Balla Lompoa Yang Tak Sebesar Sejarahnya

Balla Lompoa dan Istana Tamalate
Balla Lompoa dan Istana Tamalate

Balla Lompoa, bekas istana Kerajaan Gowa berdiri megah di tengah kota Sungguminasa. Sayang, istana ini tidak sebesar kisah kejayaannya.


Siang itu udara Sungguminasa sedang gerah, langit mendung pertanda akan hujan. Angin seperti mati, enggan bertiup. Saya menapaki tangga istana Balla Lompoa menuju ke bagian dalam rumah panggung yang didominasi warna cokelat itu. Di bagian depan rumah ada semacam ruangan besar yang berfungsi sebagai ruang tamu. Beberapa pakaian adat Makassar terlipat rapi dalam lemari yang berada di sebelah kiri, sementara satu set sofa tua yang sebagian kulitnya sudah terkelupas diletakkan di sebelah kanan.

Sinriliq, musik khas Kerajaan Gowa yang sekarang sudah hampir punah.

Sebuah piagam peresmian terpasang di dinding dekat jalan masuk ke bagian utama rumah. Beberapa dagangan cincin batu akik juga ikut terpajang di sana, membuat saya menggelengkan kepala. Betapa fenomena batu akik ini begitu luar biasa sampai merambat ke museum.

Dari sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan rumah terdengar ocehan beberapa orang wanita dengan logat Jakarta. Saya mengintip sejenak dari pintu yang tak tertutup, mereka rupanya adalah ibu-ibu wisatawan yang sibuk berdandan dengan pakaian adat Makassar, baju bodo. Mereka datang berombongan menggunakan mobil station wagon milik Angkatan Udara RI. Mungkin mereka istri perwira angkatan udara, kata saya dalam hati.

Museum Balla Lompoa yang dibangun dengan arsitektur rumah adat Makassar ini memang menyediakan fasilitas penyewaan baju adat Makassar buat para wisatawan. Mereka yang datang bisa menyewa pakaian adat itu lalu berfoto dengan latar museum Balla Lompoa.

Saya beranjak ke bagian dalam museum, ke sebuah ruangan besar yang didekorasi seperti ruangan pesta perkawinan adat Makassar. Di salah satu sudut sebuah pelaminan (dalam bahasa Makassar disebut lamming) berdiri megah. Di depannya meja panjang dibentangkan dengan bosara (penutup makanan) khas Makassar di atasnya. Benar-benar didesain seperti sebuah pesta pernikahan suku Makassar.

Di sepanjang dinding lemari-lemari kaca berwarna suram berdiri berjajar. Isinya mulai dari senjata pusaka kerajaan Gowa, benda-benda kebesaran, panji-panji, foto tua yang tak terawat sampai silsilah kerajaan Gowa dari Tumanurung sampai Raja Gowa terakhir. Sebuah kepala rusa yang diawetkan dipasang di tiang rumah, sebagai penanda kalau dulu bangsawan kerajaan Gowa memang punya hobi berburu rusa.

Ibu-ibu angkatan udara itu masih ramai, mereka asyik mematut-matutkan diri berfoto di lamming. Sesekali mereka tertawa riang dan saling mengomentari. Seorang pria muda dengan kamera DSLR di tangan tampak sabar melayani permintaan ibu-ibu itu.

Mereka sibuk berfoto, saya juga sibuk mengamati ragam koleksi museum Balla Lompoa.

*****

Balla Lompoa yang terletak di pusat kota Sungguminasa ini adalah salah satu sisa peninggalan kejayaan kerajaan Gowa, kerajaan yang pada abad XVI sempat begitu berjaya sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara. Pusat kerajaan Gowa sebenarnya berpindah-pindah, sebelumnya kerajaan Gowa berada di bukit Tamalate sebelum Raja Gowa IX Tumapakrisika Kallongna memindahkan pusat kerajaan ke delta sungai Jeneberang dan membangun Benteng Somba Opu.

Keputusan ini sangat tepat, sejak pemindahan pusat kerajaan di tahun 1510 perlahan-lahan kerajaan Gowa tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan menggantikan Malaka yang jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Kejayaan kerajaan Gowa berlangsung selama satu abad lebih sebelum akhirnya jatuh ke tangan VOC lewat perang Makassar yang panjang dan melelahkan. 18 November 1667 lewat perjanjian Bungayya, kerajaan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin mengakui kekalahan dari VOC. Kerajaan Gowapun perlahan-lahan mengalami kemunduran.

Sejak saat itu benteng Somba Opu yang pernah tenar sebagai pusat perdagangan dunia perlahan redup dan ditinggalkan. Sultan Hasanuddin memindahkan kembali pusat kerajaan ke daerah perbukitan, terakhir Raja Gowa XXXV I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa membangun Balla Lompoa di kota Sungguminasa pada tahun 1936 yang sekaligus jadi istana terakhir kerajaan Gowa yang bisa dilihat sampai sekarang.

Di sisi lain, Belanda yang menempatkan Fort Rotterdam sebagai pusat pemerintahan yang baru semakin pesat membangun kota yang kelak akan dikenal sebagai kota Makassar.

Balla Lompoa atau yang dalam bahasa Makassar berarti rumah besar menjadi salah satu sisa kerajaan Gowa yang bisa dilihat hari ini. Di sebelahnya berdiri sebuah istana yang jauh lebih besar, didirikan oleh pemerintahan kabupaten Gowa sejak tahun 2007 dan dijadikan bangunan serbaguna untuk acara pemerintahan maupun acara perkawinan.

Sebagai sisa sebuah kerajaan besar seperti Gowa, Balla Lompoa sama sekali tidak sebanding. Isi museum tidak menampakkan betapa besarnya kerajaan Gowa di jaman lampau. Isi museum lebih banyak berisi benda-benda biasa yang jumlahnya tidak seberapa. Museum ini juga tidak menampakkan fakta-fakta kejayaan kerajaan Gowa atau keuletan mereka melawan orang-orang Belanda yang ingin menguasai Nusantara beratus-ratus tahun yang lalu.

Balla Lompoa dalam pikiran saya hanya seperti sebuah istana yang kesepian, berdiri sendiri di jantung kota Sungguminasa, menjadi saksi terakhir kebesaran kerajaan Gowa tapi gagal menunjukkan sisa-sisa kebesaran itu. Sayang, kebesaran Balla Lompoa gagal menyamai kebesaran kerajaan Gowa.

Masjid Al Hilal adalah masjid tua peninggalan Kerajaan Gowa. Baca ceritanya di sini

Tapi, untuk wisatawan yang ingin tahu sedikit tentang kerajaan Gowa atau minimal berfoto dengan pakaian adat Makassar, Balla Lompoa bisalah menjadi salah satu pilihan. [dG]

Video Balla Lompoa