Romantisme Losari, Sampai Kapan?

Satu sunset di Losari

Saya paham kalau di resah melihat sebuah mega proyek yang perlahan tapi pasti sudah mulai tumbuh di punggung Losari.

Tahun itu sekitar 1986 atau 1987, saya lupa tepatnya. Jelasnya saya masih SD ketika itu. Masih seorang anak kecil yang ceking dan berkulit kelam. Kala itu seorang sepupu datang ke rumah kami, usianya belum genap 5 tahun. Dia datang dari sebuah kabupaten yang jauh, Sidrap namanya.

Oleh almarhum Bapak,saya, adik dan si sepupu diajak ke pantai Losari. Tepatnya di sebuah taman yang berada di Selatan pantai itu. Kami mengenalnya sebagai Taman Safari. Jangan membayangkan Taman Safari di Bogor sana yang penuh dengan binatang yang dibiarkan berkeliaran karena Taman Safari yang ini hanya sebuah taman bermain dengan beberapa permainan seperti perosotan, ayunan dan jungkat jungkit.

Di taman ini juga ada buaya dan gajah, hanya saja mereka tidak hidup. Mereka hanya berupa patung yang terbuat dari beton.

Taman Safari menyimpan banyak kenangan bagi warga seusia saya. Masa kecil sebagian besar dari kami pasti pernah diisi dengan bermain di taman di tepi pantai itu. Masih jelas di ingatan saya betapa senangnya bisa bermain di taman itu, berfoto di binatang-binatang yang kaku dan dingin itu dengan latar pantai dan semilir angin laut.

Itu Losari di tahun 80an.

Di tahun 90an ketika gejolak masa muda sedang merasuki raga saya, Losari kembali menyimpan kenangan. Masa itu sepanjang pantai sejauh kurang lebih 2 KM itu berjejer para pedagang dengan ragam rupa dagangan. Dari pisang epe, roti bakar, kopi susu, jus buah hingga makanan berat seperti bakso dan nasi goreng. Losari disebut sebagai restoran terpanjang di dunia.

Malam minggu adalah puncak teramai dari Losari yang membentang sepanjang Jl. Penghibur ini. Ragam manusia bercampur di sana. Dari anak ABG bau kencur hingga pasangan lansia yang menghabiskan malam di tepi pantai. Dari para ABG yang memamerkan kendaraan terbarunya hingga para wanita malam yang mencari pelanggan. Semua ada di sana.

Pantai Laguna dan Losari Yang Disentuh Modernisasi.

Opa Willy Ferial dalam diskusi Losari di hotel MGH hari Sabtu (8/9) yang lalu bercerita kalau Losari di tahun 50-60an bukanlah apa-apa. Dia hanya pantai membentang yang di ujungnya ada tempat pelelangan ikan. Dia hanya pantai yang terbujur memanjang tempat warga membuang hajat di tepiannya.

Pelan-pelan berbekal testimoni dari warga pendatang yang berucap kalau sunset di Losari sangat indah, pantai itu mulai dibenahi. Walikota Patompo di tahun 70an yang memang punya urat entertainment mengubah pantai itu jadi sebuah tujuan wisata. Dari dialah Losari kemudian jadi sebuah tempat yang rajin dikunjungi orang, tentu dengan popularitasnya sebagai restoran terpanjang.

Itu berlangsung lama hingga seorang Walikota bernama Amiruddin Maula menganggap kawasan Losari mulai kumuh. Para pedagang kemudian digeser ke sebuah jalan baru yang memotong lautan, Jl. Metro Tanjung Bunga namanya.

Niat sang walikota kemudian disempurnakan oleh penerusnya, Ilham Arief Siradjuddin. Para pedagang digeser ke sebuah tempat yang bermana Pantai Laguna. Namanya indah, tapi tidak dengan kenyataannya. Merelokasi pedagang hanya sebuah kata baru dari mengungkung. Mereka ditempatkan di sebuah kawasan yang berada di pojokan selatan pantai Losari, terhimpit oleh perkampungan kumuh di Mariso dan tanggul Jl. Metro Tanjung Bunga.

Tak ada lagi pemandangan sunset yang bisa disaksikan sembari meneguk jus alpukat atau menggigit manisnya pisang epe. Pemandangan berganti dengan tanggul beton di sebelah kanan, perumahan kumuh yang berdesakan di sebelah kiri dan air laut yang berwarna hitam kental penuh dengan sampah. Romantisme Losari menguap. Nyaris tak bersisa.

