Makassar Jadi Jejaring Kota Kreatif UNESCO, Mungkinkah?

Selama dua hari (Selasa-Rabu, 7-8 Agustus) yang lalu, saya kebetulan hadir dalam sebuah acara yang dihelat oleh Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Makassar yang bekerjasama dengan Indonesia Creative City Network (ICCN). Tema besarnya adalah tentang kesiapan Makassar menjadi salah satu jejaring kota kreatif UNESCO.

Sebagai pembuka, kita cerita dulu apa itu kota jejaring kota kreatif UNESCO (ini juga informasi baru buat saya).

JEJARING KOTA KREATIF INI ADALAH program dari UNESCO (saya anggap kita semua sudah tahu apa itu UNESCO) yang diusulkan sejak 2004. Tujuan utamanya adalah menjalin kerjasama antar kota yang berjejaring dengan menempatkan kreativitas dan  industri budaya sebagai koridor utamanya. Fokus utamanya sebenarnya ada pada manusianya, dan bagaimana pembangunan dengan basis kreativitas dan industri budaya tersebut bisa berlanjut terus (berkesinambungan).

Saat ini menurut laman UNESCO sudah ada 180 kota di 72 negara yang menjadi bagian dari jejaring kota kreatif. Semua kota tersebut tersebar ke dalam tujuh lapangan kreatif, yaitu: kerajinan tangan tradisional, desain, film, gastronomi, literatur, musik dan seni media. Di Indonesia sendiri baru dua kota yang masuk ke dalam jejaring tersebut, yaitu Pekalongan dan Bandung.

Jejaring kota kreatif UNESCO

Pekalongan masuk menjadi anggota jejaring kota kreatif UNESCO sejak 2014 di bidang kerajinan tangan tradisional, dan Bandung di tahun 2015 di bidang desain.

Nah, Makassar ingin juga menjadi bagian dari kota kreatif ini dan masuk lewat jalur gastronomi. Tentang gastronomi ini saya juga baru tahu kalau istilah ini merujuk kepada seni menyajikan makanan, utamanya makanan tradisional. Semacam pengembangan dari istilah kuliner, barangkali.

Belajar Dari Bandung.

HARI PERTAMA KEGIATAN TERSEBUT berisi seminar yang diisi oleh tiga pembicara, yaitu: Arief Budiman (Sekjen ICCN), Dwinita Larasati (Ketua Bandung Creative Forum), dan Fikri L. Satari (Ketua ICCN). Ketiganya lebih banyak memperkenalkan tentang apa itu jejaring kota kreatif UNESCO dan kisah bagaimana Bandung bisa menjadi bagiannya.

Acara hari pertama

Kisah Bandung ini menarik juga. Mungkin orang Indonesia sudah lama mengenal Bandung sebagai kota yang dihuni orang-orang kreatif. Baik itu dari sisi musik, desain hingga fesyen. Sejak dulu kota yang dijuluki sebagai Paris Van Java ini memang sudah menghasilkan individu-individu kreatif yang karyanya sudah dikenal dan tersebar di Indonesia bahkan dunia.

Tapi, menurut Dwinita Larasati, Bandung juga dulu punya masalah dengan birokrasi pemerintahan yang menurut para pelaku industri kreatif itu tidak memihak mereka. Awal terbentuknya Bandung Creative Forum (BCF) juga diakui sebagai usaha untuk memprotes pemerintah kota Bandung, sekaligus merebut ruang publik untuk dijadikan sebagai ruang berkreasi bagi komunitas kreatif di kota Bandung.

Bandung kemudian beruntung karena salah satu penggerak BCF akhirnya menduduki kursi tertinggi pemerintahan kota itu. Ridwan Kamil naik menjadi walikota Bandung sejak tahun 2013 dan dengan demikian dia bisa dengan mudah menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mendukung kerja-kerja komunitas kreatif Bandung. Ini adalah modal besar bagi Bandung, setidaknya setengah dari perjalanan mereka menjadi kota kreatif jadi lebih mudah.

Tapi bukan itu yang dipelajari di hari pertama. Kita tidak belajar dari Bandung soal bagaimana mendorong seorang pegiat komunitas agar bisa menjadi walikota (walaupun sebenarnya itu menarik juga), tapi lebih kepada bagaimana kita bisa belajar membangun ekosistem kreatif dan berjejaring antar komunitas. Apa yang sudah dilakukan Bandung bisa juga ditiru, tentu dengan mempertimbangkan watak, karakter dan kebiasaan kota kita.

