Film dan Kopi
Bertemu dua pemeran film Filosofi Kopi dan sempat menghabiskan waktu lumayan lama untuk mengobrol tentang kopi.
TAHU FILM FILOSOFI KOPI KAN? Itu loh, film tentang kopi yang diadaptasi dari novelnya Dewi Lestari. Dua tahun lalu film ini sukses membuat banyak orang tergila-gila pada kopi. Cerita tentang duo Ben dan Jody yang bergelut di sekitar dunia perkopian ini memang semakin meneguhkan derasnya arus cara baru menikmati kopi di tanah air.
Kalau sebelumnya kita kebanyakan hanya tahu kopi enak dari warung-warung kopi tradisional atau sekalian warung kopi mahal dari negeri asing, maka sekarang kopi-kopi enak sudah bisa dinikmati di kedai kecil moderen punya anak-anak muda atau bahkan di dapur sendiri. orang-orang mulai belajar tentang kopi, belajar cara memproses dan belajar cara menyeduh.
Pokoknya sekarang kalau mau cari kopi yang enak sudah gampang, dan harganya tentu saja murah.
“Istri kedua saya kopi,” kata Koh Heri. Selengkapnya bisa dibaca di sini
Nah, film Filosofi Kopi garapan Angga Dwimas Sasongko itu akan dibuat sekuelnya. Film kedua dengan judul yang masih sama –hanya diberi tambahan angka 2- ini bukan lagi diangkat dari novel Dewi Lestari. Ceritanya konon dikembangkan sendiri menuruti saran-saran dari penggemar film Filosofi Kopi pertama dulu.
Film kedua ini masih tetap sama, bergelut di cerita soal kopi. Filmnya sendiri sudah selesai diproduksi dan kabarnya akan diluncurkan bulan Juli, selepas Ramadan.
Ini dia trailer Filosofi Kopi 2.
Salah dua lokasi dari Filosofi Kopi 2 ini adalah Makassar dan Tana Toraja. Alasan memilih Tana Toraja tentu saja karena daerah satu itu sudah kadung terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia. Terus Makassar? Yaa bagaimana ya, rasanya aneh saja kalau ibukota provinsi tidak dijadikan latar cerita. Yah meski mungkin cuma semenit dua menit.
Dalam rangka promosi film itu, dua bintang utama Filosofi Kopi 2 berkunjung ke Makassar hari Kamis 25 Mei kemarin. Chicco Jericho dan Rio Dewanto menggelar bincang kopi dan meet and greet di Trans Studio Mall Makassar.
Beberapa hari sebelumnya saya dapat undangan dari Kak Ery untuk hadir di acara itu sebagai seorang bloger. Dia tahu kalau saya juga suka kopi meski saya yakin dia tidak tahu saya suka pemeran film itu atau tidak, ha-ha-ha.
Jujur saya lumayan suka sama Chicco. Perannya di film Cahaya Dari Timur memang memikat, bahkan saya sampai mengira dia asli orang Maluku. Dialog di ruang ganti pemain masih terngiang terus sampai sekarang.
Kembali ke soal Filosofi Kopi.
Saya datang telat ke Trans Studio Mall. Acara obrolan tentang kopi sudah selesai dan kedua tokoh utama itu sudah dievakuasi ke kantor Trans Studio. Beruntung kak Ery punya koneksi dan lewat LINE dia meminta saya ke kantor Trans Studio juga, untuk bertemu dengan kedua tokoh utama film Filosofi Kopi itu. Dia dan dua anaknya sudah menunggu di sana.
Ngobrol Tentang Kopi
Tidak menunggu lama seorang pria bertubuh lumayan gempal mengajak kami ke ruang sebelah, ruang tempat Chicco dan Rio sedang bersiap. Rupanya di ruangan itu juga sudah ada tiga orang perempuan muda yang saya taksir adalah fans keduanya. Sempat menunggu sejenak, membiarkan mereka bertiga berfoto dengan Chicco Jericho dan Rio Dewanto sebelum kami bisa maju dan berkenalan.
Kesan pertama saya, keduanya sangat ramah dan humble. Mereka dengan senang hati mau melayani para fansnya. Rio Dewanto bahkan sempat bermain-main dengan putri Kak Eri yang masih berumur tiga tahun (sepertinya).
“Kemarin syutingnya di Toraja ya mas?” Tanya saya ke Chicco Jericho.
