Lain Padang Lain Belalang

Sopan santun (sumber: Google)
Sopan santun (sumber: Google)

Kalau bicara kesopanan, kita pasti tahu kalau standar orang beda-beda meski kadang kita tanpa sadar menggunakan standar yang sudah kita buat sendiri berdasarkan kebiasaan.

Suatu hari saya pernah menjejakkan kaki di Solo. Salah satu kegiatan di sana adalah mencoba mengelilingi kota dengan naik becak. Dari beberapa kesempatan saya selalu menemukan kalimat yang sama dari para tukang becak ketika bertanya soal harga.

“Terserah bapak bayarnya berapa.”

Sebagai pendatang, kalimat itu tentu bikin bingung. Mau bayar semau saya? Bagaimana kalau saya hanya membayar Rp. 2.000,- misalnya? Akankah si bapak tukang becak masih mampu memberikan senyuman seperti yang dia berikan saat menawarkan becak?

Kalimat itu bukan sekali dua kali saya temukan, tapi berkali-kali sampai saya menganggap itu sebagai bagian dari SOP tukang becak di Solo atau bagian dari kesopanan mereka dalam menghadapi tamu (mereka pasti tahu saya bukan orang Solo). Saya tiba-tiba ingat cerita Agustinus Wibowo tentang kesopanan orang Iran dalam memperlakukan tamu.

Katanya, bila tahu Anda tamu maka ketika turun dari taksi para supir itu akan berlagak menolak bayaran dari Anda. “Saya tidak bisa menerimanya Tuan, Anda adalah tamu saya.” Begitu kata mereka. Tapi jangan buru-buru senang dan merasa Anda sudah dapat tumpangan gratis, karena itu hanya basa-basi. Ketika Anda menelan mentah-mentah kalimat penuh basa-basi itu dan berlalu dari taksi maka siap-siaplah menerima teriakan mereka. Ketika menemukan basa-basi seperti itu Anda harus membalasnya dengan basa-basi yang kurang lebih sama. “Tidak tuan, terimalah pembayaran saya yang tidak seberapa ini atau saya akan terhina.” Kira-kira begitu balasannya. Terus sampai lawan bicara Anda akan berkata, “Baiklah tuan, saya terima pembayaran Anda.”

Standar Sopan Yang Berbeda-beda.

Saya pikir tidak ada satupun dari kita yang senang diperlakukan tidak sopan. Tiap orang punya standar kesopanan yang berbeda-beda tergantung adat istiadat dan kebiasaan mereka. Ada orang yang tingkat kesopanannya dianggap tinggi (cenderung malah terasa seperti basa-basi) dan ada juga yang tingkat kesopanannya dianggap rendah dan malah dianggap kasar.

Orang Indonesia kebanyakan dianggap sebagai orang dengan tingkat kesopanan yang tinggi. Saya pernah berbicara dengan seorang turis asal Yunani yang dengan tanpa ragu memuji kesopanan orang kita yang menurutnya berbeda dengan orang-orang dari beberapa negara yang dia datangi. Padahal orang Indonesia sendiri punya standar sopan yang berbeda-beda.

Standar sopan di Jawa tentu berbeda dengan standar sopan di Makassar atau di Papua. Apa yang menurut kami orang Makassar sudah sopan, belum tentu menurut orang Jawa. Apa yang menurut orang Papua sudah sopan, belum tentu menurut kami orang Makassar. Apalagi orang Jawa yang memang terkenal halus.

Perbedaan besar biasanya dilihat dari nada suara dan gerakan tubuh. Tahu sendiri kan bagaimana umumnya orang Jawa kalau berbicara? Halus, pelan dan kadang tidak langsung ke tujuan. Sementara bagi kami orang Makassar (dan umumnya orang Indonesia Timur) nada bicara yang tinggi dengan suara yang keras adalah hal yang biasa. Kami juga terbiasa langsung ke tujuan meski kadang terasa menyakitkan bagi lawan bicara. Tapi begitulah kami, basa-basi ada di urutan kesekian bila lawan bicara umurnya tidak jauh lebih tua.

Meski beda-beda tapi saya juga percaya kalau semua suku di bumi ini pasti punya adat istiadat dan kesopanan sendiri-sendiri. Banyak hal yang mempengaruhi tingkat kesopanan itu sampai akhirnya terasa berbeda-beda tiap sukunya. Kontur alam, kebiasaan, pola hidup dan banyak faktor lain menjadi pembentuk tingkat kesopanan kita dalam bertingkah-laku.

Masalah baru muncul ketika kita datang ke sebuah daerah dengan membawa standar kesopanan kita. Kalau bertemu dengan standar yang lebih tinggi mungkin kita yang akan dianggap tidak sopan, kalau sebaliknya maka tentu kita yang akan menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak sopan. Padahal masalahnya hanya ada pada standar yang berbeda.

Saya percaya, semakin sering berjalan jauh dan mendatangi tempat yang berbeda-beda maka semakin besar tingkat toleransi kita. Semakin besar tingkat toleransi kita maka semakin rendah tingkat kesombongan kita. Karena tanpa sadar kita kesombongan (yang melengkapi ketidaktahuan) itulah yang membuat kita dengan mudahnya mencap orang dari adat yang berbeda sebagai orang yang tidak sopan.

Ketika mencap orang lain tidak sopan tanpa tahu latar belakang mereka, apakah itu berarti kita sudah cukup sopan? Atau jangan-jangan kita hanya sok tahu dan sombong? [dG]