Di hari kedua, pertemuan mengerucut menjadi diskusi kelompok terarah (atau FGD, bahasa Inggrisnya). Ada tiga diskusi yang berjalan bersamaan dengan tiga tema berbeda. Ada tema “Kontribusi Jejaring Kota Kreatif Indonesia Terhadap Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional”, kemudian di kelas kedua ada tema “Inisiatif Komunitas Bottom-Up dalam Sinerginya dengan Pentahelix Stakeholders untuk Aktivasi Ekonomi Kreatif di Kota Makassar” dan terakhir ada tema “Jejaring Kota-kota Kreatif Dunia dan Tujuan global untuk menjawab tantangan Sustainable Developments Governance (SDG) 2030 dan The New Urban Agenda”.

Saya sendiri masuk ke kelas kedua, berbicara tentang inisiatif dari bawah ke atas dan sinergi pentahelix dalam usaha aktivasi ekonomi kreatif di kota Makassar.

FGD di hari kedua.

Sayangnya, meski bernama diskusi kelompok terarah atau FGD, acara tersebut jauh dari kata diskusi kelompok terarah. Jumlah pesertanya terlalu banyak, mungkin sekitar 30 orang dari berbagai latar. Acara lebih mirip seminar dengan lingkup yang lebih sedikit. Ada tiga narasumber yang masing-masing membawakan presentasi yang sayangnya lagi tidak semuanya sesuai dengan tema. Belum lagi pertanyaan dari hadirin yang juga tidak semua sesuai tema. Seorang bapak-bapak pegiat industri film malah mempertanyakan judul acara yang lebih mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, alih-laih berdiskusi sesuai tema.

“Kalau seperti ini, kita akan kehilangan ciri khas kita, budaya kita. Belum lagi itu sensor film. Kita lihat ada film “Dirty Grandpa” yang memperlihatkan seorang kakek bermasturbasi di depan cucunya. Itu kan merusak moral kita orang Indonesia,” katanya.

Duh, please dulu e pak. Fokus ki dulu pak, fokes! Fokes!

Makassar, Kota Kreatif Gastronomi?

KITA KEMBALI KE TOPIK. Seperti yang saya bilang di atas, Makassar sedang merancang jalan untuk menjadi bagian dari jejaring kota kreatif UNESCO tersebut dengan mengambil gastronomi sebagai jalurnya. Pemerintah kota Makassar berpikir kalau Makassar lebih punya potensi untuk menjadi bagian dari jejaring itu lewat beragam kuliner lokal yang sudah kadung terkenal dan menjadikan Makassar sebagai salah satu surga kuliner di Nusantara.

Di satu sisi itu benar juga. Makassar sebagai kota pelabuhan sejak jaman kerajaan Gowa-Tallo memang punya banyak makanan khas yang sebagian merupakan asimilasi dari para pedagang pendatang tersebut. Baik itu makanan berat seperti coto, pallubasa, atau konro sampai makanan lumayan ringan seperti pisang epe atau pisang ijo. Ditambah lagi sajian olahan laut yang juga jadi salah satu primadona di kota ini. Jadi, kalau pilihannya adalah bidang gastronomi Makassar setidaknya sudah punya bahannya.

Menikmati kuliner Makassar dalam 24 jam

Tapi. Ada tapinya juga.

Meski terkenal dengan olahan makanannya, Makassar tidak punya kebiasaan melayani. Coba tengok warung-warung makan yang menyajikan makanan tradisional di Makassar. Namanya mungkin tenar dengan pengunjung ratusan tiap hari. Tapi, pelayanannya kalau merujuk kepada standar umum pelayanan di rumah makan bisa dianggap kurang. Wajah pelayan tanpa senyum dan sapa, kadang berteriak seenaknya kepada rekannya dan kadang menyodorkan makanan dalam wadah dengan sedikit menghentak.

Belum lagi soal kebersihan dan kerapihan tempat makan. Tidak sulit untuk melihat bagaimana warung-warung tradisional itu lantainya penuh dengan tisu bekas atau kulit ketupat di warung coto. Semua ini tentu berpergaruh pada kenikmatan makan, bukan?

