Membincangkan Hutan Papua


Catatan dari sebuah kegiatan yang membincangkan tentang hutan Papua yang sudah mulai terancam.


“Dulu tong cari ikan itu sungai depan saja, tra usah jauh-jauh. Sekarang su tra bisa,” kata lelaki itu. Saya lupa namanya, dia warga kampung Koroway Bulanop, kampung di distrik Koroway, Asmat. Kami bertemu bulan November dua tahun lalu ketika untuk pertama kalinya saya menyambangi distrik terjauh di bagian timur laut kota Agats yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Yahukimo itu.

Perjalanan ke Koroway tidak mudah dan murah. Kami harus menyusuri sungai lebih kurang 10 jam dengan biaya sewa speed boat hingga belasan juta rupiah untuk pergi-pulang. Sebuah pengalaman yang mengesankan.

Sungai yang dimaksud bapak itu adalah sebuah sungai kecil yang mengalir di depan kampung, menjadi “jalan raya” bagi mereka untuk keluar dan masuk kampung. Seperti sebagian besar kampung di Asmat, Koroway juga berdiri di tepian sungai yang jadi urat nadi kehidupan mereka.


Sungai di Koroway

Konon, dulu mereka mencari ikan tepat di sungai kecil di depan kampung mereka. Tinggal menjaring atau memancing saja, ikan air tawar siap menemani waktu makan mereka. Bukan hanya ikan, tapi juga kepiting sungai. Namun sekarang semua berubah. Sungai itu tidak lagi menjadi rumah bagi ikan dan kepiting. Mereka tidak bisa lagi hidup di sungai yang tercemar merkuri. Iya, merkuri. Salah satu zat kimia yang berbahaya dan mematikan.

Merkuri yang mengotori sungai mereka adalah sisa pembuangan dari penambangan liar jauh di dalam hutan di distrik Koroway atau di dalam wilayah Yahukimo. Penambangan liar itu berkedok “penambangan warga”, dikelola oleh perseorangan dan bukan oleh perusahaan. Sebagiannya adalah sindikat yang menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Bayangkan, untuk mengangkut hasil penambangan liar dan ilegal itu, mereka sampai menyewa helikopter yang tentu biayanya tidak murah.

Penambangan ilegal yang dilakukan secara masif dan tidak terukur itu memberi dampak buruk untuk lingkungan. Salah satunya seperti yang diceritakan oleh warga Koroway yang saya temui. Sungai mereka berubah kecoklatan dan tidak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi ikan dan kepiting. Sungai tercemar, lingkungan jadi rusak. Hutan pun meradang. Warga asli jadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Mereka hanya dapat remah-remah dari penambangan liar itu tapi jadi orang yang paling merasakan dampak kerusakan lingkungan karena penambangan ilegal itu.

Alarm Bahaya Hutan Papua.

Cerita dari Koroway itu terngiang di kepala saya ketika Jumat, 7 Agustus yang lalu ikut dalam blogger gathering Wonderful Papua bersama Eco Nusa dan Blogger Perempuan. Acara ini melupakan kelanjutan dari kontes blog Wonderful Papua beberapa bulan lalu. Awalnya acara ini dirancang sebagai acara luring alias pertemuan fisik, tapi karena sedang masa pandemi maka konsepnya diubah menjadi acara daring lewat aplikasi Zoom Meeting.

Di acara ini ada tiga pembicara utama, yaitu: bapak Bustar Maitar, CEO Eco Nusa, bapak Kristian Sauyai, ketua Asosiasi Homestay Raja Ampat, dan nona Alfa Ahoren sebagai perwakilan anak muda Papua. Ketiganya membincangkan tentang kondisi terkini hutan Papua, dan usaha mereka menjadikan Papua sebagai destinasi wisata hijau.

Acara blogger gathering Wonderful Papua

Ada sesi membincangkan kondisi hutan Papua oleh pak Bustar, ada pula sesi membincangkan situasi home stay di Raja Ampat oleh pak Kristian, dan ada juga sesi membicangkan usaha anak muda mengenali dan menjaga hutan di Manokwari oleh Alfa.

Pembahasan yang paling menarik buat saya adalah pembahasan dari pak Bustar Maitar yang banyak bercerita tentang kondisi hutan Papua. Menurutnya, hutan Papua adalah the last frontier, benteng terakhir yang tersisa di Indonesia. Bila hutan di pulau lain seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah cukup memprihatinkan maka hutan di Papua masih lumayan terjaga. Meski begitu, bahaya juga tetap mengintai.

Salah satunya menurut pak Bustar adalah rencana pembukaan lahan sawit yang berada sangat dekat dengan salah satu lokasi pemantauan burung cendrawasih di Manokwari. Pembukaan lahan kelapa sawit ini dikuatirkan akan mengganggu ekosistem tempat bermukimnya burung endemik Papua tersebut. Belum lagi gangguan lain untuk lingkungan karena sifat tanaman kelapa sawit yang memang punya daya rusak tinggi. Beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera sudah jadi bukti betapa kelapa sawit yang tidak terkontrol justru merusak lingkungan.

Alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit buat saya menakutkan. Sama menakutkannya dengan pertambangan ilegal yang mencemari lingkungan. Semua berawal dari keserahakan manusia yang bisa berujung pada rusaknya lingkungan, terganggunnya ekosistem dan hilangnya hewan ataupun tumbuhan endemik. Fakta-fakta itu seperti alarm bahaya untuk hutan Papua, satu-satunya hutan perawan yang masih tersisa di Indonesia.

“Hal yang bisa dilakukan oleh para bloger adalah dengan sering-sering menulis tentang hutan Papua. Meningkatkan kepedulian orang pada hutan Papua,” kata pak Bustar. Dia juga mengakui sulitnya mengawal usaha menjaga hutan tersebut karena kuasa yang tidak besar. “Kami bukan pengambil keputusan,” katanya lagi.

Ucapan itu buat saya gabungan antara nada resah dan sekaligus harapan. Resah melihat kenyataan yang terjadi yang mengancam keberadaan hutan Papua, tapi sekaligus masih ada harapan untuk menyuarakan keresahan tersebut.

*****

Dua tahun lebih hidup di Papua, saya bisa melihat sendiri bagaimana ancaman-ancaman pada hutan Papua itu memang ada. Penambangan ilegal itu hanya salah satunya. Selain itu ada banyak lagi ancaman lain yang kalau tidak disikapi dengan serius suatu saat kelak akan benar-benar menghabisi hutan Papua.

Memang berat untuk melawannya, karena ada banyak kepentingan di dalamnya. Pemerintah yang punya kuasa saja tidak bisa benar-benar melawan. Apalagi kita yang hanya orang biasa. Padahal keberadaan hutan ini sangat vital untuk kehidupan manusia. Bukan hanya mereka yang tinggal di dekatnya, tapi kita semua yang hidup di bumi. Saya kira kita semua paham tentang itu, tapi tidak semua dari kita menganggapnya serius. Apalagi ketika dihadapkan pada pilihan instan menghasilkan uang dari merusak hutan. Uang bisa jadi pilihan utama, meninggalkan pilihan menjaga hutan yang manfaatnya tidak instan.


Menyusuri sungai, menuju Koroway

Miris memang, tapi itulah kenyataan. Saya hanya bisa berharap dan sedikit berusaha agar bisa tetap melihat hutan kita terjaga. Hari ini saya masih bisa melihat hutan Papua, dan semoga kelak anak cucu saya pun tetap bisa melihat hutan Papua. Salah satu kekayaan alam yang luar biasa, yang patut untuk diwariskan. [dG]