Puasa Waktu Remaja Itu Paling Berat
Kalau ada yang bilang puasa yang berat itu waktu masih kecil, maka saya tidak setuju. Buat saya puasa paling berat itu justru ketika remaja.
SAYA MULAI PUASA SAAT TK. Pastilah awalnya puasa setengah hari dulu, sampai azan dhuhur tiba. Setahun kemudian ketika duduk di bangku SD saya mulai puasa sehari penuh. Seingat saya tidak semua teman-teman sekelas waktu itu berpuasa penuh. Sebagian juga ada yang berpuasa setengah hari dan sebagian malah belum berpuasa. “Masih kecil,” kata mereka yang belum berpuasa.
Keluarga kami pemeluk Islam yang taat. Anak-anak diajarkan untuk berpuasa dan menjalankan beragam ritual keagamaan sedini mungkin. Jadi berpuasa penuh saat usia belum genap tujuh tahun bukan hal yang aneh.
Namun, ternyata meski begitu ada juga yang menganggap kalau berpuasa penuh meski belum tujuh tahun adalah sesuatu yang istimewa.
“Lihatko tawwa, dia baru kelas satu SD sudah puasa penuh mi,” kata seorang tante jauh sambil membanggakan saya di depan teman-temannya.
Waktu itu saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Seingat saya, saya tidak terlalu bangga karena bagi saya berpuasa penuh sejak dini adalah hal yang wajar.
*****
KATA ORANG PUASA YANG BERAT itu adalah puasanya anak kecil yang baru belajar. Buat saya tidak. Puasa waktu masih kecil hingga menjelang remaja justru puasa yang biasa saja. Memang awalnya berat karena harus menahan lapar dan haus, tapi lama kelamaan jadi biasa saja. Justru, puasa di masa kecil berkesan sangat manis dalam kenangan saya.
Menghabiskan waktu puasa bersama teman-teman, bermain di tepi sawah, bersepeda bahkan bermain bola menjelang buka adalah kenangan yang sangat berkesan. Bulan Ramadan buat anak kecil waktu itu adalah bulan yang menyenangkan. Apalagi karena di ujung Ramadan kami bisa tampil dengan baju baru dan pulang dengan kantung yang penuh uang receh atau kue-kue dan kacang.
Puasa yang paling berat justru ketika saya remaja, berbaju putih abu-abu.
Berat karena godaannya yang semakin meningkat levelnya. Kala itu saya tidak bisa lagi menikmati puasa seperti anak-anak kecil menikmati puasa. Tidak ada lagi permainan di tepi sawah, sepedaan, meski kadang bermain bola menjelang buka puasa masih ada.
Godaan terberat datang di saat sekolah. Sebagai anak remaja yang hormonnya sedang menggelegak, melawan aturan adalah salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi. Termasuk melawan aturan agama. Kebetulan saya bergaul dengan sebagian anak-anak yang seperti itu.
Suatu siang di bulan Ramadan kami berkumpul di rumah seorang kawan yang sedang kosong di siang hari. Hanya ada saya dan tiga teman lain. Sambil menonton televisi, tuan rumah membuat empat gelas kopi susu dan segera menyuguhkannya. Padahal ini siang hari di bulan Ramadan.
Si tuan rumah dan satu lagi teman tanpa sungkan langsung menyeruput kopi susu itu. Saya dan seorang lagi mulai ragu.
“Minummi, ndak ada ji orang lihat,” kata salah seorang dari mereka yang meminum kopi susu itu.
Duh godaan itu. Siang hari, saat sedang haus-hausnya ada kopi susu dan air es di depan kami. Di ruangan yang hanya ada kami berempat. Sungguh godaan berat untuk seorang remaja yang sedang berpuasa. Godaan itu semakin berat ketika mereka berdua mulai membakar rokok.
Ya Tuhan!
“Ayokmi, buka mako juga. Ndak natauk ji orang,” mereka terus menggoda, mengajak berbuka puasa karena toh tak ada orang lain yang tahu.
Saya bisa saja mengiyakan ajakan mereka, membatalkan puasa sebelum waktunya dan pulang dengan berpura-pura masih berpuasa. Tapi, entah kenapa saya – dan teman yang satu lagi – tetap kukuh tidak membatalkan puasa.
Terus terang bukan takut pada azab Allah yang saya takuti, tapi bayangan Ibu dan Bapak dengan muka marah. Saya rupanya lebih takut pada mereka berdua daripada sama Tuhan. Duh!
Saya bertahan tidak membatalkan puasa, begitu juga dengan teman yang satu lagi. Entah dia alasannya apa, tapi mungkin saja kalau saya ikut membatalkan puasa maka dia juga akan ikut membatalkan puasa. Dia pasti merasa lebih kuat bertahan ketika tahu ada satu orang yang juga sama kuatnya bertahan seperti dia. Entah alasannya sama atau tidak.
Di waktu yang lain masih di siang hari di bulan Ramadan. Kali ini di rumah kawan yang berbeda. Kami menyetel Laser Disc – mudah-mudahan kalian tahu apa itu Laser Disc. Film yang diputar sebenarnya film laga –saya lupa judulnya- tapi ada juga beberapa adegan percintaan panas yang menyelip.
Hormon remaja dan perintah menahan nafsu di bulan Ramadan adalah persekutuan yang pas untuk membuat seorang remaja seperti saya galau. Mau menatap layar, tapi koq takut puasa batal ya? Mau membatalkan puasa, tapi koq sayang ya? Dua suara saling berseteru di dalam kepala. Satu suara memerintahkan saya menatap layar, satu lagi melarang saya menatap layar.
Awalnya saya memang membuang muka ketika adegan panas itu muncul. Tapi, suara desahan yang menggebu tidak bisa saya larang untuk masuk ke telinga. Suara-suara itu malah semakin membuat perkelahian dalam kepala menjadi semakin sengit.
Lihat-tidak-lihat-tidak-lihat-tidak.
Sampai akhirnya saya menemukan satu cara. Kebetulan dalam ruangan itu ada lemari dengan cermin di bagian depannya. Dengan posisi yang pas saya bisa melihat layar televisi terpantul dari cermin itu.
Voila! Saya dapat ide.
Ketika adegan itu muncul lagi di layar, saya membuang muka. Membuang muka tepat ke arah cermin di lemari itu. Jadi saya tidak kehilangan momen panas dua manusia berlainan jenis itu tanpa harus menatap langsung ke layar televisi. Dalam hati saya membenarkan tindakan saya itu sebagai “tidak membatalkan puasa karena tidak melihat langsung”. Padahal ya tahu sendirilah bagaimana bantahan atas teori tak berdasar itu.
*****
BEGITULAH, KETIKA ADA YANG BILANG PUASA yang berat itu adalah puasa ketika masih kecil, saya berani membantah. Puasa masa kecil justru menyenangkan, berbeda dengan puasa masa remaja yang godaannya justru lebih besar. Selepas berseragam putih abu-abu, puasa jadi terasa lebih ringan karena saya berada dalam lingkungan yang sangat menghormati bulan Ramadan, bersama orang-orang yang justru semakin bertakwa di bulan Ramadan.
Memang puasa jaman remaja itu adalah puasa paling berat buat saya. Anda setuju? Atau ada pendapat lain? [dG]
Haha bisa aja daeeeng…