Buat warga lokal mungkin tidak ada masalah, karena toh ini bisa dianggap sebagai karakter khas yang sudah dirasakan bertahun-tahun bahkan mungkin turun temurun. Tapi buat pendatang? Para wisatawan?

Lagipula kebiasaan itu bukan kebiasaan baik atau kearifan lokal yang harus dilestarikan bukan?

Jadi kerja keras Pemkot Makassar dan para pelaku industri kuliner di kota ini masih sangat dibutuhkan. Bagaimana membangun sebuah standar baru pelayanan dalam penyajian makanan tradisional di warung-warung makan yang sudah jadi ciri khas kota Makassar.

Itu satu, tantangan lainnya adalah masih kurangnya kerjasama antar pentahelix. Hey,saya juga baru tahu istilah ini. Pentahelix adalah istilah kesatuan yang terdiri dari lima unsur: pemerintah, pemodal, akademisi, komunitas, dan media.

Saya fokus di kerjasama komunitas dan pemerintah saja karena kebetulan hal tersebut sering saya temui dalam beberapa tahun belakangan ini. Pemerintah kota Makassar memang sudah mulai merajut kerjasama dengan komunitas di Makassar, termasuk komunitas pegiat kuliner. Ini harus diapresiasi, tapi tentu saja tetap harus diperbaiki. Minimal harus ditingkatkan.

Kritikan terbesar saya mungkin ada pada bagaimana pemerintah kota Makassar melindungi kerja-kerja komunitas lokal. Salah satunya adalah ketika hadirnya serbuan kue-kue artis yang dengan semena-mena menempelkan tagline “oleh-oleh Makassar” seolah-olah mereka sudah ratusan tahun hadir. Ini pastinya membuat galau teman-teman komunitas kuliner yang sudah sejak lama merintis usaha untuk mempopulerkan kue-kue tradisional. Mereka kalah oleh pemodal yang lebih besar yang menggandeng ketenaran para pesohor itu. Harapan utama tentu bisa disandarkan kepada pemerintah kota yang bisa memberikan “perlindungan” kepada komunitas. Mekanisme ini yang menurut saya belum nampak.

*****

MENJADI ANGGOTA JEJARING KOTA KREATIF UNESCO lewat jalur gastronomi tentu bukan hal yang mustahil bagi Makassar. Hanya saja, jalannya sangat panjang dan terjal. Bola panas sekarang ini ada di pemerintah kota. Apakah mereka siap dengan program dan pendekatan yang lebih kreatif untuk mencapai tujuan itu? Atau tetap dengan model dari atas ke bawah dengan birokrasi yang rumit?

Di sisi lain, komunitas, akademisi, pemodal dan media juga harus benar-benar terlibat dan dilibatkan. Bukan hanya jalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya malah bisa saling menyakiti. Membuka diri untuk bekerjasama dengan pemerintah adalah sebuah pilihan, meski tetap berhati-hati agar tidak dijerumuskan ke dalam politik praktis di musim-musim pilkada.

Tapi ada satu diskusi kecil yang menarik ketika acara berlangsung. Diskusi dengan Kak Jimpe dari Tanahindie, sebuah organisasi nirlaba (dan nirbala) yang beberapa tahun lalu fokus melakukan penelitian tentang komunitas di Makassar.

“Kalau saya lihat, kita sebenarnya lebih cocok masuk di kota kreatif lewat literasi. Makassar punya modal, kita punya Lagaligo, terus saya lihat sebagian besar komunitas di Makassar dan irisannya itu bertemu di perpustakaan,” katanya.

Menarik juga. Cuma memang sayangnya itu tidak bisa lagi diakomodir oleh pemerintah kota Makassar yang sudah memilih jalur gastronomi dengan pertimbangannya sendiri, sepertinya tanpa melibatkan pihak lain.

Jadi, mau tidak mau sebagai warga kota yang ingin melihat kotanya maju kita hanya bisa berusaha mendukungnya. Sambil tentu saja memberikan masukan dan kritikan, dengan harapan pemerintah kota mau mendengarkan.

“Padahal kalau jadi kota literasi, kedengarannya juga lebih intelek kan?” Kata kak Jimpe berseloroh. Benar juga, tapi sepertinya kali ini kita harus tunduk pada keinginan lidah dan perut, ha-ha-ha. [dG]