Spermonde 4 ; Itu Surga, Namanya Kapoposang

Kapoposang
Kapoposang
Ah, Kapoposang

Tulisan ini lanjutan dari bagian pertama, kedua dan ketiga

Hanya sekitar 10 menit saya dan Mamie berada di bawah laut. 10 menit yang berkesan, campuran antara takut dan senang. Ketika di atas kapal, kami berdua masih heboh berbagi cerita ketika berada di kedalaman 10 meter tadi. Syukurlah, rupanya bukan cuma saya sendiri yang takut karena Mamie juga sempat merasa takut di bawah sana. Wajar dong, toh ini pengalaman pertama kami.

Ketika semua selesai, kami lalu setuju untuk ikut turun ke darat. Tapi rubber boat-nya sedang ada di darat, tak mungkin memanggilnya hanya untuk menjemput kami berdua. Akhirnya kami putuskan untuk berenang saja, toh hanya 300 meter. Dan, dengan perjuangan agak berat karena arus yang cukup kuat kami akhirnya berenang ke daratan dan dengan susah payah berhasil mencapai pulau Kapoposang.

Kapoposang ini termasuk dalam kawasan wisata kepulauan (KWP) yang berada di wilayah administratif kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pulau ini lumayan besar, dihuni sekitar 100 KK. Di bagian tengah pulau ada semacam hutan lindung yang tidak terlalu besar. warga menetap di pesisir bagian utara sementara di bagian selatan ada resort milik seorang pengusaha asal Makassar.

Pulau ini memang indah. Pasirnya putih dan halus, air lautnya bening sampai-sampai kita bisa melihat ke dasar tanpa harus snorkling dulu. Di bagian Selatan pulau tepat di depan resort kita tidak perlu jauh-jauh untuk bisa menikmati indahnya karang dan ikan-ikan yang berkeliaran. Benar-benar pulau yang indah.

Dari Makassar, Kapoposang bisa ditempuh dalam waktu 1 jam 20 menit dengan speed boat bermesin ganda. Dengan kapal kayu bisa sampai 4 jam perjalanan. Sayangnya tidak ada pelayaran reguler ke Kapoposang. Untuk menuju ke sana kita hanya bisa dengan menumpang kapal reguler ke pulau Sarappo sebelum lanjut ke Kapoposang dengan kapal nelayan. Ribet dan mahal memang.

Kapoposang
Senja di Kapoposang

Kapoposang yang indah. Ketika menginjakkan kaki di sana, saya dan Mamie mencoba berkeliling pulau mencari teman-teman yang sudah terlanjur turun duluan. Mereka rupanya menuju mercusuar yang berada di bagian utara pulau. Kami tidak bertemu mereka, mau menghubungi mereka juga susah. Tidak ada satupun operator selular yang mencapai pulau Kapoposang. Akhirnya kami berdua hanya berkeiling pulau sambil mencari spot yang bagus untuk memotret sunset. Sepreti pulau-pulau lain, di sana listrik hanya mengalir dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi.

Tidur dengan bintang sebagai atapnya

Malampun tiba, kami bergabung dengan rombongan. Rombongan menginap di sebuah cottage sederhana milik penduduk. Ada 3 kamar yang tersedia, di bagian depan ada satu tempat yang dibuat sebagai tempat makan dengan meja panjang di bawah atap dari baliho bekas. Tiangnya dari bambu dan lantainya pasir putih. Sepintas bentuknya seperti warung makan sederhana.

Ayo, kita makan ikannya

Di ruang makan itulah kami duduk sambil berdiskusi ringan bersama Om JJ, Om Bieck dan pak Muchsin. Ketiga penyelam senior itu berbagi cerita tentang pengalaman menyelam di berbagai tempat, sekaligus tentang keadaan biota laut di sekitar Spermonde.Miris mendengar bagimana Spermonde yang indah dan penuh harta alami itu perlahan-lahan mulai kehilangan pesonanya.

Dulu sangat gampang menemukan ikan lumba-lumba atau bahkan hiu di sekitar Spermonde, begitu juga dengan kerang sebangsa kima. Tapi sekarang, semua jadi seakan hewan langka seiring dengan makin banyaknya karang yang rusak.

Om JJ memberi contoh dua daerah yaitu Bali dan Ternate yang begitu menghormati kearifan lokal mereka sehinga biota lautnya relatif masih terpelihara. Selain pemerintah daerah yang punya perhatian serius, wargapun dengan kesadaran penuh memelihara aset mereka. Bukan cuma hasil dari laut yang kemudian melimpah ruah, tapi juga hasil dari sektor pariwisata yang mengalir deras. Wisatawan datang tentu karena ingin melihat keindahan alam, bukan alam yang sudah rusak.

Itu tempat tidur kami

Capek ngobrol dan menikmati makan malam berupa hidangan ikan laut yang segar, kami kemudian memutuskan untuk beristirahat. Kami mendapat jatah 4 ranjang kayu dengan kasur dan bantal. Tadinya empat ranjang itu berada di bawah pohon tidak jauh dari cottage, tapi kami berinisiatif mengangkat keempat ranjang itu lebih ke tepi pantai menghadap tepat ke bagian timur. Jadilah malam itu kami tidur beratapkan langit yang penuh bintang dengan pantai tepat di depan kami.

Uh, sungguh luar biasa. Sebuah pengalaman yang tidak biasa dan susah didapatkan di kota besar. Entah karena kecapean atau karena memang tidak ada nyamuk, malam itu kami tidur dengan pulas. Hanya butuh beberapa menit sebelum Iqko mendengkur halus dan Mus terlelap. Hanya Lelaki Bugis yang masih menggalau dengan lagi Gloomy Sunday. Saya sempat kuatir dia akan melompat ke laut mengingat lagu itu sudah ratusan kali digunakan sebagai theme song bunuh diri. Untunglah itu tidak sampai terjadi. Mamie juga sudah pulas dan saya juga memilih untuk tidur. Sayup-sayup gloomy sunday mengiringi saya ke alam mimpi.

Saya terbangun ketika rasa dingin seperti menyergap. Rupanya subuh sudah menjelang. Di depan sana semburat merah matahari mulai terlihat. Anak-anak terbangun, momen ini tidak akan dilewatkan begitu saja. Kapan lagi bisa bangkit dari tempat tidur dan melihat langsung matahari di depan kita. Lelaki Bugis bilang, kami yang membangunkan matahari.

Itu dia sunrisenya, indah bukan?

Semburat merah makin jelas, matahari perlahan-lahan mulai naik. Momen-momen indah ketika sumber kehidupan tata surya itu muncul tidak kami lewatkan. Sungguh luar biasa melihat matahari bangun di seberang sana ketika lautan dan beberapa kapal nelayan berada di depannya.

Ini sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa. Kami menyebutnya surga, dan surga itu namanya Kapoposang.

Bersambung ke bagian lima

[dG]