Kisah Petualang Dengan Jimat Restu Ibu

Jejak

Perjalanan panjang itupula yang membuatnya bisa melihat Indonesia dengan matanya sendiri

Namanya Adal, lengkapnya Afdal Hakim. Sore itu kami bertemu di sebuah toko buku di sebuah mall besar di Makassar. Selepas acara peluncuran buku seorang novelis karib kami, kami lalu berkumpul menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi. Sore terlewatkan dengan setumpuk percakapan yang begitu menggoda.

Adalah hurufkecil, kawan sastrawan kami yang pertama memperkenalkan saya pada lelaki tinggi ramping berkulit kelam dan berambut ikal itu.

” Dia ini keliling Papua selama setahun dengan modal hanya Rp. 500 ribu”, begitu kata lelaki kecil berkacamata itu. Saya sontak kaget. Keliling Papua selama setahun dengan modal hanya Rp. 500 ribu? Dan cerita itupun mengalir.

Adal putra asli Minangkabau. Darah perantau mengalir deras dalam tubuhnya. Tapi tidak seperti perantau Minang lainnya yang berterbaran di republik ini, Adal merantau, menjelajah dan tak hendak tinggal lama di sebuah tempat. Dia lahir dari rahim seorang wanita yang dia sebut “mantan anak nongkrong”. Darah petualangnya mungkin dia dapatkan dari sang ibu.

Awalnya hanya dari rasa penasaran. Selepas tur ke Jawa dan Bali selama kurang lebih 3 minggu bersama supporter Semen Padang, dia terdampar di Makassar tepat setahun yang lalu. Dia tak hendak berlama-lama di kota ini. Ajakan mengikuti tur Semen Padang ke Sentani dengan cepat dia rebut, bekalnya hanya dua lembar spanduk Semen Padang. Siapa sangka justru itulah awal perjalanan panjangnya ke pulau terbesar kedua di dunia itu.

Selepas pertandingan, semua supporter kembali ke asalnya tapi Adal tidak. Dari Sentani dia memutuskan untuk terus jalan ke Jayapura berbekal dana yang hanya Rp. 500ribu. Dari dulu dia mengaku sudah penasaran pada Papua, sebuah daerah yang di Indonesia dianggap sebagai daerah terbelakang meski kaya dengan hasil bumi, daerah yang selalu bergolak dan daerah yang selalu tidak nyaman. Adal ingin membuktikan itu, maka dilangkahkannya kakinya menyusuri tapak demi tapak pulau Papua.

Tidur di Mana Saja

Orang normal tentu akan bertanya, bagaimana bisa mengelilingi Papua dengan dana hanya Rp. 500ribu? Selama setahun pula. Adal mungkin tidak normal, atau malah kita yang tidak normal. Lelaki itu membuktikan bahwa dengan tekad kuat dia bisa menjalaninya.

Pertemuan dengan beberapa pengelana memberinya banyak pelajaran untuk bertahan hidup selama setahun di tanah Papua. Dia tidak pernah kuatir kehabisan dana, dia percaya rejeki ada di mana saja. Rejekinya ada pada orang lain dan rejeki orang ada pada dia.

Berbekal niat yang tulus, dia mengunjungi 14 kabupaten di dua propinsi di Papua. Papua dan Papua Barat. Setiap memasuki kampung yang baru dia melapor ke kepala suku setempat atau ke pejabat setempat. Dengan jujur dia utarakan niatnya untuk menjelajah dengan tanpa uang di kantong.

Adal ( berbaju putih ) ketika bercerita tentang pengalamannya

“Orang Papua itu baik-baik, asal kita juga baik dan sopan”, Begitu katanya. Dan belum pernah sekalipun dia menemui penolakan dari penduduk setempat. Kalau memang tak bisa menginap di rumah penduduk maka pos polisi dan pos tentara jadi tujuan berikutnya. Dalam perjalanan itupula Adal sering bergaul dengan para tahanan di pos polisi. Sekadar mengobrol dan mendengarkan cerita mereka.

Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dia mengandalkan kemurahan hati pemakai jalan. Menumpang motor atau mobil yang lewat. Kadang juga dengan jalan kaki. Bukan hanya kendaraan di darat, berkali-kali juga dia dengan jujur meminta kemurahan hati pejabat PELNI agar bisa diikutkan di kapal tanpa harus membayar.

Perjalanannya nyaris tak terencana, seolah ikut ke mana angin membawanya. Termasuk ketika dia beruntung bisa mengelilingi Raja Ampat dengan menumpang kapal perang yang membawa seorang menteri dan staffnya. Adal menginjakkan kaki di Wayag, sebuah tempat yang terkenal sebagai surga karena keindahannya. Semua gratis, hanya bermodal kemurahan hati pejabat setempat.

