Buntut dari kejadian di asrama Papua di Surabaya ternyata panjang. Dari aksi demonstrasi damai sampai aksi perusakan. Dari teriakan protes sampai blokir internet di Papua.
Saya bangun pagi di hari Senin yang cerah. Masih menyesap segelas teh panas dan beberapa butir pisang kecil serta tentu saja sebatang rokok. Saya belum menyalakan televisi, masih lebih memilih membuka smartphone dan seperti biasa melihat-lihat lini masa Twitter dan cuitan-cuitan yang melintas. Saya masih asyik melihat-lihat smartphone ketika sebuah panggilan masuk. Nama seorang kawan yang sedang berada di Paniai tertulis di sana.
“Om lagi di mana?” Tanyanya setelah memberi salam.
“Di kos toh, masih pagi,” jawab saya.
“Om, kalau bisa hari ini tra usah keluar dulu kah,” katanya. Kemudian dia melanjutkan, “Sa ada kabar dari teman-teman, hari ini ada aksi besar-besaran di Jayapura. Takutnya nanti ada apa-apa. Jadi kalau bisa hari ini tra usah keluar dulu sudah.”
Kami berbincang sejenak di telepon, membahas soal situasi yang memanas di Manokwari malam sebelumnya dan rencana aksi demonstrasi di Jayapura hari Senin itu. Malam sebelumnya saya sudah mendengar tentang rencana aksi tersebut. Aksi turun ke jalan yang diberi nama “Monyet Turun ke Jalan”, sebagai reaksi atas tindakan persekusi, represi dan ujaran bernada rasis terhadap puluhan mahasiswa Papua di Surabaya.
Saya kira kita semua sudah tahu soal peristiwa tersebut. Ratusan orang dari ormas berkumpul bersama Satpol PP dan aparat keamanan mengepung asrama mahasiswa Papua di Jln. Kalasan, Surabaya. Mereka berteriak mencaci maki dan mengancam penghuni asrama dengan teriakan yang beberapa di antaranya bernada rasis. Menyebut para mahasiswa itu dengan sebutan monyet. Semua bermula dari dugaan pelecehan terhadap bendera merah putih yang dibuang ke selokan oleh mahasiswa asal Papua di asrama tersebut. Tindakan yang belakangan tidak terbukti dilakukan oleh mahasiswa asal Papua.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Kehebohan di hari kemerdekaan RI itu dengan cepat memicu kemarahan lain di Papua. Bara yang selama ini tertimbun sekam, mendadak memanas dan menjadi api. Dimulai dari Manokwari, ketika demonstrasi massa perlahan berubah menjadi amarah yang menutup jalan dan akhirnya membakar kantor pemerintah.
*****
Telepon dari kawan di Paniai itu membuat saya memutuskan untuk tidak keluar kos dulu hari itu. Saya memantau perkembangan lewat siaran televisi dan sesekali lewat media sosial sambil tetap bekerja, menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan hari itu. Dari siaran televisi juga saya bisa melihat bagaimana kota Manokwari makin memanas. Gedung DPRD akhirnya terbakar. Tanda situasi di ibukota Papua Barat itu sedang tidak baik-baik saja.
“Mereka sudah kumpul di Bundaran Abe sana,” kata seseorang dari luar kamar kos saya.
Di depan kamar, beberapa orang berkumpul. Mereka membincangkan situasi yang sedang terjadi di Jayapura. Lingkaran Abe yang disebut tadi berada tidak jauh dari kos saya, mungkin hanya sekira 800 m. Dari Lingkaran Abe itu, kampus Universitas Cendrawasih hanya sepelemparan batu. Biasanya, aksi-aksi demonstrasi seperti itu digerakkan oleh mahasiswa. Jadi wajar bila Lingkaran Abe jadi pusat berkumpulnya massa demonstran.
Dari siaran langsung di televisi saya akhirnya tahu bahwa demonstran akan bergerak dari kawasan Abepura menuju kantor gubernur Papua yang berjarak kira-kira 15 km. Beberapa video pergerakan demonstran terlihat di televisi. Jumlah pesertanya benar-benar banyak, ratusan orang. Di grup WhatsApp juga ada video yang diklaim sebagai video massa demonstran di kota Jayapura. Sebagian dari mereka berjalan dengan tertib sementara sebagian lainnya berteriak-teriak. Isi teriakannya tidak jauh dari kata “merdeka” dan “usir penjajah”.
Sampai siang menjelang, situasi di Jayapura masih aman tenteram. Tidak ada kabar kalau ada kerusuhan meski jelas-jelas ratusan – atau beberapa media bahkan menyebutnya ribuan – orang berdemonstrasi sepanjang jalan hingga ke kantor gubernur Papua.
Sementara itu situasi di Manokwari mulai kondusif meski kantor DPRD sudah terlanjur menjadi korban. Lalu, entah bagaimana awalnya kota Sorong juga mulai terbakar emosi. Beberapa orang merusak bandara Domine Eduard Osok, memecahkan kaca bandara dan membakar beberapa kendaraan yang sedang terparkir di bandara.
Tapi sampai sore, Jayapura masih aman terkendali. Tidak ada berita kerusuhan, perusakan, apalagi sampai jatuh korban. Entah kenapa, saya yakin sekali kalau keadaan Jayapura akan tetap aman. Apalagi ketika melihat gubernur Papua, Lukas Enembe langsung menemui para demonstran yang berkumpul di lapangan apel kantor gubernur Papua.
