Budaya HP dan Masyarakat Digital

Sebelum memulai, saya mau bertanya dulu. Adakah di antara anda, masyarakat urban di era sekarang ini yang tidak punya handphone ? jenis apapun itu. Ada ?

Sekarang ini rasaya sulit mencari masyarakat di perkotaan yang sama sekali tidak memegang handphone (selanjutnya disebut HP). HP sudah jadi sebuah kebutuhan utama masyarakat kita jaman sekarang. Bukan sekedar alat komunikasi lagi tapi berkembang jauh menjadi sebuah penanda status sosial dan gaya hidup. Pelahan-lahan penggunaan HP berkembang menjadi sebuah budaya komtemporer.

Atas kaitan dengan itu, pada hari kamis (20.1.11) Anging Mammiri kedatangan tamu dari Jogja. Mas Ferdi namanya, dia mewakili Kunci, sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang penelitian budaya khususnya budaya kontemporer. Mas Ferdi sedang mengadakan penelitian khusus mengenai budaya penggunaan HP di beberapa kota besar, salah satunya adalah Makassar. Beliau meminta waktu kepada para blogger Makassar untuk menggelar sebuah diskusi ringan terkait dengan penelitiannya dan jadilah malam itu kami berkumpul di IGO bakery and caf? yang belakangan ini memang seakan menjadi markas baru Anging Mammiri.

Diskusi yang digelar memang bersifat ringan dan cair, hanya ada saling memberi pendapat tanpa ada sesi berbantahan. Ferdi memulai dengan bertanya sejak kapan kami mulai menggunakan HP dan sudah berapa kali ganti HP. Ada fakta menarik dari Kartika Monoarfa atau yang lebih akrab disapa Tika. Tika mengungkapkan kalau pertama kali menggunakan HP sekitar akhir tahun 2001, waktu masih berseragam SMA. Di tahun itu HP masih termasuk barang mewah, di Makassar sendiri masih segelintir orang yang menggunakannya dan rata-rata mereka adalah para pekerja dengan penghasilan yang mapan. Tapi anehnya, kata Tika di Gorontalo tempat dia bermukim waktu itu pengguna HP sudah marak. Jauh lebih marak dari pengguna HP di kota Makassar. Ini agak mencengangkan mengingat posisi Gorontalo yang lebih jauh dari Makassar bila dihitung dari pusat Indonesia.

Sebagian besar responden Anging Mammiri malam itu mengungkapkan kalau alasan terbesar memiliki HP adalah karena kebutuhan komunikasi, apalagi ketika pergerakan sehari-hari sudah jauh lebih mobile. Rentang waktu awal penggunaan HP dengan masa sekarang memang berkisar antara 7-8 tahun, dengan masa pemakaian yang konstan meski Nanie mengungkapkan kalau pernah berada dalam kurun waktu 1 tahun sama sekali tidak menggunakan HP.

Malam itu pembicaraan tidak melulu berada di sekitar budaya HP. Diskusi bergerak ke ranah yang lebih luas tentang budaya digital yang melibatkan internet termasuk penggunaannya di dalam masyarakat, fenomena merebaknya warkop ber wifi di Makassar dan tentu saja tentang facebook dan poker yang banyak diminati masyarakat jaman sekarang.

Sejak 3 tahun belakangan ini kota Makassar memang dicanangkan sebagai cyber city dengan penanda awal disiapkannya wi-fi di lokasi seputar pantai Losari. Wi-fi di losari seakan menjadi pemicu hadirnya layanan internet berbasis wi-fi di berbagai tempat di Makassar. Sejak saat itu kampus-kampus dipasangi wi-fi dan kemudian warung kopi lahir dan bertebaran seperti jamur di musim hujan.

