Mungkinkah Melepas Jerat Miras di Tanah Papua?

Miras di Papua
Miras di Papua
Sebuah peringatan di sudut kota Manokwari

Bagi sebagian orang, Papua akrab dengan miras. Padahal sesungguhnya itu bukan budaya mereka.

Matahari menyengat siang itu, letaknya tergelincir sedikit dari ubun-ubun. Jam satu siang di kota Sorong, Papua Barat. Saya sedang berada di atas sebuah mobil bersama beberapa teman lain. Pemilik mobil yang mengantar kami bernama H. Mahmud, pria Bugis yang sudah puluhan tahun hidup di Sorong. Bukan cuma di Sorong, dari ceritanya dia bahkan sudah berkeliling ke banyak tempat di Papua. Sudah merasa sebagai orang Papua.

“Lihat, dia masih mabuk tuh,” katanya sambil menunjuk sesosok tubuh di emperan toko.

Pria itu tidur tertelungkup dengan satu kaki terlipat. Untuk ukuran manusia normal yang masih sadar, rasanya tidak mungkin dia bisa nyaman tertidur di emperan toko di siang hari yang panas seperti itu. Jelas sekali dia sedang kehilangan kesadaran.

Papua dan orang mabuk. Dua kata yang buat sebagian besar orang Indonesia sangat berhubungan. Cerita kalau orang Papua yang senang mabuk-mabukan sudah sangat sering saya dengar, saya yakin Anda pun pasti sering mendengarnya. Bukan sekali dua kali juga saya melihat langsung pemandangan orang Papua yang mabuk di tepi jalan. Dari yang terkapar seperti di Sorong itu sampai yang berteriak memaki saya seperti yang saya temui di Manokwari.

“Orang Papua sebenarnya tidak punya budaya minum alkohol,” kata H. Mahmud ketika kami mengobrol tentang kebiasaan itu. Menurutnya, budaya minum minuman beralkohol datang dari orang-orang luar Papua. Bangsa kulit putih dari daratan Eropa serta orang-orang dari kepulauan Maluku yang pertama memperkenalkan orang Papua pada beragam jenis minuman beralkohol.

Bukti ini bisa dilihat dari tidak adanya minuman khas orang Papua, utamanya mereka yang berada di pegunungan. Berbeda dengan beberapa bangsa lain di Nusantara yang memang punya minuman keras lokal. Tuak di beberapa daerah di Jawa, ballo di Makassar, cap tikus di Manado atau sopi di Maluku dan Nusa Tenggara. Papua tidak punya. Memang beberapa suku yang tinggal di pesisir punya minuman keras bernama sagero yang berasal dari fermentasi aren atau kelapa, tapi kemampuan mereka meracik minuman keras itu juga disinyalir didapat dari persentuhan dengan para pendatang.

“Di beberapa daerah, minuman keras itu biasanya dipakai untuk merayakan sesuatu seperti pesta panen atau upacara adat. Kadang juga benar-benar hanya sebagai hiburan, jadi sebenarnya tidak ada maksud jelek dari kebiasaan minum minuman keras. Tapi di Papua tidak, mereka tidak punya budaya seperti itu,” kata Andika Wirawan, seorang pekerja LSM yang juga kerap mengunjungi Papua.

Menurut Iwan- panggilan akrabnnya- minuman keras membuat orang Papua menjadi lebih agresif. Pria yang pernah membuat penelitian kecil-kecilan di tahun 2005 tentang efek minuman keras di Papua ini yakin kalau orang Papua secara fisik memang dianugerahi kelebihan. Fisik yang besar dan kuat menyimpan energi dan agresivitas yang besar pula, dan ketika mereka kehilangan kesadaran karena minuman keras, agresivitas itu jadi tersalurkan ke jalan yang salah.

Beragam penelitian menyebutkan bahwa dampak kebiasaan minum-minuman keras di Papua menyebabkan tingginya tingkat kejahatan kejahatan yang berujung pada kematian. Ketika kehilangan kesadaran, pelakunya jadi lebih agresif dan mudah tersinggung sehingga rentan berakhir pada saling pukul yang bisa berujung kematian. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mensinyalir 25% orang asli Papua mati karena minuman keras.

Selain itu minuman keras juga dituding jadi salah satu penyebab tingginya tingkat paparan HIV AIDS di tanah Papua. Ketika sudah dipengaruhi minuman keras, para pelakunya akan melakukan hubungan seksual yang kadang tidak sehat bahkan beresiko tinggi. Pikiran yang tidak terkontrol akibat di bawah pengaruh minuman keras membuat pelaku jadi tidak bisa berpikir jernih dan semata mengikuti nafsu saja.

Dari data PBS 2011, 22.5% pria Papua dan Papua Barat berusia 20-24 tahun mengonsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan terakhir dan 1.1% untuk wanita di usia yang sama . Sementara itu 7.6% pria dan 1.3% wanita usia 15-19 tahun pernah mengonsumsi setidaknya sekali dalam 1 bulan terakhir. Secara umum tingkat penyalahgunaan alkohol di Papua lebih besar dari penyalahgunaan alkohol yang terjadi daerah perkotaan lain seperti Jakarta dengan jumlah 25.9% berbanding 8.8%.

Dibandingkan beberapa daerah lain di Indonesia, tingkat prevelansi orang Papua pada minuman keras memang cukup tinggi, tapi sebenarnya masih di bawah Sulawesi Utara, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur dan bahkan Maluku (data Riskesdas, 2007). Bedanya, sifat agresif orang Papua ketika mabuk menjadi masalah tersendiri.

