Borneo 1 ; Selamat Datang Di Bumi Banua

Bandara Syamsudin Noor

Akhirnya, kesampaian juga menginjak tanah Borneo. Pulau terbesar kedua di Indonesia yang dimiliki oleh tiga negara ; Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Ini adalah tulisan pertama tentang kesan-kesan selama di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Pukul 14 lebih lima menit. Pesawat Lion Air mulai memasuki kawasan udara Kalimantan Selatan. Dari atas terlihat hamparan tanah yang masih kosong, dari atas hanya warna hijau diselingi garis-garis tak beraturan berwarna kecoklatan. Pohon dan sungai, persis seperti bayangan awal saya tentang tanah Kalimantan. Agak jauh ke sebelah barat terlihat hamparan perkotaan yang lumayan sibuk dan padat dengan sebuah sungai besar yang lebar dan sibuk dengan puluhan kapal kecil dan besar yang hilir mudik. Itu kota Banjarmasin dengan sungai Baritonya.

Singa udara yang saya tumpangi akhirnya mendarat dengan mulus di bandara Syamsudin Noor. Bandara yang langsung mengingatkan saya pada bandara Sultan Hasanuddin bertahun-tahun yang lalu ketika masih berada di kawasan Mandai. Runway yang lebar dan panjang tapi terminal yang masih kecil. Meski kecil, terminal bandara Syamsudin Noor terlihat padat dan ramai. Mungkin salah satu bandara tersibuk di pulau Kalimantan.

Dari bandara, saya menuju rumah Harie, sang ketua komunitas blogger Kal-Sel Kayuh Baimbai. Malam pertama akan saya habiskan di sana sebelum pindah ke asrama haji tempat dilangsungkannya acara Aruh Blogger.

Cuaca Banjar Baru ( sekitar 30 KM sebelah timur kota Banjarmasin ) sedang berawan, tidak terlalu panas dan tidak juga dingin. Kesan pertama yang saya tangkap adalah kota ini belum terlalu ramai. Jalanannya lebar dan tidak padat, bahkan selama tiga hari di sana saya hanya menemukan satu lampu lalu lintas yang berfungsi tapi sama sekali tidak menemukan kemacetan.

Banjar Baru memang sedang berkembang. Kota ini disiapkan untuk jadi ibukota Kalimantan Selatan yang baru, menggantikan kota Banjarmasin yang katanya sudah terlalu padat.

Kasturi, Panting dan Pampakin

Tiba di rumah Harie, saya disambut keramahan khas Indonesia. Ternyata Harie bukan asli Banjar. Orang tuanya berasal dari Jogja meski dia memang lahir dan besar di Banjar. Istrinyapun orang Salatiga, lengkaplah nuansa Jawa di rumah itu. Percakapan dalam bahasa Jawa terdengar sepanjang hari, membuat saya sedikit disorientasi tempat. Ini Kalimantan atau Jawa ?

Pendatang dari suku Jawa memang cukup banyak bertebaran di Banjar Baru, sedangkan suku aslinya adalah suku Banjar. Selain Jawa dan Banjar, suku Madura serta pendatang dari Bugis dan Makassar juga banyak di Kalimantan Selatan. Sedangkan orang Dayak banyak berdiam di kawasan hulu sungai dan agak masuk ke pedalaman.

Buah Kasturi

Harie menyuguhkan buah buah khas Kalimantan. Namanya kasturi. Buah kecil berdiameter sekitar 5cm dengan kulit berwarna ungu gelap. Katanya masih keluarga dengan mangga. Saya coba mengupasnya sebiji dan betul saja, baunya memang mirip mangga. Tekstur dagingnya juga mirip, berserat banyak meski kasturi sedikit lebih keras. Dagingnya yang berwarna oranye dan berair itu terasa manis. Buah kasturi memang buah khas Kalimantan dan tidak didapatkan di pulau lainnya.

Kasturi itu ternyata baru pembuka. Berikutnya masih ada hal-hal lain khas Kalimantan yang segera saya temukan.

Tak jauh dari rumah Harie, beberapa anak kecil berkumpul dalam sebuah lingkaran kecil di teras sebuah rumah. Mereka bukan sekadar berkumpul. Tiga orang anak laki-laki antara 9-13 tahun memainkan alat musik yang disebut panting, mirip dengan kecapi. Tiga orang anak perempuan dengan usia yang sama bertindak sebagai penyanyi. Agak di luar lingkaran seorang anak lelaki memegang gong, seorang lagi memegang gendang dan satu lagi memegang simbal.

Anak-anak berlatih musik Panting

Mereka sedang berlatih membawakan alunan musik panting, musik khas Kalimantan Selatan. Sepintas musik itu mirip dengan musik kecapi melayu, lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu daerah berbahasa Banjar. Saya hanya mengenal dua di antaranya ; ampar-ampar pisang dan kota baru.

Ada yang luar biasa dari musik panting ini. Alat musik yang dipetik itu ternyata tidak memiliki chord khusus, hanya dipetik mengikuti naluri. Anak-anak yang belajar mengaku mereka butuh waktu satu tahun untuk bisa selihai sekarang. Sampai saat ini mereka sudah menguasai 22 jenis lagu daerah. Jumlah yang lumayan banyak.

Saya terpesona pada penampilan anak-anak itu. Mereka adalah masa depan Indonesia, tempat kita berharap semoga budaya yang begitu kaya dan eksotis ini tidak hilang tergerus budaya yang katanya lebih modern.

Bingka Pisang dan Teh Hangat

Sambil menikmati alunan musik panting, kami duduk di teras rumah seorang warga. Si ibu pemilik rumah tanpa diminta kemudian menghidangkan makanan ringan dan teh hangat. Inilah keramahan khas Indonesia, ketika pemilik rumah tanpa merasa keberatan menjamu tamu, bahkan yang tidak mereka undang sekalipun.

Maka datanglah dua piring bingka pisang. Kue berbentuk bulat berbahan dasar pisang dan tepung yang masih hangat beserta teh yang masih mengepul. Duh, sungguh sore yang menyenangkan.

Menikmati Sore dan Keramahan A La Indonesia
Buah Pampakin

Kejutan terakhir hari itu adalah buah pampakin. Satu lagi buah khas Kalimantan. Bentuknya mirip durian hanya saja sedikit lebih kecil. Meski sangat mirip durian, ternyata pampakin sangat jauh berbeda. Durinya tidak sekeras durian sehingga kita bisa memukulkannya ke badan tanpa rasa sakit. Dagingnya berwarna oranye terang dengan bau yang tidak terlalu menyengat seperti durian. Rasanya juga tidak menyengat dan tidak bikin mabuk. Saya berani menghabiskan dua biji pampakin sendirian, tidak seperti bila menghabiskan durian.

Belum genap enam jam di bumi Borneo saya sudah menemukan begitu banyak kekhasan dan keramahan dari tanah di tengah republik ini. Belum lagi gadis-gadis Banjar yang elok dan ramah, pun dengan kaum lelakinya yang begitu menghargai tamu dan selalu menyebar senyuman.

Borneo, Kalimantan atau apapun sebutan orang hanyalah satu permata dari sekian banyak permata yang ada di republik ini. Ah, Indonesia memang kaya.

Bersambung
[dG]