Makassar Dan Ekonomi Yang Tumbuh
Baru-baru ini BPS merilis daftar 10 kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia setelah melakukan survey ke 82 kota di Indonesia. Makassar masuk dalam urutan ke-10.
Menurut survey tersebut (yang kemudian dipercantik oleh Beritagar) dalam sebulan rata-rata penduduk kota Makassar membutuhkan dana sebesar Rp. 5.774.957,- atau lebih tinggi dari rata-rata biaya hidup nasional yang sebesar Rp. 5.580.037,-. Jakarta tentu saja tetap ada di urutan pertama dengan besaran biaya hidup Rp.? 7.500.726,-. Untuk kota-kota di Indonesia Timur, Makassar “kalah” dari 3 kota lain seperti Jayapura, Ternate dan Manokwari.
Penghitungan biaya hidup itu terbagi atas dua, 35,04% untuk biaya makanan dan sisanya 64,96% untuk biaya non makanan. Masuknya kota-kota seperti Ternate, Jayapura dan Manokwari sebagai kota dengan biaya hidup tertinggi tentu masuk akal mengingat kota-kota tersebut memang sangat jauh dari “pusat peradaban” sehingga pembangunan infrastruktur dan kebutuhan non makanan banyak yang masih diimpor dari Jawa atau pulau Sulawesi. Kebutuhan dasar seperti pakaian hingga bahan bangunan yang dibutuhkan untuk membangun rumahpun kebanyakan masih didatangkan dari Jawa atau Sulawesi, jadi pantaslah kalau biaya hidup di ketiga kota itu memang tinggi.
Lalu bagaimana dengan Makassar? Kota di selatan pulau Sulawesi ini tidak terlalu jauh dari Jawa, pun perkembangannya sangat pesat sehingga banyak kebutuhan non makanan bisa dihasilkan sendiri di kota ini. Pabrik semen misalnya, hanya berjarak sekisar 50 KM dari kota Makassar ada dua pabrik semen yang mampu menyuplai kebutuhan dasar pembangunan kota.
Sudah berulangkali saya tuliskan kalau kota Makassar memang sangat berkembang pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Data dari BPS menunjukkan kalau index pertumbuhan ekonomi kota Makassar terus berada di atas angka nasional sejak tahun 2008. Tahun 2012 kota Makassar bahkan menjadi kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia dengan angka 9,48%. Pendapatan per kapita kota Makassar juga meningkat pesat dari angka Rp. 20,79 juta di tahun 2008 menjadi Rp. 37,23 juta di tahun 2012.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang terus meningkat tentu mempengaruhi gaya hidup warga (atau sebagian besar warga) kota. Kebutuhan sekunder atau tersier makin bertambah seiring gaya hidup yang berubah. Dengan pendapatan yang bertambah warga kota tentu tidak lagi nyaman melenggang dengan pakaian yang dulu biasa mereka beli di pasar tradisional. Gerai mall, butik dan distro tentu jadi pilihan baru karena mereka mampu. Penunjang lain seperti gadget dan kendaraan juga masuk sebagai kebutuhan utama, bukan sebagai pelengkap lagi.
Dulu ketika masih bekerja di perusahaan pengembang saya juga sudah merasa kalau harga perumahan di Makassar relatif lebih tinggi dibanding harga-harga perumahan dengan kualitas, model dan besaran yang sama di kota-kota besar di Jawa, bahkan Jakarta. Dari penelitian singkat saya meraba kalau penyebabnya adalah harga tanah yang lebih mahal serta beberapa bahan bangunan non alam yang masih harus diimpor dari Jawa.
Oke, itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan tidak terjadi karena budaya atau kebiasaan. Tapi tahukah Anda kalau ada satu budaya atau kebiasaan yang ikut mempengaruhi gaya hidup orang di kota Makassar sehingga tergolong sebagai orang yang rajin belanja?
Seorang antropolog dari Universitas Hasanuddin pernah menulis tentang fenomena ini (sayang tulisannya di laman Panyingkul sudah tidak dapat diakses lagi). Orang Bugis Makassar sangat peduli pada penampilan atau pencitraan. Mereka rela menghabiskan banyak uang bahkan mengutang hanya supaya terlihat mentereng dan bisa mengangkat penampakan status sosial mereka. Singkatnya, orang Bugis-Makassar gengsinya tinggi.
Contoh sederhana saja, kalau Anda melihat sekeliling di kota Makassar maka Anda pasti kesulitan menemukan motor yang usianya sudah di atas 15 tahun. Rata-rata motor yang beredar di seputaran kota adalah motor-motor keluaran terbaru. Seorang kawan pernah mengeluh susahnya menjual motor bekas di kota ini karena harganya jatuh sangat jauh. Tentu saja karena orang-orang di kota Makassar lebih memilih membeli motor baru yang mudah didapat daripada membeli motor tua yang sudah lewat masa trendynya.
Ini juga berlaku untuk mobil, bahkan angkutan umum yang lazim disebut pete-pete. Pete-pete dihias semenarik mungkin, bahkan ada yang dilengkapi dengan sound system mutakhir dan bahkan televisi layar datar. Kalau tidak begitu, mereka bisa sepi penumpang karena penumpang juga sangat pemilih.
Faktor-faktor yang saling melengkapi itulah yang kemudian menjadikan Makassar masuk dalam salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia. Ekonomi yang makin membaik, pendapatan per kapita yang makin meningkat dan gaya hidup yang memang mentereng jadi alasan makin tingginya jumlah rupiah yang dibelanjakan keluarga-keluarga di kota Makassar. Tentu ada konsekuensi dari fenomena ini, baik maupun buruk.
Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan: sudah meratakah pertumbuhan ekonomi yang nampaknya menggembirakan ini? Selamat siang [dG]
satu dasawarsa yah daeng.. hampir bertepatan dengan rusuh ambon -_-‘
Tulisan yg bagus mas, kebetulan mau pindah kesana. Tks @umarright
itu yang survey orang gila
harga kacang panjang 1 gelintir aja 2000
jelas mahal makassar daripada jakarta