Perkembangan ini kemudian menjalar menjadi sebuah budaya baru di mana jumlah pengguna laptop atau komputer jinjing menjadi bertambah secara signifikan. Saya belum menemukan data khusus tentang jumlah ini tapi secara kasat mata bisa dilihat jelas bahwa sebagian besar mahasiswa dan pekerja di kota Makassar sudah memiliki laptop. Mereka inilah yang kemudian meramaikan warkop berwifi.? Dengan modal segelas kopi seharga Rp. 5000 hingga Rp. 8000 mereka bisa nongkrong berjam-jam dan menikmati bandwith.

Fenomena baru yang terjadi dalam kurun waktu 2 tahun belakangan ini adalah merebaknya warnet di berbagai tempat, khususnya yang berada di daerah sub urban atau daerah pinggiran kota. Warnet ini tumbuh bersamaan dengan makin bertambahnya jumlah pengguna facebook atau lebih spesifik lagi pengguna poker, game bawaan facebook. ?Warnet ini mengakomodir keinginan para pemain poker yang tidak mampu membeli laptop. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak SD hingga SMA, sisanya adalah para orang tua yang tidak berlaptop.

Sekali lagi belum ada penelitian khusus tentang jumlah pemain poker di warnet tapi secara bercanda seorang teman anggota milis Anging Mammiri yang sehari-harinya adalah seorang operator warnet mengatakan kalau pengguna warnetnya 98% bermain poker dan 2%nya mengupdate status di facebook.

Budaya internet dan digital ini secara tidak langsung berhubungan juga dengan budaya penggunaan HP karena jaman sekarang hampir semua HP keluaran terbaru menyediakan fasilitas browsing dan terkoneksi dengan internet, termasuk tentu saja beragam sosial media yang ada di dalamnya. HP jaman sekarang sudah melangkah jauh hingga tak lagi sekedar menjadi alat untuk berkomunikasi personal antar 2 orang, tapi menjadi sebuah alat komunikasi massa yang menghubungkan seseorang dengan banyak orang lainnya dalam waktu bersamaan.

Tentang dunia digital ada sebuah cerita menarik yang dipaparkan oleh Ferdi.

Di Korea Selatan terjadi sebuah depresi besar-besaran pada masyarakat digital. Ini berawal dari sebuah gerakan massa di dunia maya yang memperjuangkan sesuatu. Begitu banyak orang yang berharap pada gerakan massal dunia maya itu namun ketika ternyata gerakan tersebut tidak menemui hasil yang memuaskan banyak penduduk dunia maya Korea Selatan yang kemudian merasakan kekecewaan mendalam, depresi bahkan beberapa di antaranya ada yang hingga bunuh diri. Sebuah kondisi yang memprihatinkan.

Dalam konteks tertentu saya melihat kalau faktor akar budayalah yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Kondisi yang sama rasanya suit terjadi di Indonesia, negeri di mana sifat komunal masih jadi bagian utama dalam kehidupan keseharian. Orang Indonesia boleh ramai di dunia maya, memperbincangkan apa saja, berbagi apa saja, tapi tetap saja itu tidak cukup. Interaksi dunia maya harus dilengkapi dengan kopdar, ajang di mana interaksi sosial yang nyata bisa dinikmati, ajang di mana manusia bisa memuaskan naluri alamiahnya untuk berinteraksi dengan sesamanya manusia.

Mereka yang depresi di Korea sana mungkin jarang kopdar hingga ketika sebuah kampanye berujung pada kegagalan serasa hilang jualah sebuah pegangan. Kasus ini mungkin bisa jadi contoh kalau kopdar tetap dibutuhkan, interaksi nyata di dunia nyata tetap nomor satu.

Teman, mari menunggu hasil survey dan penelitian dari mas Ferdi dan Kunci yang rencananya akan diterbitkan dalam bentuk buku. Tentu menarik mencari tahu lebih banyak kisah tentang perkembangan budaya HP ini di Indonesia.

Maaf, saya harus mengecek HP saya dulu. Ada pesan yang masuk 🙂