Perda Miras di Persimpangan Jalan.

30 Maret 2016, gubernur Papua Lukas Enembe bersama jajaran Forkopimda, Bupati/Walikota beserta Muspida 29 Kabupaten/Kota melakukan penandatanganan Pakta Integritas Pelarangan Minuman Beralkohol, di Kantor Gubernur Dok II Jayapura. Penandatangan pakta integritas itu sekaligus memberlakukan Perda Miras no.15 tahun 2013 tentang pelarangan produksi, pengedaran dan penjualan minuman keras.

Langkah ini disambut baik oleh warga Papua, salah satunya adalah Jeni Betrix Karay warga Abepura yang saat ini sedang melanjutkan studi di Salatiga, Jawa Tengah.

Miras di Papua
Masa depan Papua harus dijauhkan dari miras

“Kalo sa sih menerima baik perda miras, itu satu langkah baik dari pemerintah untuk membantu menertibkan aliran miras di Papua. Karena kalo opini banyak orang bilang miras itu bagian dari budaya Papua, sa tra terima. Tidak ada dalam sejarah budaya Papua kalo miras itu bagian dari budaya Papua,” katanya ketika saya mintai pendapatnya tentang perda miras tersebut.

Jeni kemudian melanjutkan, “Walau perda ini masih punya jalan panjang buat pengaplikasiannya di masyarakat, sa optimis ini bisa jalan bae-bae deng bantuan semua pihak.”

Perda miras sebelumnya sudah pernah diaplikasikan di Manokwari, Papua Barat. Perda no. 05 tahun 2006 membatasi peredaran dan konsumsi minuman beralkohol di Manokwari. Hampir 10 tahun berlalu, tapi perda itu dianggap belum maksimal. Masih ada kekurangan yang masih memungkinkan warga untuk tetap menikmati minuman keras berlebihan. Bahkan di satu sisi perda itu mendatangkan keuntungan buat para pengedar minuman keras. Mereka menaikkan harga lebih tinggi dari yang seharusnya karena minuman keras diedarkan secara ilegal dan sembunyi-sembunyi.

“Awalnya perda itu efektif. Bayangkan, orang yang mulutnya bau alkohol saja bisa ditangkap,” kata Joshua Wanda atau yang akrab disapa kak Roy, aktivis pemuda dari Manokwari. “Tapi lama kelamaan mulai longgar lagi. Larangan peredaran miras bahkan dimanfaatkan para pedagang untuk menjual miras dengan harga tinggi,” lanjut kak Roy, pria campuran Serui dan Jawa itu.

Kalau menurut Andika Wirawan, meminimalisir penyalahgunaan minuman keras di Papua memang bukan hal yang mudah. Kebiasaan minum minuman keras di Papua dilatarbelakangi banyak faktor, dari sosial sampai ekonomi. Sekadar membatasi aliran distribusi minuman keras ke Papua tentu sulit, kata Andika. Mengingat kondisi geografis Papua yang berat yang tentu saja membuka banyak celah bagi penyelundup minuman keras.

“Orang asli Papua kadang masih merasa inferior ketika membandingkan diri mereka dengan para pendatang dan untuk mengangkat kepercayaan diri mereka, minuman keras jadi pelariannya. Sayangnya, hasil yang didapat justru agresi negatif,” katanya.

“Pemerintah daerah harus berpikir jauh untuk memberi ruang kreatif bagi generasi muda Papua. Energi dan agresi yang besar itu harus disalurkan di jalur yang tepat, agar mereka tidak tenggelam di minuman keras. Olahraga salah satunya.” Sambung Andika Wirawan lagi. Menurutnya dengan kelebihan fisik dan agresivitas itu, orang Papua punya potensi besar untuk berjaya di bidang olahraga.

Mengesahkan perda miras dan kemudian hanya fokus di peredaran, produksi dan konsumsi miras saja tentu tidak cukup. Tantangan besar buat pemerintah Papua dan Papua Barat untuk mengatasi masalah di hulu, utamanya mereka yang jadi penikmat minuman keras itu.

Meski berat, Jeni Betrix Karay tetap merasa optimis. “Kalo semua serius, su punya niat, su mau jalankan peran masing-masing, tra ada yg mustahil untuk bikin Papua jadi lebih baik tanpa miras. Kalo ada kelemahan di beberapa titik, diperbaiki. Kalo su baik, ya makin dikukuhkan,” katanya.

Papua dan miras sudah sangat lekat dalam pikiran sebagian besar orang Indonesia. Tapi yang mungkin luput dari perhatian kita adalah usaha sebagian dari mereka untuk lepas dari jerat minuman keras itu. Pemerintah provinsi Papua sudah melegitimasi niat baik itu, tinggal kemauan semua pihak untuk ikut mengawalnya.

“Orang sini ada bilang; kalau banyak duit tidur di parit. Kerja keras untuk miras,” kata Keong, sapaan akrab seorang pemuda lain dari Manokwari.

Sebuah pemeo yang membuat miris. Semoga saja bertahun-tahun dari sekarang pemeo itu hanya akan jadi lelucon saja, tidak lagi jadi sesuatu yang dianggap lazim. Seperti kata Jeni, tidak ada yang tra mungkin kalau semua pihak su mau punya niat yang sama. [dG]

Tulisan ini juga dimuat di majalah BaKTI News Edisi 124 (Maret-April)