Pernikahan
Catatan dari pernikahan Cece yang baru saja berlangsung dua minggu lalu. Sebuah pernikahan yang buat saya “tidak biasa”.
Kalian masih ingat tidak suasana saat menikah? Dari persiapan, acaranya, sampai post wedding-nya. Tentu saja ini pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh mereka yang sudah menikah, minimal sekali. Kalian yang belum menikah tapi punya keinginan menikah, mudah-mudahan suatu saat nanti akan merasakannya ya.
Dua minggu lalu saya dan Mamie baru saja melalui satu momen pernikahan. Bukan kami yang menikah (lagi), tapi si Cece – anak pertama Mamie. Cece menemukan tambatan hatinya, rekan kerja yang sekarang jadi rekan hidup. Mereka memutuskan menikah di tanggal 12 Oktober kemarin setelah proses lamaran beberapa bulan yang lalu.
Persiapan
Pernikahan Cece dan Sheperd sebagian besar diurus oleh mereka berdua, dibantu oleh keluarga besar. Mereka sepakat untuk menikah dengan prosesi Katolik, mengikuti agama Cece. Gereja Kristus Raja di Jl. Andalas dipilih sebagai tempat pemberkatan, dilanjutkan dengan acara resepsi di salah satu restoran lejen di Makassar.
Jujurly, saya tidak mengikut perkembangan persiapannya. Tidak ikut repot, pokoknya semua diatur sebagian besar oleh kedua mempelai. Ibunya pun begitu. Tidak ikut campur apalagi mengatur-atur. Semua jadi hak kedua mempelai.
Zaman memang sudah berubah, pikir saya. Kalau dulu semua acara pernikahan akan melibatkan kedua orang tua dari kedua belah pihak sebagai pihak yang paling menentukan. Dari tanggal, proses, pakaian, makanan, apalah, itulah. Pokoknya orang tua dari kedua belah pihak akan ikut campur menentukan. Ini yang kadang membuat kedua mempelai stres, apalagi kalau keduanya datang dari latar budaya yang berbeda.
Sekarang – setidaknya yang saya tahu – orang tua sudah mulai tidak ikut campur dalam acara pernikahan anaknya. Mungkin masih ada, tapi setidaknya tidak seperti dulu lagi ketika sebagian besar urusan pernikahan harus melalui persetujuan orang tua.
Hari-H
Hari H akhirnya tiba. Keluarga besar menginap di hotel bersama kedua mempelai. Tujuan utamanya tentu agar semua lebih efesien. Lupakan adegan membuat tenda di depan rumah, menjadikan rumah sebagai “markas” dari keluarga besar yang datang dari kampung. Mereka datang untuk membantu keluarga yang menikahkan anaknya, baik itu membantu menyiapkan masakan sampai semua perintilan-perintilan yang dibutuhkan dalam pernikahan.
Itu pernikahan zaman dulu. Zaman sekarang sudah banyak berubah, termasuk acara pernikahan Cece kemarin. Singkatnya, kami semua diinapkan di hotel supaya semua proses jadi lebih mudah dan efektif, tidak repot.
Malam sebelum pernikahan dimulai dengan makan malam bersama dua keluarga besar. Semacam acara santai untuk mengakrabkan kedua pihak, termasuk keluarga yang datang dari kampung atau dari luar kota. Acaranya santai saja, makan malam di restoran dan tidak pakai susunan acara atau apalah itu. Acaranya lumayan ramai karena selain keluarga inti ada juga keluarga-keluarga lain yang datang dari kampung atau dari kota lain.
Besoknya, subuh-subuh kami sudah dibangunkan untuk berdandan. Bayangkan, subuh sudah berdandan cuy! Tapi lebih luar biasa lagi, si pengantin wanita sudah berdandan dari pukul 3 subuh. Ckckckck. Benar-benar ya, sebuah pernikahan itu memang ribet.
Acara hari itu dimulai dengan prosesi tepay sebagaimana layaknya keuarga Tionghoa. Pada intinya, proses ini adalah prosesi ketika kedua mempelai mempersembahkan teh kepada orang tua dan orang-orang yang dituakan. Prosesnya diadakan di restoran sebelah hotel, sekali lagi biar tidak repot.
Siang harinya, acara pemberkatan dilakukan di gereja Katolik Kristus Raja. FYI, ini pertama kalinya saya masuk gereja Katolik hehehe. Karena bukan Katolik, jadi saya dan Mamie – serta keluarga lain yang bukan Katolik – hanya duduk di bagian belakang dan melihat proses dari jauh. Prosesnya cukup panjang seperti layaknya prosesi Katolik yang memang sakral. Hingga akhirnya Pastur menasbihkan mereka berdua sebagai pasangan suami-istri. Alhamdulillah.
Makan Malam
Rentetan proses pernikahan diakhiri dengan resepsi. Modelnya resepsi, bukan perjamuan biasa. Jadi ada susunan acaranya, bukan seperti pernikahan yang sering saya datangi atau saya tahu ketika tamu datang, salaman dengan pengantin, menikmati makanan, foto-foto, lalu pulang.
Resepsi berbeda. Acara dimulai dengan menyambut sebagian besar undangan sampai waktu yang ditentukan. Ketika waktunya tiba, maka acara pun dimulai. Acara pertama adalah orang tua kedua mempelai masuk ke lokasi acara, berjalan di atas karpet yang sudah ditentukan. Berarti itu termasuk saya dan Mamie juga. Setelah itu disusul dengan saudara dan sepupu yang belum menikah, berjalan bersamaan di atas karpet yang sama. Terakhir, kedua mempelai. Mereka berjalan di atas karpet, di antara tamu undangan dan diiringi dengan saksofon. Mereka berjalan sampai ke atas pelaminan. Di bagian ini saya beruntung karena saya dan Mamie tidak harus duduk di atas pelaminan. Biarlah keluarga dari bapaknya saja yang duduk di atas menemani mereka.
Setelah itu masih ada beberapa proses lainnya seperti potong kue, menuang wine, ciuman pertama, dan khotbah pernikahan. Setelah itu barulah makan-makan dimulai. Lumayan panjang yaaa hahahaha.
******
Saya memang tidak terlibat banyak dalam acara pernikahan ini. Bahkan bisa dibilang saya hanya jadi “undangan VVIP” saja. Tapi tetap saja, ini adalah sebuah acara yang sangat berkesan. Bagaimanapun pernikahan selalu membawa aura yang sakral dan menyenangkan. Meski saya tidak sampai menangis seperti tahun lalu ketika menikahkan adik kandung, tapi tetap saja rasanya sangat menyenangkan melihat dua insan akhirnya bersatu. Mudah-mudahan sampai akhir hayat mereka. [dG]