Selamat Berpuasa Ibu, Bapak.

Ilustrasi
Ilustrasi

“Pul, bangun! Sahur!”

Panggilan itu terdengar dari luar pintu, hanya teriakan dan tidak disertai ketukan di pintu. Cukup dengan teriakan, saya tidak perlu menunggu lama. Turun dari ranjang, mengucek mata, mengumpulkan nyawa dan bersegera keluar dari kamar. Panggilan itu keluar dari sosok seorang pria yang saya panggil Bapak. Tegas, cukup untuk membuyarkan mimpi yang membuai.

Di meja makan hidangan sudah tersedia. Hampir tidak ada yang spesial, menunya sama dengan menu makan malam atau makan siang di hari biasa. Semua hasil masakan ibu, seorang perempuan kampung yang memang rajin memasak. Menunya mungkin biasa, tapi suasananya tentu saja tidak biasa.

Ramadan, bulan yang lebih baik dari 1000 bulan. Dalam budaya muslim Indonesia, Ramadan adalah bulan yang dirindukan, selalu ada kehangatan di dalamnya. Kehangatan keluarga, kehangatan rindu pada mereka yang sudah jauh dan kehangatan pada setiap detik yang membawa kenangan-kenangan masa kecil.

Pun dengan kami. Ramadan dimulai dengan makan bersama di meja makan bundar dari kayu. Tidak ada obrolan yang hangat, hanya suara mulut yang menguyah dengan latar siaran radio dari ruang keluarga yang bersambung langsung dengan ruang makan.

Pak Kyai dan Daeng Naba, dua tokoh legendaris dari RRI Sulawesi Selatan yang selama bertahun-tahun, melalui beberapa dekade selalu hadir menemani sahur kami. Ratusan pertanyaan dijawab pria Minang bersuara penuh wibawa itu, ditemani celoteh ringan rekan siarannya.

Belakangan, eksistensi kedua pria tua itu terpinggirkan oleh televisi. Lalu kami mulai lupa pada mereka berdua. Sahur kami ditemani televisi swasta yang nyaris 24 jam hadir tanpa kenal lelah.

Adegan subuh itu akan diakhiri dengan salam saya di pintu, meninggalkan rumah menuju masjid yang jaraknya ratusan meter dari rumah. Bersama kawan saya akan menikmati subuh dengan sholat berjamaah, lalu berjalan-jalan beramai-ramai, lalu tiduran di dangau di tepi sawah. Sampai dhuhur menjelang.

“Mengaji ko!

Perintah singkat tapi tegas dan tak mungkin saya bantah. Datang dari Ibu, perempuan yang juga mengajari saya mengeja huruf hijaiyah hingga lancar membaca. Di masa mudanya beliau pernah menjadi qori, suaranya merdu ketika melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Nyess, itu yang paling bisa saya ingat setiap kali suara beliau melintasi gorden kamarnya. Sayang, saya tak bisa menyamainya, bahkan seujung kuku sekalipun.

Selepas ashar beliau akan sibuk di dapur. Menyiapkan sajian buka puasa dan makan malam, semua hadir dari tangan beliau sendiri. Hidangan yang sederhana, tapi sampai sekarang tidak bisa saya temukan tandingannya.

*****

Terakhir kali menikmati sahur bersama beliau sekira 14 tahun lalu, tahun terakhir saya berstatus lajang dan tinggal bersama beliau. Setelah melepas status lajang tak pernah lagi rasanya saya menikmati sahur bersama Ibu dan Bapak. Paling hanya buka bersama. Bukankah hidup memang berputar? Ada yang berubah dan pasti ada yang hilang, ada yang datang.

Tahun ini Ibu tak lagi berpuasa. Tuhan memanggilnya nyaris setahun lalu, sebulan setelah beliau menuntaskan puasa terakhirnya. Menyusul Bapak yang berpulang lima tahun sebelumnya.

Saya membayangkan, beliau sahur di sana, memasak untuk lelaki yang jadi suaminya selama 33 tahun. Mungkin menantikan kami, anak-anaknya untuk kembali menikmati sahur bersama, di meja kayu bundar. Menikmati sahur tanpa percakapan, hanya suara kunyahan dari mulut-mulut kami yang menikmati setiap suapan masakannya.

Selamat berpuasa Ibu. Saya merindukan masakanmu yang sederhana, tapi selalu susah saya cari tandingannya. Saya merindukan pisang ijo buatan mu, yang sampai sekarang masih terus saya cari tandingannya. Selamat berpuasa Bapak, semoga kamu bisa menyesapi nikmatnya masakan Ibu.

*2 Ramadan 1437H, ditulis dengan pipi yang hangat dan basah. [dG]