Geliat Cakar di Sudut Kota Makassar

cakar
cakar
Saslah satu pedagang cakar di Aroepala

Pemandangan di Aroepala dalam beberapa bulan ini seperti sebuah pertanda akan datangnya masa keemasan baru dari barang import bekas ini.

Ada pemandangan baru di jalan Aroepala dalam beberapa bulan belakangan ini. Beberapa pedagang pakaian bekas import atau yang lazim disebut cakar ( singkatan dari cap karung ) menghiasi sudut-sudut jalan besar yang belum lama terbentuk itu.

Para pedagang itu menggelar dagangan mereka di bahu jalan. Sebuah terpal plastik besar dibentangkan di tanah, di atasnya tumpukan pakaian bekas itu dibiarkan begitu saja. Di bagian samping dan depan masih ada puluhan lembar pakaian lainnya yang digantung dengan hanger. Ragamnya ada banyak, dari kaos, kemeja, jaket, celana pendek hingga jeans dan jaket kulit.

Awalnya hanya satu, bertempat dekat jalan masuk sebuah kompleks perumahan. Belakangan, beberapa ratus meter dari situ pedagang lainnya juga mencari rejeki dengan peluang yang sama. Sekarang pesaing dari celah yang sama makin bertambah. Bukan hanya pakaian tapi juga berlembar-lembar selimut dan bed cover bekas import mereka jajakan. Makin hari Aroeppala makin ramai oleh geliat para pedagang cakar itu.

Ini entah kebangkitan yang keberapa untuk barang-barang bekas import itu. Sekitar belasan tahun sebelumnya, cakar pernah jadi primadona di kota Makassar. Ketika itu Indonesia belum sepenuhnya sembuh dari krisis moneter yang menghantam di akhir tahun 90an. Harga-harga melambung tinggi sementara pendapatan hampir tak bergerak. Sandang sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia jadi susah untuk diraup, dan dari celah itulah cakar datang dan perlahan menjadi primadona.

Sebelum krisis moneter menghantam, cakar sudah ada. Dia datang melalui jalur ilegal, biasanya masuk lewat pulau Kalimantan yang kemudian dibawa menyeberang melalui kota Pare-Pare (sebelah utara kota Makassar ) Dari sana cakar kemudian masuk ke Makassar. Sebelum krisis moneter menghantam, cakar dipandang sebelah mata. Pelanggannya hanya orang-orang yang memang tidak mampu masuk ke toko yang layak untuk membeli pakaian baru.

Krisis moneter mengantar cakar naik ke level yang lebih tinggi. Pelanggannya makin beragam, bukan cuma mereka yang tidak mampu, tapi juga mereka yang mengejar merk. Satu-dua merk ternama memang kadang terselip di antara tumpukan barang-barang bekas itu. Kondisinyapun masih lumayan, hanya perlu laundry sebelum barang-barang itu nampak seperti baru kembali. Dari sisi harga tentu berbanding jauh, dari harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah di toko berbanding dengan harga belasan ribu dan puluhan ribu di kios cakar.

Di masa jayanya kios cakar tumbuh subur di pelbagai sudut kota Makassar. Di hari-hari libur berderet mobil-mobil mengkilap dan baru di depan pusat penjualan cakar. Tanda kalau level cakar memang naik beberapa tingkat. Usaha cakar menggeliat, dan orang-orang mereguk nikmatnya keuntungan dari sana.

Tapi hidup memang seperti roda yang berputar. Ekonomi Indonesia makin membaik, harga-harga makin terjangkau dan persaingan makin sehat. Mereka yang biasanya hanya mampu mampir di cakar kemudian kembali menjejakkan kaki ke toko yang lebih nyaman. Distro menyerbu Makassar, memberi pilihan yang lebih banyak kepada anak muda yang ingin tampil trendy. Mall makin subur, pun dengan usaha fashion yang lain.

Cakar mulai tersisihkan. Satu per satu pusat penjualan cakar tutup. Sementara yang masih bertahan mulai sepi dikunjungi pembeli. Beberapa pedagangnya memilih banting setir berjualan barang-barang yang katanya dari kapal, barang selundupan tentu saja. Barang-barang itu berupa jam tangan, kaca mata, tas branded dan banyak macam parfum.

Isu flu burung dan kemudian flu babi yang menular melalui cakar serta regulasi yang ketat dari pemerintah terhadap barang selundupan makin membuat sinar cakar meredup. Era keemasannya berlalu secara perlahan. Mereka yang bertahan tak bisa lagi dengan santainya mereguk nikmat madu keuntungan. Barang mereka terkulai lusuh, ragamnyapun tak semeriah dulu ketika masa keemasan itu masih ada.

Pemandangan di Aroepala dalam beberapa bulan ini seperti sebuah pertanda akan datangnya masa keemasan baru dari barang import bekas ini. Mungkin mereka tak akan kembali persis seperti masa jaya dulu, tapi setidaknya ada geliat yang terlihat di sana.

Hidup itu memang persis seperti sebuah roda, kadang ada di atas dan kadang ada di bawah. Pameo itu juga berlaku untuk bisnis cakar di Makassar. Mungkin tidak di semua tempat, tapi setidaknya di beberapa sudut kota saya melihat kalau cakar mulai merangkak ke atas setelah sempat lama ada di bawah.

Gelinding roda ini entah akan mencapai puncak tertingginya seperti dulu atau tidak, saya tidak tahu. Saya hanya melihat bukti bahwa setiap sore ruas jalan Aroepala akan padat oleh mereka yang mampir ke pedagang cakar di sisi jalan.

Setiap sore saya jadi saksi bahwa bisnis cakar sedang menggeliat kembali di kota Makassar, setidaknya di beberapa titik. Entah sampai mana dan sampai kapan.

[dG]