedua sepupu lainnya, dia tetap jadi favorit nenek, kakek, om dan tantenya.
Tiga tahun berselang, lahirlah anak kedua. Kali ini perempuan. Si bayi juga lahir sehat dan menggemaskan. Sepasang anak laki-laki dan perempuan disambut dengan keceriaan oleh keluarga ini. Sang Ibu merawat mereka sepenuh hati, sang bapak bekerja keras mencukupi kebutuhan mereka. Dua tahun kemudian lahir lagi satu bayi perempuan melengkapi keceriaan mereka.
Keluarga sederhana ini tumbuh melewati banyak rintangan. Sang Ibu merawat anak-anaknya dengan kasih sayang sambil sesekali bertindak tegas ketika mereka dianggap nakal. Sang bapakpun sama, merawat anak-anaknya dalam ketegasan yang kadang keras. Anak-anak mereka tumbuh sebagai anak-anak yang cerdas dan sehat meski tak lagi gemuk dan menggemaskan.
“Jangan sampai melupakan sholat.” Kata sang Ibu setiap saat. Sebagai lulusan sekolah agama dan dibesarkan oleh keluarga yang taat beragama, sang Ibu memang tegas menanamkan aturan agama pada anak-anaknya. Bahkan dia sendiri yang membimbing anak-anaknya mengaji tanpa bantuan guru mengaji.
Mereka berlima hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kata berlebih secara materi. Sang bapak hanya seorang pegawai biasa di sebuah perusahaan milik salah satu orang terkaya Sulawesi Selatan yang sekarang menjadi wakil presiden untuk yang kedua kalinya. Dia pekerja keras, selalu ingin belajar. Meski tidak berpendidikan tinggi, pria ini dihormati karena kemampuan dan loyalitasnya. Ini juga yang membuat keluarga boss besarnya memercayainya setiap kali mereka butuh bantuan, utamanya ketika ingin memperbaiki sesuatu.
Belasan tahun mereka hidup berlima sampai kemudian tanpa diduga seorang bayi mungil kembali lahir dan menjadi bagian keluarga ini. Juli 1997, putri bungsu mereka lahir ketika kakak-kakaknya sudah mulai dewasa. Si bungsu ini menjadi kesayangan siapa saja, dia lucu, ceria dan tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Ketika satu persatu anak-anaknya menikah dan memulai hidup sendiri, si bungsulah yang tetap bersama bapak dan Ibunya, menjadi penyemarak ketika rumah mulai tak seramai dulu.
*****
OKTOBER 2010, hanya selang 5 hari setelah ulang tahunnya si Bapak pergi menghadap Sang Penciptanya. Dia tak sanggup lagi bertahan melawan penyakit jantung yang semakin parah dideritanya selepas masa pensiun. Kesedihan memayungi keluarga itu, utamanya yang istri yang sudah mendampinginya selama 34 tahun lebih.
Tapi hidup harus terus berjalan. Dia hidup berdua dengan si bungsu, sesekali ditengok anak-anaknya yang lain. Si anak tertua yang seharusnya jadi kebanggaan rupanya tak selamanya bisa dibanggakan. Rumah tangganya kandas, menyisakan duka pada sang Ibu yang pasti dipendamnya sendiri dalam diam. Orang tua mana yang senang ketika melihat rumah tangga anaknya berantakan?
Perjalanan hidup yang semakin berat selepas kepergian suaminya dan masalah rumah tangga anak pertamanya terus dijalaninya. Berat, tapi dia terus bertahan meski sesekali penyakit aneh menggerogoti hidupnya, mengganggu aktivitasnya dan membuatnya sering tak berdaya.
Tapi dia bersyukur masih bisa merawat Ibunya yang meninggal beberapa hari menjelang Idul Fitri tahun ini. Sang Ibu yang sudah berumur 93 tahun memang sudah lama kepayahan, sakit tua dan seperti tinggal menunggu ajal. Dia merasa beruntung masih diberi kesempatan dan kesehatan untuk merawat Ibunya, wanita yang telah melahirkannya.
“Semoga saya tidak dipanggil duluan sebelum Undu.” Katanya suatu waktu kepada adiknya. Undu adalah panggilan sang Ibunda yang saat itu terbaring lemah tak berdaya.
Tuhan mendengar doanya. Tepat 35 hari setelah kepergian Ibundanya, sang Ibu menyusul. Tak ada yang tahu apa sebab pasti kepergiannya. Semua hanya tahu kalau wanita sederhana yang teguh memegang prinsip itu akhirnya pergi menghadap Sang Pencipta, menyusul suaminya dan Ibunya. Sehari sebelum Republik ini merayakan kemerdekaannya, dia sudah lebih dulu merayakan kemerdekaannya. Merdeka dari rasa sakit yang dideritanya dan kesalahan yang mungkin dibuatnya.
Dia wanita tangguh yang sederhana. Tak punya banyak mau, selalu berusaha menjadi orang baik bagi semua orang. Bersama suaminya dia selalu berusaha meluangkan waktu untuk menengok kerabat, saudara atau teman-teman yang sedang bersedih atau bergembira. Tak peduli sejauh apapun, selama mereka bisa maka mereka akan datang. Merekapun selalu ringan tangan membantu siapapun yang butuh, meski mereka juga bukan orang yang berlebih.
Tapi mereka bukan malaikat yang selalu benar dan selalu baik. Mereka hanya manusia yang kadang khilaf, kadang berbuat salah juga.
Mereka adalah Ibu dan bapak saya. Wanita bernama Syamsiar daeng Caya itu Ibu saya. Beliau berpulang tepat sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, dua bulan sebelum tanggal kepergian suaminya. Sekarang dia sudah tenang di sana, mungkin dia sudah bertemu suami dan Ibunya yang dicintainya.
Selamat jalan Ibu, semoga Allah melapangkan jalanmu, membalas semua kebaikanmu. Biarlah kami yang memperbaiki semua kesalahanmu, agar tak jadi beban buatmu. Kami semua mencintaimu Ibu. [dG]
Turut berduka daeng.
Kebaikan akan selalu terkenang dan saya percaya kebaikan itu akan tercermin dari anak-anak yang dibesarkannya.
Turut berduka yang begitu mendalam, Daeng. Semoga Ibu tenang disisiNya. Amin.
Innalillahi Wa Inna ilaihi Rojiun, turut berduka cita sedalam-dalamnya, Daeng. Semoga arwah almarhumah Khusnul Khotimah dan keluarga yg ditinggalkan diberikan ketabahan serta keikhlasan
Turut berduka daeng, semoga Amal ibadah beliau menjadi penerang dan penuntun di kehidupan berikutnya, semoga keluarga yang ditinggal diberi ketabahan.
kalo bapakku sehari setelah kemerdekaan…
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga kenangan tentang ibunda membekas dalam pada anak-anaknya dan mampu menjadikan kendali yang tak terlihat tetapi kuat bagi anak-anaknya dalam menapaki kehidupan, Daeng.
Kematian adalah jalan manusia menuju ke sempurnaan.
Al-fatihah bagi ke-tiganya.
Selamat jalan ibukuu,bahagiaka dia disisiMu ya Allah.
Turut berduka semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT dan diberi tempat yang layak di Sisi-Nya. Amin.
She raised wonderful children. May she rest in peace. Turut berduka, daeng.