Waktu itu suasana sudah tenang, ketiga gadis muda fans mereka sudah menepi. Rio Dewanto sendiri digiring ke ruangan lain, untuk make up katanya.
“Iya benar,” jawab Chicco dengan ramah. Dan obrolan tentang kopi pun berlanjut.
Salah satu obrolan yang mengemuka lebih banyak tentang jalur distribusi kopi dan beberapa jenis kopi yang ada di Sulawesi Selatan. Selain kopi Toraja, saya juga menceritakan ke Chicco tentang kopi Kalosi di Enrekang.
“Cuma saya heran, kemarin tuh nemu kopi di Toraja tapi bibitnya malah bukan dari Toraja,” kata Chicco. “Bibitnya itu dari mana ya? Saya agak lupa,” dia berusaha mengingat-ingat asal bibit kopi di Toraja yang dia temukan. Chicco bahkan sempat berteriak memanggil Rio, tapi dijawab,”lagi make up.”
Obrolan pun kembali kami lanjutkan. Lumayan lama juga sebelum Rio kemudian ikut bergabung.
“Oh Jember. Pusat penelitian kopi dan kakao,” jawabnya ketika Chicco melanjutkan pertanyaan yang tadi sempat tertunda.
Saya pernah mendengar tempat itu. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur itu memang adalah pusat penelitian biji kopi dan kakao terbesar di Indonesia. Rupanya beberapa bibit dari sana diekspor ke Toraja dan kemudian menjadi salah satu varietas unggulan Tana Toraja.
“Nah, saya penasaran. Kopi yang bibitnya benar-benar asli dari Toraja itu ada di mana ya?” Tanya Rio Dewanto. Saat itu Chicco sudah menghilang ke ruangan sebelah. Mungkin gantian dia yang di-make up.
Obrolan kami lalu berlanjut. Saya coba menceritakan sedikit sejarah kopi Toraja menurut versi yang saya dengar. Pun, tentang bagaimana gelombang third wave coffee begitu pesat di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Kebiasaan yang sedikit banyaknya membuat penikmat kopi sudah semakin melek tentang kopi dari negeri sendiri. Kalau dulu kopi terbaik selalu diekspor dan meninggalkan kopi sisa di dalam negeri, maka sekarang kopi-kopi terbaik itu sudah mulai dikonsumsi oleh orang Indonesia sendiri.
“Saya sih pengennya produk-produk lain dari Indonesia juga seperti itu. Bukan cuma kopi, tapi mungkin kakao atau teh juga,” kata Rio Dewanto.
Obrolan kami sebenarnya makin menghangat ketika saya menyebutkan beberapa pelaku kopi di Indonesia, termasuk tentu saja Klinik Kopi punya Pepeng di Jogjakarta. Chicco dan Rio ternyata juga mengenalnya. Sayang karena jadwal mereka padat, maka obrolan harus dihentikan.
Mereka bersama krunya melesat ke dalam Trans Studio sementara saya berpisah dengan kak Ery.
Menyenangkan juga bercengkerama dengan kedua bintang Filosofi Kopi itu. Kelihatan sekali kalau mereka sangat antusias dengan dunia perkopian. Artinya peran mereka di film tidak sekadar peran ketika kamera menyala, tapi terbawa ke dunia nyata.
Film Filosofi Kopi menurut saya memang cukup memberi pengaruh bagi makin meningkatnya kecintaan orang Indonesia pada kopi lokal. Seperti yang dibilang Chicco Jericho di obrolan kami, “Membawa pesan secara visual lewat film memang efektif.”
Baiklah, semoga film Filosofi Kopi 2 kalian sukses dan kecintaan pada kopi dalam negeri juga makin meningkat. Tapi di atas segalanya saya berharap kesejahteraan petani kopi Indonesia juga semakin meningkat. Panjang umur kopi Indonesia! [dG]
Asyiknya ngobrol bareng mereka2. Very humble & komunikatif
Bahkan di Jogja pun ada kedai kopi yang namanya “Filosofi Kopi”di jalan Palagan. Kalau Klinik Kopinya mas Pepeng benar-benar ruame sekarang, berbeda ketika masih berada di belakang Togamas 🙂
Menarik memang menilik kopi di Indonesia, hampir semua daratan Indonesia mempunyai kopi khas masing-masing. Dan film tentang kopi tentu akan menambah pengetahuan penontonnya.