Arah Narasi Kebencian di Dunia Maya
Sebuah catatan tentang makin maraknya nasari kebencian di dunia maya. Hadir selepas mengikuti diskusi yang diadakan oleh Gusdurian Makassar.
SABTU PAGI (16/9). Biasanya Sabtu jadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan, apalagi saya baru saja menyelesaikan perjalanan panjang melintasi Jambi dan berhenti di Padang, Sumatra Barat. Tapi hari itu, pikiran untuk bersantai saya tepis dulu.
Dengan Vespa tua bernama Ben saya beranjak ke sebuah hotel di kawasan Jln. Haji Bau, sepelemparan batu dari rumah pribadi Jusuf Kalla (sungguh info yang tidak penting, ya?). Pagi itu, jaringan Gusdurian Makassar mengundang saya untuk hadir dalam acara diskusi mereka. Judulnya: Workshop Untuk Kampanye Kontra Ekstrimisme (dan) Kekerasan. Meski judulnya workshop, tapi acara hari itu lebih kepada diskusi, berbagi pemikiran dan bertukar pengetahuan.
Baca juga: Gus Dur yang saya tahu
Mungkin acara sebelumnya yang lebih banyak ke work dan shop. Acara yang saya hadiri ada di hari kedua, pesertanya lebih banyak anak muda dari kampus, lembaga atau warganet. Hari sebelumnya pesertanya adalah jurnalis.
Di acara itu ada Alissa Wahid, putri Alm. Gus Dur dan sekaligus penanggung jawab jaringan Gusdurian nasional. Saya sempat salah menyebut nama beliau dengan Yenny Wahid ketika memperkenalkan diri, maafkan saya. Selain mbak Alissa, ada Savic Ali yang tentunya sudah tidak asing bagi para warganet Indonesia, apalagi buat pengguna Twitter. Dia rajin berkicau, pun jadi tulang punggung website NU.or.id serta Islami.co. Dia juga dikenal sebagai lelaki yang tabah, mendukung Arsenal sejak dulu meski prestasi Arsenal, yah begitulah.
Selain mereka berdua ada juga mas Heru Prasetia, redaktur pelaksana di Gusdurian.net. Satu lagi saya lupa namanya, tapi dia pria dengan tubuh yang lumayan jangkung.
*****
ACARA DIBUKA DENGAN PRESENTASI hasil pemetaan media sosial yang dilakukan oleh jaringan Gusdurian selama periode September hingga November 2016. Beberapa platform yang diamati adalah: Facebook, Twitter, Instagram, YouTube dan aplikasi berbalas pesan WhatsApp.
Apa hasil dari pemetaan itu?
[spoiler=”Apa hasil dari pemetaan itu?”]Jadi begini, saya singkat saja. Intinya adalah bahwa dalam periode tersebut terlihat jelas bagaimana narasi kebencian terhadap kelompok dan golongan tertentu terus meningkat di media sosial. Ada beberapa alasan yang dijadikan patokan untuk mendukung narasi kebencian itu.
Karena kebetulan waktu pemetaan itu bertepatan dengan panasnya pilkada DKI Jakarta, maka tentu saja narasi yang paling utama adalah ajakan untuk tidak memilih pemimpin kafir. Buat saya, ajakan ini tidak masalah karena toh mereka yang mengajak itu punya dasar yang menurut mereka kuat. Ayat dalam Al Quran bok! Apalagi si pelaku terindikasi melakukan pelecehan ayat suci, makin lengkaplah alasan untuk menolaknya. [/spoiler]
Oke, saya mendukung kebebasan berekspresi seseorang apalagi kalau mereka yakin itu untuk menjalankan ajaran agama yang mereka percaya. Jadi ya saya santai saja ketika ada yang mengajak untuk menolak pemimpin kafir. Bahkan ketika ada demonstrasi sampai berjilid-jilid itu saya tetap menghormati mereka yang menjalaninya. Itu adalah kebebasan berekspresi, dilindungi undang-undang.
Masalahnya, ajakan itu oleh sebagian orang kemudian melebar ke mana-mana. Tidak berhenti di persoalan ajakan saja, tapi mulai mengobarkan api perang kepada mereka yang berbeda. Kata “kafir” diobral di mana-mana, silakan kalau mau pakai, mau disematkan ke siapa juga tidak masalah. Jangankan pada orang yang beda keyakinan, sama sesama muslim saja boleh koq.
