Menjadi Korban Banjir di Jayapura

Seumur hidup saya belum pernah jadi korban banjir. Namun ternyata selalu ada yang pertama untuk segalanya.



JARUM JAM MENUNJUKKAN ANGKA 3:35 WITA ketika saya terbangun. Ada rasa basah di bagian kaki yang mengganggu ketenangan tidur saya di Sabtu dinihari itu. Pandangan saya belum bisa menangkap apa penyebab rasa basah di kaki. Saya terbiasa tidur tanpa lampu. Saya bangun, menyalakan lampu dan segera menemukan penyebabnya. Rupanya ada air yang menetes dari plafon. Jatuhnya tepat di atas kasur di bagian kaki. Sepertinya itu air rembesan dari samping, bukan bocor dari atap karena kamar saya ada di lantai satu.

Di luar hujan memang sedang deras-derasnya. Sudah sejak tengah malam tadi, hujan deras disertai angin menyambangi Kotaraja, daerah tempat saya tinggal. Ini hujan paling deras dan lama yang pernah saya ingat semenjak menjadi penghuni sementara Kotaraja sejak awal tahun lalu.

Air dari plafon masih menetes. Dengan bersungut-sungut saya membereskan beberapa barang dan memutar kasur menjauhi tetesan air dari plafon. Air yang menetes saya tampung, lampu saya matikan dan saya mencoba kembali untuk tidur.

Belum juga saya terlelap betul, saya tiba-tiba merasa bagian pinggang agak basah. “Duh, apalagi ini?” Tanya saya dalam hati. Saya kembali bangun dan menyalakan lampu. Rupanya ada tetesan baru lagi, kembali berada tepat di atas kasur yang saya tiduri. Sial! Tidak ada tempat lagi untuk menggeser kasur. Dalam situasi krisis dengan nyawa yang belum terkumpul penuh itu, saya memutuskan untuk membereskan kasur dan tidur di lantai saja. Saya meringkuk di atas alas plastik, di ruang yang tersisa yang tidak terkena tetesan air.

Di luar hujan masih deras. Saya mencoba kembali tidur.

Rasanya belum lama saya terlelap, suara-suara manusia dari luar kamar terdengar ramai. Suara seorang ibu tetangga kos. Saya kurang bisa menangkap apa yang diucapkannya, tapi saya mendengar kata “banjir”. Suara-suara itu makin ramai. Beberapa tetangga kos yang lain sepertinya ikut menimpali. Saya masih mencoba cuek dan melanjutkan tidur yang sempat terpotong.

“Mungkin cuma air bocoran saja,” kata saya dalam hati.

Tapi, suara-suara di luar semakin ramai. Saya pun penasaran hingga akhirnya memutuskan untuk bangun, menyalakan lampu dan membuka pintu. Pemandangan mengejutkan langsung tersaji di depan mata. Air sudah menggenang, sandal-sandal dan beberapa benda lain sudah mengambang.

“Wah, serius nih.” Kata saya dalam hati. Di jalan air sudah menggenang hebat, jalanan sudah berubah menjadi sungai. Kosan kami memang agak tinggi dari jalan, namun air yang menggenang ini sepertinya datang dari arah belakang yang posisinya sekarang sudah lebih tinggi karena sedang dibangun. Namun, saya masih berpikir positif kalau air akan segera surut. Harapan yang segera saya sadari kalau hanya sekadar harapan tanpa kenyataan.

Air terus merambat naik dan mulai masuk ke kamar kos. Kamar yang berada paling ujung belakang sudah lebih dulu terendam, sementara kamar saya yang berada di depan sepertinya posisinya agak tinggi. Tapi itu hanya soal waktu karena pelan-pelan air pun mulai masuk ke dalam kamar saya. Tergopoh-gopoh saya membereskan benda-benda yang saya anggap penting. Laptop, handphone, buku-buku dan beberapa barang lain saya naikkan ke atas meja. Sisanya saya biarkan di lantai. Colokan saya cabut. Saya sudah pasrah.


air mulai masuk ke kamar

Air makin lama makin tinggi dan mulai menyentuh mata kaki. Penghuni kos lantai satu riuh menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Alat elektronik, surat-surat berharga dan kasur. Seorang penghuni kos mengungsikan barang-barangnya ke lantai dua. Dengan segera suasana dini hari yang harusnya tenang itu berubah riuh.

Beberapa jam kemudian, saya dan Pak Rara mencoba melihat situasi di sekitar kosan kami. Air menggenang di mana-mana, bahkan sampai ke jalan raya yang adalah jalan utama tidak jauh dari kosan. Ini banjir yang lumayan serius, kata saya dalam hati.

*****

SEUMUR HIDUP SAYA BELUM PERNAH berada dalam situasi ketika debit air meninggi dan bahkan masuk ke dalam rumah. Beberapa kali pindah rumah, saya selalu berada di daerah yang walaupun tidak tinggi tapi juga tidak banjir. Paling sial hanya tumpahan air dari atap yang cukup merepotkan karena menggenang di lantai. Pengalaman di Jayapura ini adalah yang pertama.

Pengalaman yang sebenarnya menyebalkan, tapi sekaligus menggelikan. Menyebalkan karena selepas surutnya air sekira pukul delapan pagi, kami harus sibuk membersihkan kamar. Mengeringkan dari air yang menggenang, mengeluarkan sampah yang ikut masuk ke dalam kamar, mengepel lantai yang basah sampai menjemur kasur yang terendam air. Pekerjaan yang berat karena air yang menggenang itu agak berminyak dan tentu saja bau. Euwwww!


air akhirnya menggenang juga

Meski begitu tetap saja ada rasa geli yang menyelinap dalam hati ketika melihat barang-barang saya mengambang di atas air. Kelihatan lucu, buat saya. Setidaknya saya berusaha melihat sisi lucu dari sebuah musibah. Pun, kebanjiran ini membuat kami punya kesempatan berinteraksi dengan tetangga kos dan tetangga lain di sekitar kosan. Rasa senasib sepenanggungan membuat kami bisa bertukar cerita dan saling menyemangati. Sesekali lelucon juga terselip di antara obrolan. Sesuatu yang sulit terjadi di hari biasa karena kesibukan masing-masing.

Saya juga bersyukur bahwa banjir itu hanya sebentar. Tidak berlarut-larut dan tidak terlalu parah. Tidak seperti korban banjir lain yang kadang sampai harus mengungsi karena rumah mereka terendam parah atau bahkan hanyut. Banjir yang kami rasakan belum ada apa-apanya, belum sampai pada tahap membutuhkan donasi.

Banjir di Kotaraja, Jayapura ini memang di luar kebiasaan. Seorang ibu pemilik warung mengatakan kalau banjir terakhir yang dia ingat itu terjadi tahun 2012. Sementara Jensen, seorang teman bloger di Jayapura bilang kalau sejak dia tinggal di Furia tahun 1995, baru kali ini air masuk ke dalam rumah. Saya taksir pembangunan yang massif di daerah Kotaraja membuat jalan air jadi tertutup, akibatnya air yang menggenang tidak bisa mengalir dengan cepat. Masalah khas di kota-kota yang semakin maju.

Ah, selalu ada yang pertama untuk segalanya, dan kali ini saya pertama kalinya merasakan banjir justru di Jayapura yang selama ini tidak akrab dengan banjir.[dG]