Hari itu, meski seharian saya hanya di kos saja tapi semua berjalan nyaris tanpa ada yang aneh. Kecuali bahwa beberapa toko memilih tutup. Selebihnya, semua seperti kota Jayapura yang saya tahu.
*****
Di hari yang sama, ketika sore menjelang. Dari berbagai berita saya menangkap kalau suasana mulai kondusif. Demonstrasi di Jayapura sudah selesai dengan damai, sementara aksi di Manokwari sudah berhasil diredam aparat keamana. Begitu juga dengan aksi di Sorong. Saya pikir semua sudah akan berakhir. Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore lebih sedikit.
Saya masih asyik membuka WhatsApp ketika sadar salah satu pesan yang saya kirim sama sekali tidak bisa terkirim. Lalu saya baru sadar kalau tanda “4G” yang biasanya ada di samping tanda sinyal di handphone saya menghilang. Saya coba mematikan koneksi internet dan beberapa detik kemudian menyambungkannya kembali. Sama saja, tanda “4G” itu tidak muncul.
Lalu, saya coba aktifkan flight mode selama beberapa menit sebelum menonaktifkannya kembali. Biasanya, prosedur seperti ini akan membuat jaringan di handphone normal kembali. Setidaknya beberapa kali prosedur seperti itu saya lakukan ketika handphone saya kehilangan tanda “4G”.
Tapi kali ini tidak. Berkali-kali prosedur itu saya jalankan tapi koneksi internet sama sekali tidak hadir. Saya langsung berpikir ada yang tidak beres dengan jaringan internet di kawasan kos saya. Mungkin ada kabel yang rusak, kata saya dalam hati. Kejadian yang hampir sama terjadi tahun lalu ketika kabel fiber optic di Sarmi terputus karena gempa.
Baca juga: Susah Sinyal (Diangkat Dari Kisah Nyata)
Saya sama sekali tidak berpikir kalau itu karena kesengajaan. Saya pikir jahat sekali pemerintah dan operator selular kalau sampai mematikan jaringan internet mobile di seluruh Jayapura. Ketika aksi kerusuhan pecah di Jakarta bulan Mei lalu, pemerintah memang sempat memblokir akses ke beberapa aplikasi dan memperlambat jaringan internet. Hanya blokir sebagian dan bukan blokir keseluruhan. Lagipula, masak sih internet diblokir tanpa pemberitahuan? Minimal SMS kepada para pengguna, biar kita tidak mengira-ngira apa yang terjadi.
Sampai tengah malam saya bolak-balik mengecek jaringan dan sama sekali tidak ada jaringan internet dari Telkomsel. Sampai akhirnya saya tertidur dan berharap besok pagi bangun dengan jaringan internet yang sudah normal kembali. Tapi saya salah. Ketika terbangun dan mengecek handphone, ternyata jaringan internet tetap belum tersambung. Belum ada tanda “4G” di handphone saya.
“Mati internet juga di tempatmu?” Tanya saya lewat SMS kepada seorang kawan di Jayapura.
“Iye daeng, mati juga. Tapi kalau pakai wifi bisa,”jawabnya beberapa saat kemudian.
Saya tiba-tiba sadar kalau ini memang kesengajaan. Betapa naifnya saya, merasa bahwa pemerintah tidak mungkin sejahat itu menutup akses internet di Papua. Beberapa jam kemudian ketika berhasil mengakses internet dengan menggunakan wifi, saya baru sadar kalau ternyata memang pemerintah memaksa penyedia layanan seluler untuk membatasi akses internet di Papua. Untuk mencegah hoaks katanya.
Sampai hari Kamis, 22 Agustus – atau tiga hari sejak pertama kali internet mobile diblok, kami di Jayapura sama sekali belum bertemu lagi internet mobile. Di kamar kos belum ada wifi, jadi secara otomatis ketika keluar dari kantor saya harus mengucapkan selamat tinggal pada internet. Sama sekali tidak ada internet, bukan hanya perlambatan atau blokir sebagian.
*****
Pemblokiran akses internet mobile di Jayapura – dan wilayah lain di Papua – membuat saya berpikir betapa pemerintah kita memang senangnya instan saja. Gagal membendung hoaks, mereka menutup jalur internet yang dipakai menyebarkan hoaks. Ini seperti membunuh satu ekor tikus dengan mengebom satu rumah.
Di rilis resmi Kominfo pemerintah malah bilang kalau pemblokiran internet di Papua dilakukan sejak Rabu 21 Agustus, padahal kenyataannya pemblokiran dilakukan sejak Senin 19 Agustus. Pun, Moeldoko menyatakan bahwa yang terjadi di Papua bukan pemblokiran, hanya perlambatan akses. Ini juga sama sekali tidak sesuai kenyataan karena yang terjadi adalah benar-benar tindakan pemblokiran. Bukan sekadar perlambatan.
Atau, mungkin pemerintah berpikir kalau orang Papua itu semuanya bodoh. Hanya bisa pakai internet untuk menyebarkan hoaks saja, tidak tahu pakai internet untuk kerja, untuk kirim data, untuk cari bahan pelajaran, atau untuk memesan dan mendatangkan pesanan ojek daring. Mungkin hal-hal seperti itu oleh pemerintah di Jakarta sana dianggap tidak akan sampai ke kepala orang Papua, jadi wajar saja kalau mereka tega memutus jaringan internet di Papua.
Memutus, bukan hanya memperlambat atau memblokir sebagian. Entah sampai kapan. [dG]
Kementrian satu ini sudah seperti kementerian penerangan di jaman orba.