Sementara itu sang Walikota punya niat baru. Bekas restoran terpanjang di dunia itu sekarang siap untuk jadi sebuah lahan proyek baru. Di atasnya nanti akan ada 3 anjungan yang menjorok ke laut. Anjungan tempat warga kota bisa menikmati sore menanti sunset.

Anjungan yang sudah jadi

Tahun berganti, sekarang sudah ada satu anjungan yang berdiri di sana. Dua lagi akan segera menyusul. Sementara itu para pedagang di pantai Laguna mati satu persatu. Yang masih bertahan hidup kembali ke tempat mereka di sepanjang proyek anjungan Losari meski dengan resiko sewaktu-waktu akan diusir.

Losari berubah, dari nothing to something. Bahkan mulai disentuh modernitas.

Masjid Apung dan CPI

Entah dari mana asalnya, di Selatan Losari tepat di sisi Jl. Metro Tanjung Bunga hadir sebuah masjid. Mereka menyebutnya Masjid Apung meski jelas-jelas ada batang beton yang menyangganya. Belakangan masjid berubah nama menjadi Masjid Amirul Mukminin.

Sama sekali tak pernah ada dalam rencana hingga tiba-tiba masjid itu hadir. Bentuknya lumayan, meski saya tidak yakin akan ada orang yang mau ke sana di musim hujan nanti. Jarak dari jalan ke masjid cukup jauh dan tidak ada atap selasar sama sekali. Masjid ini juga dibangun dengan model minimalis yang menghilangkan atap di atas jendela. Bayangkan bagaimana tempias air hujan akan masuk ke dalam masjid. Apalagi dia berada di tepi pantai.

Masjid Apung. Bentuk kubahnya aneh kan?

Masjid Amirul Mukminin hanya cerita kecil. Ada bahaya lain yang lebih besar yang sedang mengintip di sekitaran Losari. Center Point Of Indonesia (CPI) namanya.

Entah siapa yang pertama memulai, entah dari mana datangnya ide ini tapi semua warga Makassar sudah pernah mendengar tentang CPI ini. Minimal tahu kalau akan ada sebuah mega proyek yang akan hadir. Sebuah baliho super besar dengan tampang bapak Gubernur dan bapak Presiden berdiri di Jl. Metro Tanjung Bunga.

Center Point of Indonesia. Terdengar sungguh manis bukan? Di Losari nanti akan ada sebuah kawasan luas yang memuat ratusan bangunan besar. Di antaranya akan ada istana negara Republik Indonesia karena katanya bila menarik garil lurus dari Sabang hingga Merauke dan dari Talaud hingga ke Timor maka titik itulah yang sesungguhnya titik tengah negeri kita. Entah benar atau tidak.

Inilah rencana CPI itu. Megah bukan?

Losari mulai ditimbun. Di atasnya nanti akan ada jutaan kubik tanah yang dituangkan untuk jadi tempat tumbuhnya bangunan baru itu. Mereka mungkin berpikir tak perlu pusing dengan biota laut sekitar, tak perlu pusing dengan lingkungan hidup sekitar. Bahkan tak perlu pusing dengan penduduk pesisir yang kumuh yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rencana CPI itu.

Losari benar-benar sudah berubah. Dari nothing to something.

Opa Willy Ferial, seorang budayawan yang paham betul tentang sejarah kota ini, seorang yang sangat dihormati karena dedikasinya untuk kota Makassar dengan meyakinkan bilang kalau dia mencintai kota ini meski sekarang cintanya kadang sudah terenggut.

Saya paham kalau di resah melihat sebuah mega proyek yang perlahan tapi pasti sudah mulai tumbuh di punggung Losari. Dia paham bagaimana mega proyek itu nantinya akan merenggut banyak hal dari pantai yang sesungguhnya sudah menyimpan banyak kenangan dan romantisme warga kota. Mungkin beliau juga sama seperti saya, kuatir suatu hari nanti bahkan untuk menikmati sunset di Losari kita harus membayar beberapa rupiah.

Saya tidak anti modernisasi. Saya cuma mau bertanya, pentingkah CPI itu? Haruskah CPI ada? Apa itu bukan hanya akal-akalan penguasa untuk mengangkat harga tanah sekitar? Apa itu bukan cuma sebuah pertarungan politik antara Walikota dan Gubernur demi sebuah nama yang ingin dikenang selamanya?

Tapi kenapa Losari yang jadi korban? Tidak cukupkah Karebosi dan Benteng Somba Opu?

Saya resah ketika mengenang reomantisme di Losari.

[dG]