Maulwi Saelan; Penjaga Terakhir Soekarno

Maulwi Saelan (pakai baret) saat mengawal Soekarno. sumber: historia.
Maulwi Saelan (pakai baret) saat mengawal Soekarno. sumber: historia.

Mendengar nama Maulwi Saelan orang mungkin akan mengernyitkan dahi, banyak yang tak kenal siapa dia meski dia orang Makassar sekalipun. Beda kalau kita menyebut nama Emmy Saelan. Emmy Saelan dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan di jaman revolusi fisik yang memilih melempar granat daripada menyerah kepada pasukan Belanda. Sebuah jalan di kota Makassar bahkan diberi nama sesuai namanya.

Padahal Maulwi Saelan adalah adik kandung Emmy Saelan. Merekapun sama-sama berjuang di jaman revolusi fisik untuk membela panji merah putih, bahkan ketika usia mereka masih belasan tahun. Bedanya, Emmy berakhir di ujung ledakan granat sementara Maulwi meski terus menjadi incaran tentara Belanda mampu bertahan dan terus melawan sampai akhir jaman revolusi fisik.

Di jaman kemerdekaan, Maulwi juga ikut menjadi bagian penjaga keamanan yang meredam beragam pemberontakan di Indonesia yang kala itu masih sangat muda. Maulwi sempat berlabuh di Corps Polisi Militer (CPM) sebelum akhirnya menjadi bagian awal dari resimen Tjakrabirawa yang bertugas mengamankan kepala negara kala itu, Soekarno.

Karir militernya yang gilang gemilang ternyata harus berakhir menyedihkan. Kisruh 1965 mau tidak mau menyeret Maulwi dan rekan-rekannya di resimen Tjakrabirawa menjadi pesakitan tanpa pengadilan. Rangkaian fitnah yang disemburkan lawan politik Soekarno tak ayal mampir juga di tubuh anggota resimen Tjakrabirawa yang membuat rata-rata dari mereka mencicipi dinginnya penjara tanpa proses pengadilan.

Maulwi benar-benar menjadi penjaga terakhir Soekarno, dia yang ikut menemani masa-masa akhir sang proklamator, menyaksikan jatuhnya sang bapak revolusi dan menjadi saksi bangkitnya rezim baru di ujung masa Soekarno. Di lapangan sepak bola, Maulwi juga pernah menjadi penjaga terakhir tim nasional Indonesia. Maulwi ikut dalam tim PSSI yang sanggup menahan imbang Uni Sovyet 0-0 di olimpiade Melbourne 1950.

*****

Buku Maulwi Saelan; Penjaga Terakhir Soekarno
Buku Maulwi Saelan; Penjaga Terakhir Soekarno

Buku Maulwi Saelan; Penjaga Terakhir Soekarno adalah memoar dan hasil wawancara dengan Maulwi Saelan dan beberapa tokoh lainnya yang sama-sama merasakan beratnya perjuangan fisik di pertengahan hingga akhir tahun 1940an. Buku ini dibuka dengan kisah asal-usul Maulwi Saelan yang lahir dari keluarga kelas atas di kota Makassar. Dari asal-usul itu pelan-pelan buku ini bercerita tentang perjuangan fisik para pejuang muda belasan tahun di kota Makassar, hijrahnya Maulwi ke Jakarta sampai akhirnya dia menjadi pengawal Soekarno.

Buku setebal 376 halaman ini sangat menarik karena memuat banyak kisah perjuangan di Makassar dan kota-kota sekitarnya pada masa revolusi fisik. Banyak nama-nama pejuang lokal yang disebut di buku ini, nama yang selama ini hanya akrab di telinga karena kadung menjadi nama ruas jalan di kota Makassar tanpa kami tahu siapa pemilik nama itu.

Ada satu kisah yang menurut saya sangat menarik, kisah ketika Maulwi dan teman-teman seangkatannya di SMP Nasional nekat menyerbut Hotel Empress yang diduduki oleh pasukan Sekutu dan NICA. Anak-anak SMP berusia 16an tahun itu menyerut Hotel Empress dengan kekuatan satu pucuk pistol dan dua biji granat tangan. Maulwi ditunjuk menjadi komandan penyerbuan itu. Meski akhirnya hanya berhasil menguasai Hotel Empress selama beberapa jam namun tak urung penyerbuan itu membuka mata dunia tentang keberadaan pejuang Indonesia yang sebelumnya berusaha ditutup-tutupi oleh sekutu dan Belanda. Kisah yang sangat inspiratif dan membuat saya geleng-geleng kepala.

Cerita di dalam buku ini memang tidak melulu bercerita tentang kisah hidup Maulwi Saelan, bahkan tidak banyak cerita tentang kehidupan pribadi Maulwi di buku ini. Bingkai besar dalam buku ini adalah perjuangan kemerdekaan di periode 1940an, berlanjut ke masa awal kehidupan republik ini dan berakhir di masa revolusi 1960an. Maulwi Saelan jadi benang merah yang menyatukan semua kisah-kisah itu.

Buku ini ditulis dalam gaya bertutur yang asyik dengan banyak detail dan deskripsi yang membuat kita mampu membayangkan setiap suasana yang tercipta kala itu. Satu-satunya hal yang mengganggu adalah penyebutan beberapa tempat di Sulawesi Selatan yang kurang tempat. Hal ini bisa dimengerti karena nama-nama tempat itu berasal dari bahasa daerah yang tentu tidak lazim di kuping penulis yang bukan orang Sulawesi Selatan.

Sebuah memoar dan catatan yang menarik, sangat disarankan untuk Anda yang senang sejarah utamanya sejarah pergerakan di tahun 1940an dan sejarah revolusi di tahun 1960an. [dG]