Cahaya Dari Timur; Tentang Sepakbola Yang Jadi Obat

Poster film Cahaya Dar Timur
Poster film Cahaya Dar Timur

Beta bukan Passo, Beta bukan Tulehu, Beta bukan Kristen, Beta bukan Islam. Beta Maluku!

19 September 1985 sekitar pukul 7:15 pagi waktu Meksiko, gempa dahsyat berkekuatan 8.1 SR mengguncang sebagian besar wilayah negara itu. 10.000 orang dikabarkan tewas, ribuan bangunan rusak parah dan infrastruktur berantakan. Bencana itu jadi terasa semakin berat karena 8 bulan ke depan Meksiko sudah terlanjur ditunjuk jadi penyelenggara Piala Dunia 1986. Akankah Meksiko bisa bangkit dalam waktu singkat? Atau piala dunia 1986 akan dibatalkan?

Gempa itu memang memakan banyak korban, puluhan ribu nyawa dan kerugian sekisar 4 miliar dollar, tapi rakyat dan pemerintah Meksiko masih punya harapan bernama sepakbola. Mereka menjawab keraguan orang dan berhasil menjadi penyelenggara yang baik untuk pesta bernama piala dunia. Secara ajaib, sepakbola jadi obat untuk mengobati luka mereka akibat gempa di September 1985 itu.

Sepakbola juga yang dipilih oleh Sani Tawainella ketika Maluku dilanda konflik horizontal di akhir 90an hingga pertengahan 2000an. Sani tidak rela anak-anak yang masih suci di kampungnya di Tulehu ikut ternoda oleh kekerasan, kemarahan dan angkara murka yang dipoles dengan isu agama.

Sani yang mantan pesepakbola amatir itu rela menyisihkan waktunya untuk mengajar anak-anak di Tulehu bermain bola. Sani bergeming bahkan ketika dia harus berbenturan dengan istrinya yang menjabarkan realita kehidupan yang berat tanpa uang dan beras. Sani memegang teguh niatnya menjauhkan anak-anak di Tulehu dari bom, peluru dan parang. Sepakbola harus bisa jadi obat dari segala permusuhan!

Nasib juga yang membawa Sani melewati ragam konflik personal hingga akhirnya dipercaya menjadi pelatih kepala tim Maluku dalam pertandingan nasional antar U-16 di Jakarta. Satu per satu mimpinya menjadi kenyataan meski tidak semuanya ringan. Konflik selama 5 tahun sudah kadung menyisakan trauma dan bibit perpecahan pada anak-anak itu. Salim yang muslim tidak sudi berbagi bola dengan teman-temannya yang nasrani. Anggapan kalau mereka adalah musuh masih terus tertancap di kepala anak-anak itu.

Sani sendiri harus melewati pergulatan hebat antara idealisme menjadikan sepakbola obat untuk segalanya dengan realitas kalau dapurnya butuh mengepul. Sani juga manusia yang sempat jatuh dan menyerah sebelum akhirnya bisa bangkit lagi. Tekadnya untuk membuat bangga orang Maluku lewat sepakbola adalah harta terakhir yang dia punya. Tekad itu pula yang dibawanya hingga ke final kejuaraan nasional U-16.

*****

Maluku dan sepakbola, dua kata yang di luar dugaan saya ternyata punya kaitan erat. Banyak anak asli Maluku (utamanya Tulehu) yang lahir dan kemudian besar sebagai pesepakbola yang mengisi beragam klub besar di Indonesia. Sebagian malah jadi tulang punggung tim nasional.

Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku adalah satu kepingan kecil dari cerita panjang bagaimana orang Maluku (khususnya Tulehu) sangat akrab dengan olahraga yang disebarkan oleh orang Inggris ini. Film ini bercerita lewat sosok Sani bagaimana sepakbola jadi salah satu alat rekonsiliasi yang berhasil menyatukan anak-anak Maluku yang tadinya hidup dengan benih perpecahan selepas konflik panjang berlatar agama.

Tokoh Sani Tawainella adalah tokoh nyata dan cerita di film ini berlatar kisah nyata yang dijalan Sani. Awalnya cerita di Cahaya Dari Timur: Beta Maluku memang berjalan lambat meski gambaran konflik yang dihadirkan memang sudah mulai benderang sejak awal. Perlahan alur film mulai berjalan cepat ketika Sani mulai bisa merealisasikan mimpinya menjauhkan anak-anak itu dari pertikaian orang dewasa yang berlumur darah dan amarah.

Film ini sangat berhasil memotret realitas yang terjadi di Maluku saat itu. Meski saya sama sekali tidak pernah menginjak tanah Maluku tapi ragam gambar dan cerita di film ini berhasil membawa saya pada gambaran nyata ketika itu. Semua dialog yang dibawakan dengan bahasa Maluku juga makin mendekatkan kita para penonton pada kejadian yang sebenarnya.

Film ini diangkat dengan cerita yang sederhana dan konflik yang meski terlihat rumit tapi sebenarnya sederhana. Ada pertarungan antara idealisme dan realitas di sana, tentang bagaimana menghidupi sebuah idealisme di tengah konflik yang juga menyusahkan perut. Tentang bagaimana memelihara mimpi memurnikan anak-anak tak berdosa dari bayangan permusuhan dengan tuntutan bisa tetap makan dan mengimunisasi anak sendiri.

Konflik yang sederhana itu dihadirkan dengan saling bertumpuk-tumpuk, hasilnya sebuah konflik yang lebih rumit dan ikut menguras emosi. Cerita yang menguras emosi terus berlanjut ketika tim Maluku yang dibawa Sani kemudian menjalani pertandingan di Jakarta. Buat yang tidak paham sepakbola, sedikit pengantar kalau sepakbola memang selalu berhasil menguras emosi. Apa yang kita lihat di lapangan hanyalah mata rantai dari serangkaian drama antara mereka yang ikut bermain atau sekadar jadi penggembira di belakang layar.

Cahaya Dari Timur adalah salah satu film Indonesia yang dengan cepat bisa saya masukkan sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah saya tonton. Jalinan cerita dan penggarapannya yang detail benar-benar membawa kita larut dalam konflik yang terasa sangat dekat. Ending film ini memang bergaya Hollywood, terasa melebih-lebihkan tapi sama sekali tidak mengganggu. Buat beberapa orang ending ini malah berhasil menguras emosi dan membuka keran air mata.

Sebuah film yang layak tonton! Tapi akan sangat sempurna kalau Anda terlebih dahulu membaca buku: Jalan Lain Ke Tulehu karya Zen RS. Buku ini memang bukan adaptasi dari film Cahaya Dari Timur, hanya mengambil lokasi yang sama. Tapi, membaca buku Jalan Lain Ke Tulehu dan kemudian menonton film Cahaya Dari Timur akan ikut membangun satu bangunan cerita yang utuh sekalius meliarkan imajinasi kita.

Salut untuk pak Sani dan semua kru Cahaya Dari Timur, sekali lagi mereka membuktikan kalau sepakbola bisa jadi obat untuk kesedihan. [dG]