Geliat Sineas Kota Daeng
Sineas-sineas kota Daeng semakin menggeliat. Gairahnya terasa hingga kemana-mana
Dari beberapa foto di laman media sosial, antrian itu masih terlihat panjang. Mengular bahkan sampai ke luar gedung bioskop. Antrian itu selama berhar-hari jadi pemandangan biasa di hampir semua bioskop jaringan Cineplex 21 di Makassar. Bukan cuma Makassar, beberapa kota di provinsi lain di pulau Sulawesi juga sama, pun di beberapa kota di Kalimantan yang jadi basis perantauan orang Bugis-Makassar. Media sosial juga dipenuhi cerita-cerita mereka yang rela menempuh jarak jauh dari daerah tak berbioskop ke kota-kota besar, semua demi menonton sebuah film.
Kata Bugis-Makassar memang jadi kata kunci dari ramainya antrian di depan loket tiket bioskop itu. Para pengantri punya kesamaan, sama-sama berdarah Bugis-Makassar dan sama-sama rela meluangkan waktu dan tenaga untuk menengok sebuah karya anak Makassar yang bertemakan budaya Bugis-Makassar. Sebuah film berjudul Uang Panai; Maha(R)l yang jadi incaran para pengantri itu.
Cerita kesuksesan Uang Panai bisa dibaca di sini
Diputar pertama kalinya sejak tanggal 25 Agustus 2016, film Uang Panai menjadi film lokal pertama yang berhasil menembus angka 500 ribu penonton sebulan kemudian. Film lokal di sini adalah artian sebuah film yang produksinya melibatkan hampir semua orang lokal. Dari departemen teknis seperti sutradara, produser, kameramen, director of photography sampai departemen akting; pemeran utama, pemeran pembantu hingga cameo. Uang Panai bahkan sempat masuk ke dalam 10 film Indonesai terlaris di tahun 2016.
Selang tujuh bulan kemudian, di awal bulan Maret 2017 keramaian yang nyaris sama kembali terjadi. Meski tidak sampai seheboh film Uang Panai, sebuah film karya anak lokal Makassar juga kembali menarik minat besar dari para penonton. Film ini judulnya Silariang, juga mengambil latar budaya Bugis-Makassar. Di hari pertama penayangannya di jaringan Cineplex 21, film ini diklaim sudah meraih 11 ribu penonton. Jumlah yang sangat lumayan untuk ukuran film lokal.
Bukan Hal Baru
Geliat film di kota Makassar dan provinsi Sulawesi Selatan sebenarnya bukan hal baru. Denyut para sineas di kota ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Baik itu dari sisi film pendek, film dokumenter sampai film layar lebar.
Di bagian film pendek, setidaknya ada nama Aditya Ahmad yang bisa disodorkan. Tahun 2014, Adit-nama sapaannya-memproduksi sebuah film pendek berjudul Sepatu Baru. Film pendeknya yang berkisah tentang tradisi menolak hujan ini bukan hanya berhasil meraih penghargaan di tingkat nasional, namun juga berhasil meraih penghargaan di Festival Film Berlinale, Berlin.
Untuk film dokumenter, sebutlah nama Arfan Sabran yang pernah juga meraih penghargaan di ajang Eagle Awards yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi. Appang-panggilannya-meraih penghargaan itu lewat film Suster Apung yang menceritakan kehidupan seorang perawat di perairan antara Pangkep dan Flores.
Nah untuk film layar lebar sendiri, sebelum kesuksesan Uang Panai, setidaknya ada tiga film lokal yang menembus jaringan Cineplex 21 meski tidak terlalu meledak. Film Bombe, Bombe Dua dan Sumiati karya Rere yang juga menggarap film Silariang sempat tayang di jaringan bioskop terbesar Indonesia itu. Sekali lagi, meski tidak meledak tapi setidaknya itu jadi bukti kalau film lokal bisa juga tayang di jaringan bioskop nasional.
