Afi Nihaya; Korban Pertarungan Dua Banteng
Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik sama Afi Nihaya dan cerita-cerita tentangnya. Tapi videonya di Facebook bikin saya berpikir juga.
SEJAK RAMAI-RAMAI SOAL AFI INI, saya sebenarnya tidak terlalu peduli. Tidak tahu kenapa, tapi ya berasa tidak penting saja. Ketika tulisannya yang berjudul “Warisan” dibagikan banyak orang, saya hanya melihatnya sepintas, membaca cepat dan bahkan lupa isinya apa. Entah kenapa, tapi saya merasa tidak tertarik dengan tulisan Afi itu. Atau minimal tulisannya tidak membekas.
Lalu warganet Indonesia kembali heboh dengan soalan Afi ini ketika dia terindikasi melakukan plagiat untuk tulisannya yang berjudul “Warisan” itu. Kembali saya tidak peduli. Tidak sekalipun saya menuliskan status atau apapun itu yang berkaitan dengan plagiarisme yang dilakukan Afi. Saya juga hanya membaca sepintas lalu tuduhan-tuduhan yang kemudian terbukti benar itu.
Kenapa saya tidak peduli?
Begini, apa yang ditulis Afi di tulisan berjudul “Warisan” itu bukan hal baru. Itu adalah hal yang sejak jaman Mochtar Kusumaatmadja jadi menteri luar negeri sudah diceritakan. Lagipula tulisan seperti itu menurut saya agak kurang terasa khasiatnya di jaman seperti sekarang. Jaman ketika warganet seperti terbelah dua antara yang (merasa) nasionalis tapi dituduh tidak agamis dengan mereka yang (merasa) agamis tapi dituduh tidak nasionalis.
Tulisan-tulisan seperti itu tidak serta-merta membuat orang-orang dari dua kubu itu tiba-tiba terhenyak, berpikir, merenung, lalu berucap, “Iya, ternyata selama ini saya salah.” Susah, bahkan nyaris seperti berharap teman saya akan menikah dengan tokoh Brie di Filosofi Kopi 2. Tahu sendirilah, Brie hanya tokoh khayalan dan teman saya yaa, tidak seganteng Chicco Jericho. Tapi itunya besar sih (perutnya).
Kembali ke soalan tulisan Afi itu.
Terbukti kan? Tulisan itu tidak mengubah apa-apa. Tidak ada yang tiba-tiba jadi terhenyak, berpikir, merenung dan berucap “Iya, ternyata selama ini saya salah.” Yang ada malah tulisan itu diserang dan dicerca satu pihak, tapi dipuji dan dipuja oleh pihak lain.
Satu pihak merasa kalau mereka dapat senjata yang bisa mereka gunakan untuk menyerang pihak lawan. Sementara pihak lawan ya tentu saja berusaha melumpuhkan senjata yang baru ditemukan itu.
Kasihan senjatanya.
Apalagi Afi masih muda, bayangkan bagaimana dia menanggung beban mental sedemikian beratnya. Dijadikan role model di satu sisi, tapi jadi bahan risak di sisi lain.
Soal dia masih muda tapi sudah berani speak up, itu memang perlu diberi jempol. Tapi, adakah yang mendampingi dia ketika bom berupa tulisan itu meledak? Adakah yang benar-benar memahami dan berada di sampingnya ketika pujian bahkan undangan menjadi pembicara dan datang ke istana negara menghampirinya? Adakah yang menegarkannya ketika badai risak, caci maki dan cercaan menerjangnya?
Dua kubu itu hanya sibuk dengan ego mereka, menempatkan Afi di tengah dan mungkin tidak peduli apa yang dirasakan Afi. Sialnya lagi, mereka yang memuji berlebihan dan merisak berlebihan itu banyak bapak-bapak dan ibu-ibu, mereka yang mungkin punya anak perempuan. Apa mereka tidak pernah berpikir kalau Afi itu punya kesamaan dengan anak-anak mereka? Anak-anak yang seharusnya dibiarkan tumbuh seperti layaknya anak-anak, tidak perlu dipuji berlebihan dan tidak perlu pula dirisak berlebihan.
Saya baru benar-benar memperhatikan soal Afi ini ketika dia muncul dengan video live di Facebook, walaupun videonya juga tidak saya tonton sampai habis.
Di video itu dia mengeluh soal banyaknya risakan yang menimpanya, lengkap dengan kata-kata kasar yang buat orang bule sudah cukup membuat kuping gatal. Baru saja video itu heboh, eh kehebohan lain menyusul. Ternyata video itu kembali terindikasi plagiat. Afi juga ternyata menggunakan kata-kata orang lain di materi videonya.
Risakan untuk Afi kembali bergelombang, datang menerjang.
Sampai di sini saya mulai berpikir. Apa yang melatarbelakangi Afi hingga membuat video itu? Apakah dia memang sudah tidak tahan dengan risakan yang datang menimpanya, atau dia sengaja karena ingin kembali meraih popularitasnya yang sempat membumbung itu?
Tapi saya lebih ke asumsi pertama.
Dia memang sudah tidak tahan dan dengan kerapuhan seorang anak ABG dia menjiplak kalimat orang yang dia rasa pas dengan suasana hatinya. Lalu video itu dia buat meski mungkin saja dia tidak berharap reaksi warganet akan seperti sekarang. Biasalah, anak ABG bisa melakukan sesuatu yang absurd tanpa berpikir panjang efeknya. Sialnya karena Afi menggunakan platform media sosial yang memang kejam dan tidak pandang bulu.
Sampai di sini saya berkesimpulan kalau Afi benar-benar adalah korban. Korban dari pertarungan dua banteng yang menempatkannya di tengah-tengah, tanpa kekuatan memadai, tanpa kestabilan mental dan malah membuatnya galau tak berujung. Kalau tidak diselamatkan dari sekarang, dia bisa saja akan semakin hancur.
Kasihan dia. Padahal jalannya masih panjang [dG]
Nasionalis dituduh tak agamis. Agamis dituduh tidak nasionalis. Hahaha, persis banget yang terjadi sekarang. Saling tuduh. Pendapatku sih, ini anak loncat di saat yang ngga pas, dan ngga peka.
Jujur saya juga tidak memperdulikan berita tenang Afi. Mau dia jiplak, terinspirasi, mengutip atau apapun. Toh yang membuat dia makin dikenal sebenarnya bukan dirinya sendiri, tapi warganet yang memanfaatkannya. Pada dasarnya saya tidak mau menyalahkan Afi, biarkan dia berkembang layaknya remaja lainnya.
Masa kecilku juga sering mengutip tulisan-tulisan penyanyi dan puisi di koran untuk aku pamerkan. Hanya saja masa dulu belum ada sosial media dan dunia tidak sensitif seperti sekarang
nah betul!
jaman dulu belum ada media sosial yang kejamnya kayak sekarang
jaman dulu juga belum ada kubu-kubuan kayak sekarang