Hal-hal yang Akan Saya Rindukan Dari Papua


Dua tahun sembilan bulan di Papua meninggalkan banyak kenangan buat saya. Kenangan yang suatu hari nanti pasti akan saya rindukan.


Akhirnya saya kembali ke Makassar. Perjalanan yang dimulai sejak Januari 2018 itu pada saatnya memang akan menemukan ujungnya, dan saat inilah ujung itu datang juga. Per akhir September 2020 ini saya mengangkut semua barang-barang saya, meninggalkan kamar kos 3×3,5 m yang sejak Januari 2018 jadi tempat saya beristirahat itu. Saya kembali ke Makassar for good, meninggalkan Jayapura, meninggalkan tanah Papua.

Saat ini saya masih seperti layaknya seorang lelaki yang sedang putus cinta. Minggu-minggu pertama berpisah, seorang lelaki biasanya masih akan merasa dirinya baru saja menemukan kebahagiaan yang baru. Masih ceria, masih menikmati hal-hal baru yang dirasakannya. Namun, seiring berjalannya waktu dia akan mulai merasa ada perasaan lain yang datang. Perasaan sedih, pilu, dan rindu pada masa-masa sebelum dia menemukan sesuatu yang baru itu.

Sementara ini saya seperti itu. Masih menikmati masa kembali ke Makassar. Tapi, saya yakin masa ketika saya terbangun dan merindukan Papua akan tiba. Cepat atau lambat.

Saya pasti akan merindukan banyak hal dari Papua. Beberapa poin ini adalah di antaranya.

Merindukan Suasananya

Saya pernah susah tidur di Tiom, di ketinggian 2.200 mdpl ketika dingin begitu menggigit. Sweater sudah di badan, ditambah jaket dan kaus kaki, lalu ditambah pula selimut, tapi tetap saja dinginnya membuat saya sulit memejamkan mata. Pagi hari saya baru tahu kalau malam itu suhu sempat turun ke angka delapan derajat celcius. Pantas saja.


Di tepi Danau Paniai

Saya juga pernah berdiri di tepi Danau Paniai, merapatkan jaket di badan ketika angin sore berembus menusuk tulang. Saya bergidik menahan dingin sementara anak-anak rambut beterbangan diterpa angin. Danau Paniai berada di ketinggian 1.600 mdpl. Jadi tidak heran kalau udara dingin juga akrab dengan danau yang punya nama lain Wissel Meren ini.

Saya juga pernah menggigil di teras sebuah hotel di Wamena ketika angin Kurima memeluk kota itu. Ada masa ketika angin dari gunung bergerak serentak ke kota yang juga disebut sebagai jantungnya Papua itu, melewati distrik bernama Kurima. Itulah kenapa angin yang membawa dingin itu diberinama Angin Kurima.

Namun, semua tentang Papua bukan hanya tentang udara dingin. Saya pun pernah berpeluh penuh keringat di Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Kota di pesisir pantai ini juga punya masa ketika udara terasa sangat gerah, memaksa semua keringat di badan berdesakan keluar dari pori-pori kulit. Gerah dan lembab.


Berfoto di Agats, Asmat

Pernah pula saya merasakan angin dan panas matahari menerpa tubuh ketika menyusuri sungai-sungai yang berkelindan seperti ular raksasa di atas tubuh Papua. Perjalanan sepuluh jam dari Agats hingga ke Koroway yang diselingi salah jalan dan terpaksa tidur di kios sederhana di tepi hutan.

Bahkan, pernah pula saya merasakan tubuh yang menggigil kedinginan tapi suhu tubuh begitu panas. Itulah yang disebut malaria. Nyamuk malaria Papua sudah meninggalkan telurnya di tubuh saya, membuat saya membawa pulang oleh-oleh yang tidak akan pernah hilang bernama malaria. Dua kali, bukan hanya sekali.


Melintasi sungai di Asmat

Pernah pula saya berdiri di bukit di wilayah Skyland, Jayapura. Memandang jauh ke depan ke hamparan laut biru yang ada di depan kota Jayapura. Menikmati udara segar, angin laut yang menyapa dari kejauhan serta tentu saja warna biru yang memanjakan mata.