Eh, jangan lupa juga di jaringan indipenden atau indie. Ada banyak komunitas film atau perorangan yang aktif membuat film-film pendek dengan beragam genre. Tengoklah di YouTube dengan kata kunci “Pak Lurah The Series”, kalian akan menemukan film-film pendek bergenre komedi produksi Komunitas Film Ajattapareng (KFA). Buat yang tidak bisa berbahasa Bugis (termasuk saya), film ini memang agak susah dicerna karena mereka menggunakan bahasa Bugis. Tapi lihat semangatnya, mereka menggarap film-film pendek itu dengan cukup serius.
KFA tidak sendirian. Setidaknya ada juga sineas yang sama di daerah utara seperti Toraja yang juga menggunakan bahasa lokal, dan tentu saja sineas-sineas muda di kota Makassar.
Makassar punya acara yang namanya Makassar SEA Screen Academy sejak 2012. Acara yang digagas oleh Riri Riza dan Rumata Art Space ini mengumpulkan sineas-sineas muda Makassar dan kota-kota lain di Indonesia timur. Mereka menonton film bersama, berdiskusi, menggagas ide pembuatan film, belajar membuat film dan belajar manajemen produksi. Riri Riza bahkan melibatkan sineas-sineas muda Makassar di dua produksi film terakhirnya; Athirah dan Ada Apa Dengan Cinta 2.
Momentum Tepat.
Kesuksesan (secara komersil) film Uang Panai memang bisa dianggap sebagai momentum yang pas untuk benar-benar memperkenalkan sinema dari Makassar. Menyusul di belakangnya film Silariang yang sementara tayang, dan film dengan judul yang nyaris sama yang akan segera tayang.
Kalau mau jujur, kualitas film layar lebar karya anak Makassar memang masih jauh dari kata sempurna. Jalinan cerita, logika, akting, hingga sudut pengambilan gambar masih perlu banyak perbaikan. Tapi, kita kesampingkan dulu faktor itu. Kita bicara soal semangat dulu, soal bagaimana sineas-sineas muda kota ini mencoba mengambil peran di peta perfilman Indonesia yang lebih banyak berbicara seputar Jakarta, Jakarta, Jakarta, dan kemudian baru kota-kota lain di pulau Jawa.
Sayangnya saya bukan walikota Makassar atau gubernur Sulawesi Selatan. Seandainya iya, saya akan memberi ruang dan bantuan sebesar-besarnya pada para sineas yang sedang menggeliat itu. Momentum ini sangat tepat untuk memberi dukungan penuh tanpa pamrih para mereka. Entah itu memberi ruang karya yang lebar, dukungan dari segi dana, pengetahuan, peningkatan kemampuan, kebijakan, apapun itu. Bukan sekadar menerima mereka di ajang audiensi atau datang di pemutaran film mereka.
Ini momentum yang sangat pas untuk memberi ruang dan dukungan pada sineas-sineas itu agar berkarya secara maksimal, terus meningkatkan kemampuan dan kualitas. Momentum ini juga pas sekali untuk semakin mengeratkan hubungan antar para sineas lokal. Jangan sampai buah mengkal dari perjuangan panjang ini justru batal menjadi buah matang karena mereka sendiri sudah saling sikut dan bersaing antar mereka. Sayang, kan?
Tantangan lainnya adalah soal kualitas. Untuk saat ini, kualitas memang masih sangat perlu ditingkatkan. Mengutip komentar pak Awaluddin (salah seorang pemain teater dan pemain di film Uang Panai): kalau kualitas tidak di-improve, industri bisa menjebak kita pada karya yg bersifat musiman. Ketika pasar jenuh dan makin cerdas, kita tertinggal.
Kalau kerendahan hati tetap dijaga, semangat kebersamaan tetap dirawat, keinginan belajar dan meningkatkan kualitas tetap dipupuk serta tangan-tangan besar dengan kuasa dan dana berlimpah siap membantu, maka waspadalah Indonesia! Makassar bisa jadi kota pusat perfilman Indonesia sekian tahun yang akan datang. Untuk saat ini, nikmatilah geliat sineas-sineas kota Daeng. [dG]