Lalu akhirnya terjadilah. Hanya karena beda pilihan politik, label kafir ditempel di jidat orang lain. Padahal mereka seiman, bersaudara. Kalaupun tidak seiman, tapi minimal mereka sama-sama manusia, bersaudara dalam kemanusiaan. Tapi itu tidak jadi bahan pertimbangan. Pokoknya beda ya kafir. Itu sudah! Apalagi banyak yang lupa kalau ini hanya sekadar pilihan politis, cuma memang bumbunya ya pakai bumbu agama.
Awalnya dari situ, lalu melebar ke mana-mana. Apalagi bibitnya memang sudah ada.
Muncullah narasi-narasi kebencian lainnya yang sayangnya tetap menggunakan agama sebagai bumbu penyedapnya. Beberapa di antaranya justru berujung pada aksi-aksi yang sangat ekstrim. Ajakan menyingkirkan demokrasi dan menggantinya dengan khilafah itu salah satunya, yang lebih ekstrem dari itu adalah ajakan bergabung dengan ISIS.
Urusannya sudah sampai ke pencabutan nyawa orang lain di samping menimbulkan kerusakan.
Narasi-narasi ini dibangun dengan sistematis, terencana, terukur dan sangat kreatif. Pelakunya menggunakan beragam media, bukan sekadar tulisan saja tapi juga meme, foto dan video. Pokoknya mencari cara dan celah yang efektif untuk menyebarkan paham yang mereka percayai.
Pelakunya pun menurut saya terbagi dua. Pertama, mereka yang benar-benar aktif menyebarkan paham karena mereka percaya pada paham itu, dan model kedua adalah mereka yang sebenarnya hanya mengincar uang saja. Mumpung jualan kebencian sedang banyak peminatnya, mereka terjun ke bisnis itu. Bikin website yang dimodifikasi seolah-olah website berita atau website islami. Isinya tidak jauh-jauh dari kebencian, ajakan memerangi pihak lain, kalau perlu diisi dengan kebohongan juga tidak apa-apa.
Golongan kedua ini lebih mengincar uang. Mungkin saja pegiatnya melakukannya sambil bercelana pendek, kaos oblong, dengan kretek dan kopi di meja. Mereka tidak benar-benar punya tujuan “membela agama”, karena toh tujuan mereka hanya uang dari website yang mereka kelola dan ujaran kebencian yang mereka sebarkan.
Meski beda tujuan, dua golongan ini ya tetap sama bahayanya.
*****
SEKALI LAGI, SAYA ORANG yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Saya sangat menghargai pendapat orang. Baik mereka yang mendasarkan pendapatnya pada ayat-ayat dari kitab suci atau mereka yang mendasarkan pendapatnya pada bacaan kiri. Bebas pokoknya! Selama memang ada dasarnya.
Tapi, kebebasan berpendapat itu berbeda dengan kebebasan menyebarkan kebencian. Kadang memang garis pembedanya tipis.
Sebagai bagian dari keluarga Muhammadiyah yang lebih konservatif dari segi ajaran agama dibanding NU, saya juga terbiasa menghadapi perbedaan termasuk perbedaan keyakinan. Tapi sepanjang yang saya tahu, perbedaan itu tidak pernah diajarkan sebagai alat untuk membenci apalagi sampai memerangi.
Beda ya beda saja, tidak masalah. Asalkan bisa dan mau hidup berdampingan, no problemo senor. Interaksinya mungkin beda, juga dengan standar prioritas. Bagaimana pun mendahulukan saudara seiman ya itu biasa. Tapi sekali lagi, tidak sampai membenci apalagi memusnahkan mereka yang berbeda.
Ini yang saya percaya selama bertahun-tahun.
