Menggali Kenangan Masa Kecil
Dalam setiap kita sesungguhnya ada anak kecil yang terus bertahan. Tidak pernah menjadi dewasa
Benteng itu masih ada di sana. Sisa-sisanya masih terlihat kukuh meski terus tergerus jaman. Benteng Somba Opu, dibangun di masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Tumapakrisika Kallongna. Benteng ini dulu dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Gowa. Di dalamnya ada lingkungan istana para raja, keluarga dan pejabat pemerintahan. Di salah satu ujungnya ada pelabuhan yang sangat ramai. Pedagang dari Asia Timur hingga Eropa berlabuh dan membangun perwakilan dagang di sana.
Minggu 28 Oktober, tepat di hari Sumpah Pemuda. Siang itu terasa gerah, matahari bersinar malu-malu. Di salah satu titik di dalam lokasi benteng Somba Opu berkumpul ratusan orang. Sebagian besarnya adalah anak muda. ?Dinding tebal sisa benteng Somba Opu hanya berjarak beberapa meter. Begitu juga dengan rumah adat Kabupaten Gowa.
Anak-anak muda itu kelihatan riang dan penuh semangat. Saya membayangkan mereka sebagai anak-anak kecil yang riang gembira menemukan teman sepermainan.
Anak-anak muda itu memang berkumpul di sana untuk bermain. Persis seperti anak-anak kecil. Ada beragam permainan yang siap mereka mainkan. Tapi bukan permainan modern, bukan permainan yang mengandalkan alat-alat digital seperti yang banyak dimainkan anak-anak sekarang.
Ada masanto, ada maccangke, ada maggasing, ada mallogo, ada main boi, ada lojo-lojo, dan ada permainan untuk anak-anak putri. Lompat tali, beklan dan main dende. Semua arena permainan ramai dikerubuti oleh mereka yang ikut serta atau hanya sekadar ikut menyumbangkan tawa riangnya.
Siang itu teman-teman @Jalan2seru_Mks memang sedang menggelar acara Makassar Traditional Game Festifal 2012 (MTGF). Ini acara yang digelar murni karena spontanitas. Adalah @Jalan2seru_MKS yang jadi pemantik apinya. Dan seperti api yang dilemparkan ke tumpukan jerami kering, dengan cepat ide itu membakar banyak anak muda lainnya.
Satu persatu menyatakan kesiapannya untuk ikut serta, sisanya menunjukkan rasa antusias untuk sekadar hadir dan meramaikan. Tak ada sponsor besar, tak ada brand besar yang menggelontorkan uangnya untuk acara ini. Semua spontan dan semua bahu-membahu.
” Acaranya ramai ya? Tidak seperti tahun lalu yang di Karebosi.” Kata seorang bapak dari sebuah koran besar di Makassar. Saya segera membantahnya, ” Beda pak. Acara tahun lalu itu kan bikinan pemerintah, ini betul-betul spontanitas teman-teman saja”
Setahun sebelumnya memang sempat ada acara yang sama digelar di lapangan Karebosi. Sayangnya karena acara itu inisiatifnya datang dari atas sehingga warga tidak terlalu merasa dilibatkan. Itu belum termasuk promo yang terkesan setengah-setengah sehingga tidak banyak yang tahu ada acara seperti itu.
Hari minggu kemarin saya melihat bukti nyata bagaimana partisipasi dan spontanitas bekerja sangat baik dengan mesin bernama sosial media. Berawal dari sosial media, informasi acara ini berhembus kencang dan menyebar ke sana ke mari. Para awak mediapun akhirnya tahu ada acara seperti ini. Mereka datang tanpa diundang dan kemudian meliput tanpa diminta.
Siang hingga sore itu saya melihat banyak anak-anak muda yang tiba-tiba menjadi anak kecil. Kembali ke masa belasan tahun yang lalu. Bermain permainan tradisional yang mungkin semakin hari semakin mendekati titik kepunahan. Anak-anak kota jaman sekarang lebih akrab dengan ragam permainan modern yang membuat mereka malas bergerak dan kadang jadi lebih individualis dan tentu saja konsumtif.
Hari itu saya sadar kalau permainan tradisional kita benar-benar membawa filosofi positif. Kita diajarkan untuk bekerja sama dalam satu tim, diajarkan untuk percaya pada kawan dan tentu saja diajak untuk tetap sehat karena semua permainan itu membutuhkan pergerakan yang konstan. Sangat berbeda dengan permainan modern anak-anak kita.
Hari itu saya melihat begitu banyak anak-anak muda yang tertawa riang menikmati sajian permainan-permainan tradisional. Mereka mungkin teringat kembali masa-masa kecilnya yang indah. Karena sesungguhnya memang dalam setiap kita ada anak-anak kecil yang menolak untuk menjadi dewasa. Tetap ada di sana, hanya menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan.
Ratusan tahun lalu, anak-anak para raja Gowa mungkin bermain-main di tempat yang sama. Hari itu, tepat di hari Sumpah Pemuda ada anak-anak muda yang juga memainkan permainan tradisional. Mereka menolak untuk melupakan salah satu warisan tradisi nenek moyang mereka.
[dG]
semua berwajah anak-anak… bahagia ^^
Wah..asyiikk ne..
Kalo maen kelereng di kampungku namanya nekeran hehe
keren…andai saya juga ada di sana.
Sy dan teman2 di sekitar tempat tinggal pun pernah menggali kenangan masa kecil dengan permainan2 seperti ini. Keren!!
Seandainya kami tahu event waktu itu, kami pasti datang..