Memangkas Pohon Korupsi

Logo KPK-RI

 

“Ah, itu sih biasa. Namanya juga Indonesia”

Itu kalimat yang sering kita dengar ketika sebuah berita tentang korupsi mampir ke telinga kita. Orang-orang sudah jadi skeptis, apatis dan pesimis sehingga berita korupsi kemudian dianggap seperti berita tentang seekor ayam yang hilang dari kandang milik tetangga. Biasa saja, tidak ngefek kata anak gaul.

Sebegitu parahnya kebiasaan korupsi di negeri kita sehingga sebagian orang kita menjadi bebal dan immun dari kata korupsi. Padahal sejatinya korupsi lebih menyeramkan dari tindak kejahatan terorisme yang justru lebih sering membuat bulu kuduk merinding ketika diperdengarkan.

Terorisme hanya merusak satu sendi kehidupan bangsa. Berefek pada satu lingkup kecil di negeri ini. Sementara korupsi, seperti sebuah efek domino. Menjalar dengan cepat ke banyak penjuru negeri seperti sebuah penyakit yang menjalar dalam senyap di dalam tubuh kita. Tidak terasakan hingga boroknya terlihat.

Memberantas korupsi sudah jadi mantra sakti yang terus diucapkan berulang-ulang. Sayangnya karena terlalu sering diulang dan hanya tertinggal di mulut, kata ini perlahan meluntur kesaktiannya. Anak-anak muda bisa turun ke jalan berteriak “berantas korupsi!” dengan berapi-api, kemudian pulang dan membohongi orang tuanya tentang jumlah uang pembayaran kuliahnya.

Memberantas korupsi seolah-olah jadi tugas satu pihak saja, KPK. Sementara pihak lain tinggal menunggu, berdiri di tepi lapangan dengan tepukan memberi semangat. Pun dengan alat hukum yang seharusnya dipercaya untuk memberantas korupsi seperti polisi, jaksa dan hakim. Mereka sama saja, mereka seperti bedil tanpa peluru yang menunggu siapa saja yang ingin menggosoknya hingga mengkilap.

Seandainya saya ketua KPK. Kalimat itu mungkin terlalu berat untuk saya yang separuhnya juga sudah mulai skeptis dan pesimis pada masa depan negeri ini di bawah cengkeraman para koruptor. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi di negeri ini selalu jadi sasaran tembak dari lembaga lain yang sudah terlanjur nyaman dalam selimut penuh noda bernama korupsi.

Seandainya saya ketua KPK, fokus utama akan saya letakkan pada penyadaran generasi muda untuk membenci semua hal bernama korupsi. Generasi yang ada sekarang sudah terlalu bebal untuk disadarkan, tembok yang harus ditembus sudah melebihi tebal tembok China. Nyaris tak ada lagi harapan untuk mengikis skeptisme mereka, kecuali bila kita punya rasa sabar yang tak berbatas.

Generasi mendatanglah kuncinya. Anak-anak yang masih polos dan belum cukup diberi warna itu adalah kunci bebasnya negeri kita dari segala hal bernama korupsi. Pada merekalah kita harus berharap banyak agar korupsi bisa dipangkas, ditebang dan dicabut hingga ke akarnya.

Yah, korupsi di negeri kita sudah seperti pohon besar. Di bawahnya orang-orang banyak yang berteduh dan menikmati semilir anginnya. Ketika ada pihak yang memangkasnya, orang-orang itu berteriak melawan. Mereka tak rela pohon tempat mereka berteduh dipangkas. Mereka tak rela kepanasan karena pohon mereka hilang.

Karena itu kita butuh anak-anak muda, butuh generasi baru yang siap beramai-ramai memangkas pohon itu. Perlahan, hingga kemudian pohon itu siap ditebang dan akarnya dimatikan. Ketika mereka semua bergerak bersamaan dengan simultan dan terus-menerus maka orang-orang yang berteduh di bawah pohon korupsi akan takut untuk berteriak karena mereka akan berhadapan dengan jiwa-jiwa muda yang penuh gairah dan tidak sendirian.

Seandainya saya ketua KPK, saya akan coba merangkul banyak komunitas, persatuan pelajar, guru formil dan guru non formil untuk menanamkan kesadaran akan bahaya korupsi. Saya akan memanfaatkan tenaga para web developer, programer dan bahkan gamers untuk membuat game yang bertema anti korupsi. Mempopulerkan game anti korupsi tentu lebih nyaman bagi generasi muda dibanding seminar atau talkshow bertema anti korupsi. Masuki pikiran mereka dengan cara mereka, sadarkan mereka dengan cara yang bisa mereka nikmati.

Seandainya saya ketua KPK, akan saya mulai semua pendidikan anti korupsi itu dengan cara yang menyenangkan, ringan dan bisa dinikmati. Anak-anak mungkin tak paham betul apa itu korupsi, apa bahayanya dan bagaimana melawannya. Ketika mereka diperkenalkan lewat cara yang pas dengan dunia mereka, mereka akan menikmatinya dan perlahan paham.

Butuh waktu memang, tapi ini adalah tujuan jangka panjang. Hasilnya akan kita nikmati jauh di masa depan.

Sementara itu, saya akan meneruskan langkah yang sudah ada. Memperkuat lembaga menjadi lembaga permanen, meminta kuasa yang besar dari presiden dan tentu saja dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Sosial media sudah berkembang jauh menjadi sebuah kekuatan baru, saya akan memanfaatkannya. Saya akan coba menggalang dukungan dari semua orang yang menggunakan sosial media, berjejaring di internet membuat sebuah kekuatan besar melawan semua yang tak rela korupsi diterabas. Polisi sekalipun.

Memangkas pohon korupsi memang tak mudah. Butuh bantuan semua orang, bukan hanya KPK yang beraksi dengan tepukan tangan para pendukung di pinggir lapangan. Saya akan gunakan semua cara, secara formil maupun non formil. Saya yakin, di antara jutaan rakyat yang skeptis di negeri ini sesungguhnya ada orang-orang yang masih punya harapan kalau korupsi benar-benar bisa dihilangkan dari negeri ini. Mereka hanya menunggu pemantik yang tepat untuk membakar semangat anti korupsi mereka.

Memang sudah saatnya memangkas pohon korupsi di negeri ini. Mulai dari sekarang, mulai dari generasi yang lebih muda. Untuk Indonesia yang lebih bersih.

[dG]