Sekarang kan auranya sudah beda lagi. Semakin hangat narasi untuk menyerang mereka yang berbeda. Mereka yang berbeda biasanya adalah minoritas, dan posisinya tentu lebih empuk untuk dijadikan sasaran. Soal mayoritas-minoritas ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama. Semua yang mayoritas biasanya punya kecenderungan untuk bersikap intoleran, meminta hak berlebih, meminta penghormatan berlebih dan lupa untuk menyayangi minoritas. Kebetulan saja di Indonesia mayoritasnya adalah muslim. Coba lihat di negara lain yang mayoritasnya non muslim, hal yang sama juga kerap terjadi kan?
Narasi-narasi kebencian ini menurut saya tidak sepenuhnya menggunakan agama sebagai dasar pijakannya. Coba kesampingkan agama, kebencian itu tetap ada koq. Cuma ya memang, agama adalah bumbu paling pas untuk makin membuat narasi kebencian itu makin maknyus. Padahal bisa saja dasarnya adalah politik atau uang.
Sialnya, banyak yang tertipu dengan narasi yang dibangun. Dikiranya ini murni untuk membela agama.
Tunggu, saya sudah terlalu jauh meracau soal narasi kebencian yang lagi hangat sekarang ini. Kita kembali ke acara yang saya bilang tadi.
Intinya, di acara diskusi itu ada banyak cerita yang terungkap. Tentang sikut-sikutan antar lembaga dakwah yang perang pengaruh di kampus, praktik-praktik intoleransi yang semakin ramai bahkan sampai ke BUMN daan bahkan tindakan represif sebuah kampus yang tidak memberikan hak bersuara dan berbeda pada mahasiswanya.
Mengerikan memang.
Tapi selama masih ada yang percaya kalau keberagaman itu indah, maka saya percaya kalau kita masih bisa berharap Indonesia tidak akan bernasib seperti Afghanistan. Jangan sampai ya.
Afghanistan itu negeri kecil, sukunya pun sedikit. Tapi kenapa selalu perang? Baca di sini ya
“Ada dua isu yang beda tapi ditangani sama oleh pemerintah. Pertama, isu terorisme dan kedua, isu ekstrimisme. Keduanya ditangani secara periodik, padahal isu esktrimisme itu bukan isu periodik seperti terorisme,” kira-kira begitu kata mbak Alissa Wahid.
Silakan direnungkan. Tabik [dG]
saya juga pernah baper sama postingan teman saya yang suka nyinyir2in apa2 yang saya dukung… tapi satu hal yang saya tau sih ya orang yg suka bikin post kebencian gitu biasanya memang posisinya berada di luar, atau pernah ada di dalam. #eh apa sih ya hehe
sebenarnya nda penting posisinya di mana, yang jelas mereka pasti punya tujuan sendiri
entah karena alasan prinsip atau murni karena uang ji
repotnya, kita semua jadi korban
Ujaran kebencian merajalela, kita sbg kaum ibu harus melakukan proteksi sedari dini
betul mbak, bagaimana kita bisa memproteksi anak-anak kita sedari dini itu yang jadi tugas berat
Semakin ke sini, ujaran-ujaran kebencian itu makin banyak di sosial media. Tidak sedikit pula yang berperang sendiri di kolom komentar. Entahlah, sepertinya ujaran kebencian di sosial media menjadi wabah sendiri.
ujaran kebencian itu ada karena ada yang nyari, ada yang butuh
supply and demand kan?
sebenarnya, dalam agama mana yang mengajarkan kebencian kecuali kepada perbuatan yang tercela?
membantah perbedaan yang terbaik adalah dengan menyampaikan fakta2.. liberal, sekular, ataupun islamiah, bisa berdebat dengan fakta2 ilmiah dan ilmu pengetahuan masing. bukannya harus dengan urat saraf yang tegang.
tinggalkanlah perdebatan, karena itu sesungguhnya perbuatan yang sia-sia buatmu. begitu kata alquran bila yudi tidak salah mengartikan
kalau berdebatnya pakai data saya kira tidak sia-sia, Insya Allah bisa menambah wawasan kita walaupun mungkin akhirnya bisa sepakat untuk tidak sepakat
Kalau kuperhatikan, ujaran kebencian yang berbau agama dan politik sering dihembuskan sama pengguna medsos baru atau generazi x dan y. Rata-rata generasi milenial komen-komen pedas hate speech untuk urusan-urusan macam penampilan, trend terkini, gosip artis idola dll. *belum punya data *masih asumsi* 😀