Semua itu akan jadi suasana yang saya rindukan.

Merindukan Orang-orangnya

Saya berjalan hati-hati sekali di Pasar Enarotali, di satu sudut di ibukota Kabupaten Paniai itu. Para lelaki berdiri tegap dengan pandangan tajam ke arah saya. Atau setidaknya itu yang saya rasakan. Sesekali pandangan saya bertabrakan dengan pandangan mereka, para lelaki dengan perawakan tegap, kulit gelap, dan rambut memenuhi wajah.

Paniai awalnya mengembuskan rasa gentar ke dada saya. Apalagi ketika melihat para lelakinya yang terasa begitu mengintimidasi. Tapi ternyata saya salah. Mereka memang penuh dengan tatapan curiga dan wajah yang dingin, tapi itu ada alasannya. Selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, Paniai selalu jadi salah satu daerah yang kerap jadi ajang pertemuan antara pihak yang berseteru. Karena itu, mereka tidak mudah percaya pada orang baru yang datang ke sana.


Bersama teman-teman di Paniai

Kelak, ketika mereka sudah mengenal kita maka sikap dingin itu akan berubah 180 derajat. Mereka akan jadi orang yang ramah, hangat, dan bahkan bersedia berbuat apa saja untuk melindungi kita, para tamunya.

Jabat erat dan salam kipo yang hangat adalah tanda keakraban. Bahkan mama-mama pun kerap menjabat tangan saya dengan begitu kerasnya. Kalau saya pura-pura protes dan kesakitan, mereka hanya akan tertawa lebar. Sungguh sebuah sambutan yang tak biasa.

Di Asmat, saya awalnya canggung pada sapaan hangat orang-orang yang saya temui di jalan. Berpapasan dengan mereka berarti harus siap membalas sapaan mereka. Berpapasan di sungai ketika kita melintasi sungai di atas perahu, berarti harus siap melambaikan tangan membalas lambaian mereka. Itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang tak umum untuk saya yang malas berbasa-basi. Kebiasaan yang sekaligus melunturkan gambaran saya tentang orang Papua yang katanya jahat.

Merindukan Dialeknya

Pagi masih belum sepenuhnya mekar, saya baru saja tiba di kosan setelah beberapa minggu menuntaskan kegiatan di luar kota. Seorang perempuan muda, orang Papua menyapa saya. Dia tetangga kosan.

“Eh, kaka dari mana? Lama tra kentara,” sapanya dengan senyum lebar.

Dialeknya sangat khas, logika bahasanya pun khas, lengkap dengan penyebutan “E” yang khas. Itulah dialek orang Papua yang begitu menyenangkan terdengar di telinga saya.

“Ah, ko makan sudah,”
“Ada sopir mo, jang bikin susah toh?”
“Ko tra kosong!”


Di salah satu titik tertinggi di kota Enarotali, Paniai

Dan banyak lagi. Sungguh dialek yang benar-benar menyenangkan di kuping saya. Apalagi kalau mendengarkan lebih detail, perbedaan dialek antara orang pesisir dan orang gunung. Saya memang tidak sampai mempelajari bahasa daerah mereka yang jumlahnya sangat banyak itu, hanya berusaha mempelajari logika bahasa dan dialek umum saja.  Saya juga kerap mencoba berbicara dengan dialek Melayu Papua dan sama seperti ketika mendengarnya, mengucapkannya pun terasa menyenangkan.


Mama-mama yang mengobrol di tepi Danau Paniai

Jelas, saya pasti akan merindukan suara orang-orang yang bercakap dengan dialek Papua itu.

*****

Dua tahun sembilan bulan bukan waktu yang panjang, tapi juga bukan waktu yang singkat. Dua tahun sembilan bulan sudah cukup untuk meninggalkan banyak kenangan buat saya, dan tentu saja akan melekat sepanjang hidup saya. Sebelum ke Papua dan tinggal lama di sana, saya sudah jatuh cinta pada Papua. Sekarang, setelah melalui dua tahun lebih di Papua rasa cinta itu semakin dalam. Saat ini saya masih menikmati waktu di Makassar, tapi saya yakin suatu hari nanti saya akan merindukan Papua. [dG]