Bantaeng Yang Indah

Kota Bantaeng dari puncak bukit Loka

Selama ini orang SulSel mungkin kurang mengenal kabupaten Bantaeng. Kabupaten yang berada sekitar 120 KM sebelah selatan kota Makassar ini kurang populer dibanding daerah lainnya, utamanya bila berbicara tentang potensi wisata. Masih kurang yang tahu kalau Banteng juga punya potensi wisata alam pegunungan yang memukau.

Sabtu dan minggu kemarin ( 23/24-Juli ) saya dan 7 orang teman-teman dari Anging Mammiri menyempatkan diri untuk mengunjungi kabupaten yang berada di antara kabupaten Jeneponto dan Bulukumba itu. Sebenarnya kami berniat untuk mengunjungi seorang anak Anging Mammiri yang sedang menjalani masa KKN di sana, sayangnya beberapa hari sebelumnya kami dapat kabar kalau sang teman malah kembali ke Makassar karena ada acara di hari Sabtu-Minggu.

Kepalang basah, kami maju terus. Toh masih ada Ical yang juga punya akses di Bantaeng, utamanya di daerah Loka yang katanya berhawa sejuk di atas ketinggian.

Sabtu sore, kami meninggalkan Makassar menumpangi mobil sewaan yang sengaja kami bawa sendiri supaya lebih bebas dan santai. Normalnya perjalanan ke Bantaeng menghabiskan waktu sekitar 3 jam, tapi hari itu kami jalan lebih lambat karena memang tidak bermaksud untuk kejar setoran. Perjalanan juga diselingi dengan mampir masjid dua kali plus menjemput seorang teman yang menunggu di Takalar.

Kami tiba di kota Bantaeng sekitar pukul 8 malam. Setelah beristirahat sejenak dan makan malam di rumah keluarga daeng Taqdir, kami ?mulai perjalanan mendaki menuju bukit Loka. Perjalanan ditempuh kurang lebih 45 menit melalui jalan yang berliku dan gelap. Karena belum terbiasa melewati rute seperti itu, saya yang menjadi supir lebih memilih untuk berjalan dengan pelan tapi pasti.

Menjelang pukul setengah sepuluh malam, kami tiba di dusun Bontomarannu. Ical yang tahun lalu menjadi penghuni desa itu sewaktu menjalankan misi KKN berinisiatif untuk mampir sebentar di rumah kepala desa yang disapa Pak De ( Pak Desa / pak kepala desa ). Lelaki kecil berkumis itu menerima kami dengan hangat. Begitu turun dari mobil, kami langsung disergap udara dingin yang menggigit. Saking dinginnya, bahkan para penghuni rumah itupun mengeluhkan udara yang katanya lebih dingin dari biasanya.

Dari rumah Pak De, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke atas lagi. Tepatnya ke daerah pemancar stasiun TVRI. Rencananya kami akan menginap di sana dan dengan bantuan dari Pak De yang menghubungi petugas stasiun pemancar, kami diperkenankan tidur di dalam ruangan mesin.

Area pemancar TVRI itu ternyata dipergunakan sebagai area wisata juga. Di halamannya terpasang beberapa tenda yang disewakan Rp. 20.000,- semalam. Bukan tenda seperti tenda kemah, tapi hanya selembar terpal yang dipasang berbentuk atap dengan batang bambu sebagai penyangganya. Suasana malam itu sangat ramai, banyak pasangan muda-mudi yang berkumpul dan semuanya menggunakan kendaraan sendiri. Jelas mereka bukan anak-anak muda pecinta alam, hanya mereka yang menghabiskan malam minggu di tempat yang tak biasa.

Suasana tidur di ruang pemancar TVRI (foto by: Anbhar)

Udara malam itu dingin menggigit, saya hampir tidak tahan. Beruntung karena kami ditempatkan di ruang mesin yang berlapis karpet tipis. Panas yang dikeluarkan oleh mesin-mesin besar itu membuat ruangan lebih hangat sehingga kami akhirnya bisa tidur dengan lumayan nyenyak. Saya yang letih karena menjadi supir dalam perjalanan panjang itu langsung terlelap ketika kepala menyentuh gulungan handuk yang diubah fungsi menjadi bantal.

Ketika pagi menjelang saya coba jalan-jalan keluar dan menikmati pagi dari puncak bukit. Saya yang dasarnya memang tidak tahan dingin dengan cepat menggigil ketika angin pegunungan menyergap, gigi sampai gemerakan dan saya butuh waktu lama sebelum benar-benar stabil meski tetap kedinginan.

Setelah mengisi perut di warung sederhana pinggir jalan dengan Indomie soto yang disiram air panas dan rasanya jadi berlipat-lipat lebih lezat dari biasanya, kami mulai mendaki ke atas bukit Loka. Saya tidak tahu berapa ketinggian pastinya, yang jelas dari puncak bukit pemandangan terlihat sungguh spektakuler. Kota Bantaeng terlihat indah dari atas, begitu juga jejeran bukit dan gunung-gunung lainnya.

Saya jadi ingat kawasan Malino yang selama ini sudah terlanjur akrab di telinga warga Makassar bila berbicara tentang wisata pegunungan. Alamnya hampir sama, hanya saja kawasan Loka lebih sepi karena belum terlalu populer.

Sayangnya kami bukan hiker sejati, sehingga rencana untuk mendaki hingga puncak dibatalkan. Kami hanya sampai pada sebuah lahan datar yang dijadikan kebun oleh penduduk setempat. Setelah puas menikmati pemandangan dan tentu saja mengabadikan gambar, kami turun kembali. Berikutnya adalah menuju Muntea, daerah yang terkenal sebagai penghasil strawberry dan apel.

Beristirahat dlm perjalanan ke Muntea

Sayangnya musim panen strawberry sudah lewat jadi kami tidak bisa menikmati buah kecil berwarna merah yang rasanya asam-manis itu. Kami juga tidak lama di sana, hanya mengunjungi beberapa kavling perkebunan yang rata-rata sudah kosong melompong.

Dari Muntea kami kembali turun ke kota Bantaeng, makan siang dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ere Merasa, sebuah kawasan wisata permandian alam. Kawasan permandiannya sangat ramai, maklum hari itu hari minggu terakhir sebelum masuk bulan Ramadhan dan biasanya waktu itu dimanfaatkan orang untuk berwisata bersama keluarga atau teman-teman.

Kami tidak begitu lama di sana, suasana yang terlalu ramai membuat kami agak kurang nyaman. Ere Merasa sendiri adalah sebuah permandian yang airnya menggunakan air yang bersumber dari mata air dan dialirkan ke beberapa buah kolam renang.

Sekitar pukul 3 sore kami meninggalkan kota Bantaeng menuju Makassar. Ini untuk pertama kalinya saya mengunjungi beberapa tempat yang menyenangkan di kabupaten Banteng, dan saya yakin kalau dikelola dengan baik bukan tidak mungkin Bantaeng bisa menjadi tujuan wisata alternatif. Khususnya untuk wisata pegunungan.

Ah, rasanya nikmat sekali bisa menghirup udara sejuk pegunungan setelah selama ini lebih banyak menghirup udara perkotaan yang sudah sumpek. Sayangnya kami hanya bisa menghabiskan waktu semalam di sana, dua malam mungkin baru benar-benar pas.

Pagi dari punggung bukit Loka

 

Suasana desa Bontomarannu