Ketika betul-betul kehabisan uang, Adal menyambi bekerja apa saja. Dari kuli di darat, mengasong di kapal PELNI hingga membantu awak dapur. Apa saja yang penting halal dan bisa membuatnya menyambung hidup.

Mencoba koteka di pedalaman Papua (koleksi pribadi)

Perjalanan panjang itupula yang membuatnya bisa melihat Indonesia dengan matanya sendiri. Kekesalan membuncah di dadanya ketika para pejabat ?dari kota? itu menertawakan penduduk Papua yang meski sudah berumur tapi tetap tak bisa membaca deretan huruf latin. Emosinya memuncak melihat deretan foto program yang berdana puluhan miliar rupiah itu sama sekali tidak menyentuh akar rumput. Semua hanya di awang-awang, hanya cerita manis yang disebarkan orang di pusat sana.

Adal jadi paham kenapa ada orang Papua yang meminta tanahnya bebas dari Republik Indonesia. Dengan melihat dan merasakan sendiri dia paham kalau negeri ini sebenarnya rapuh karena pemerintahnya banyak lebih mementingkan diri mereka sendiri. Adal juga bisa membuktikan sendiri kalau orang Papua tidak seburuk yang selama ini kita lihat di berita. Mereka adalah orang yang tulus, hangat dan bersahabat.

Bermodal Restu Ibu

” Dari kecil saya menghormati merah putih, kalau tidak melihat sendiri Indonesia itu seperti apa, rugi saya”, Begitu katanya sambil menghisap sebatang kretek.

Sebuah pernyataan jujur yang membuat saya berpikir. Selama ini Indonesia memang hanya kita lihat dari sekotak tivi, sekotak monitor atau berlembar-lembar koran dan majalah. Tanpa kita sadari ada banyak persepsi yang muncul sendiri, terbangun oleh berita-berita itu. Kalau kita tidak lihat sendiri kita tidak akan tahu kebenarannya. Adal memilih untuk melihat dan merasakannya sendiri.

?Saya sering ditanya orang Papua, bagaimana pendapat orang di luar sana tentang Papua? ? Kata Adal, dan dia selalu menjawab kalau di luar sana orang selalu mengagumi keindahan Papua.

Setengahnya benar dan setengahnya lagi bohong hanya untuk menyenangkan mereka yang bertanya. Tapi Adal mungkin bisa meyakinkan kita kalau sebenarnya Papua memang indah dan tak seburuk yang disangka banyak orang. Dan semua itu bisa dia ucapkan karena memang dia sendiri yang menjalani dan melihatnya sendiri.

Perjalanan panjangnya ke pelosok Papua sering membuatnya dicecar pertanyaan : kamu pakai jimat apa? Tidak mengherankan, karena masuk ke sebuah tempat baru apalagi yang selama ini kita tahu sebagai tempat yang berbahaya tentu butuh keberanian lebih dan kadang modal yang tidak biasa.

Adal hanya tersenyum setiap ditanya tentang itu. Baginya jimat terbesar yang dia pakai hanya restu ibu. Setiap akan memulai sebuah perjalanan baru Adal selalu menelpon sang ibu di Payakumbuh sana. Jika sang ibu berkata: hati-hati di jalan nak, maka Adal akan melangkah. Dia percaya restu dan doa seorang ibu adalah jimat terkuat yang bisa membuatnya melewati kesulitan sebesar apapun.

Berbekal restu itu juga dia berniat melanjutkan perjalanannya. Setelah setahun di Papua dia harus kembali untuk menghadiri pernikahan sang kakak. Selepas itu dia berniat menjelajah ke Sabang untuk menuntaskan perjalanan dari Merauke ke Sabang walau sebenarnya masih ada dua pulau besar yang belum dia jelajahi, Kalimantan dan Sulawesi.

Bila semua lancar, Adal berniat menjelajah Asia hingga ke Eropa. Modalnya hanya satu juta rupiah dan tentu saja restu sang ibu.

Saya kagum pada lelaki 26 tahun itu. Dia adalah petualang, bukan hanya wisatawan yang datang ke sebuah tempat indah, menikmati alam, memotretnya dan kemudian pulang. Adal mendatanginya, tinggal dan meresapi kehidupan yang sebenarnya. Dia meresapi arti sebenarnya dari sebuah perjalanan.

“Jimat saya hanya satu, restu dari ibu. ” Ah, sungguh luar biasa.

[dG]