Jalan Lapang Menuju Kantor

Salah satu pemandangan sore hari yang sering saya nikmati

Pukul 07.35 pagi. Semua sudah beres, Nadaa sudah tiba di sekolah sejak sejam yang lalu dan pakaian gantinya sudah mendarat dirumah neneknya. Sekarang saatnya mengukur jalan menuju ke kantor. Supra Fit 2006 sudah menyala, sepasang earphone sudah terpasang di kuping, suara Mike Shinoda dan Chester Bennington silih berganti memenuhi gendang telinga. Perlahan-lahan saya mulai meninggalkan kompleks BTN Pao-Pao yang sebagian tanahnya becek oleh hujan malam tadi.

Keluar dari jalan tanah yang becek saya segera bertemu dengan jalan aspal yang mulus dan lapang. Namanya Jl. Tun Abdul Razak, sambungan dari Jl. Aroeppala dan Jl. Hertasning. Jalan masih lengang di pagi hari yang lumayan hangat itu, saya menuju ke timur menyongsong matahari yang masih malas untuk bersinar. Jalan selebar kurang lebih 60 M itu ?benar-benar menggoda untuk menggeber gas setinggi-tingginya, hanya ada satu dua pengendara lain yang menikmatinya bersama saya. Jalan yang menghubungkan kabupaten Gowa dan kota Makassar ini sebentar lagi pasti ramai, tapi seramai-ramainya jalan ini tetap jauh dari kata macet.

Di kiri-kanan jalan Tun Abdul Razak yang mengarah ke Timur masih terdapat hamparan sawah yang menghijau sementara di kejauhan sana deretan pegunungan yang tertutup kabut terlihat jelas, sungguh sebuah gambaran pagi yang sempurna. Saya tak lama menikmati aspal mulus yang lapang itu karena kemudian saya berbelok sedikit masuk ke jalan kampung yang meski lebarnya lumayan namun aspalnya mulai sedikit bolong. Sengaja saya memotong jalan demi menghemat waktu dan jarak tempuh tentu saja.

Sekarang di kanan kiri berderet rumah-rumah beraneka ragam. Dari rumah kayu sederhana, rumah batu yang dibangun tanpa perencanaan matang dengan model yang apa adanya serta beberapa rumah yang kelihatan mewah mencolok. Di hamparan aspal yang sebagian telah bolong itu tercecer kotoran sapi dan kerbau, aromanya menusuk hingga ke hidung. Tak heran karena di perkampungan itu masih banyak warga yang memelihara sapi dan kerbau dan biasanya di pagi hari hewan-hewan ternak itu digelandang ke padang rumput. Menjelang ujung perkampungan di sisi kanan-kiri jalan terhampar terpal plastik tebal milik beberapa warga. Terpal plastik itu jadi alas untuk menjemur gabah. Beberapa ibu nampak sudah sibuk menebar gabah di atas terpal,meratakannya agar bisa terpapar sinar matahari yang belakangan ini mulai susah ditemui. Ah benar-benar suasana kampung bukan ?

Di ujung perkampungan yang asri itu saya kembali bertemu jalan poros yang lebar dan ramai. Namanya Jl. Abd. Muthalib Dg. Narang. Jalur ini menghubungkan daerah Antang di kota Makassar dengan kecamatan Somba Opu di kota Sungguminasa-Gowa. Karena ini adalah jalan poros maka tak heran kalau jalan ini ramai, utamanya di pagi hari. Berbagai kendaraan melintas di sepanjang jalan ini. Dari motor, angkot, mobil pribadi hingga truk beroda lebih dari 4. Tapi sekali lagi, meski ramai kata macet tidak ada dalam kamus jalan itu.

Jalan Abd. Muthalib Dg. Narang bermuara di perbatasan Gowa-Makassar dan tak berapa lama saya sudah berada dalam lingkup pemerintahan kota Makassar. Jalan Tamangapa Raya yang berada dalam daerah Samata lumayan padat pagi itu. Jejeran truk beroda 6 dan 10 membuat lalu lintas sedikit melambat, apalagi karena dekat perbatasan ada pos retribusi yang dijaga seorang lelaki muda berseragam khaki yang siaga menarik bayaran dari para supir truk dan mobil bak terbuka.

Shinoda, Chester dan kawan-kawan masih menemani perjalanan saya pagi itu. Dalam kurun dua minggu ini Linkin Park memang jadi pilihan utama saya untuk jadi teman jalan. Irama mereka yang rancak dan penuh semangat rasanya sungguh tepat untuk jadi pembakar semangat dalam memulai hari. Sesekali saya juga ikut bersenandung bersama mereka. Saat sedang asyik bersenandung tiba-tiba pandangan saya tertumbuk pada tumpukan kendaraan di depan, macet ? tidak biasanya. Saya menebak penyebabnya, dan benar saja. Tebakan saya tepat. Arus lalu lintas sedikit terhambat oleh gerombolan sapi yang dihela penggembalanya ke padang rumput. Tak jauh dari perbatasan Gowa-Makassar yang baru saja saya lewati memang ada rumah potong hewan yang isinya kebanyakan adalah sapi. Biasanya memang setiap pagi sapi-sapi itu digiring ke padang rumput untuk diberi makan. Pagi ini mereka keluar agak telat rupanya karena biasanya mereka sudah tidak ada lagi ketika saya melintas.

Hewan-hewan berkaki empat dengan bobot lebih dari seratus kilogram itu memang kadang meresahkan juga ketika keluar bergerombol. Mereka tak kenal aturan dan cenderung susah diatur. Mereka seenaknya menguasai jalan sambil mengibaskan ekornya yang kadang penuh dengan kotoran. Bayangkan bagaimana baunya mereka plus tampang sangar beberapa ekor sapi jantan yang lumayan bisa membuat pengendara motor jadi berhati-hati. Pagi itu seekor sapi jantan berwarna putih sedang sangat bersemangatnya, birahinya memuncak dan dengan cueknya dia berniat melampiaskannya pada seekor betina yang ada dalam gerombolannya, di pinggir jalan di bawah tatapan mata puluhan orang yang kesal dan cemas. Ah, sungguh pemandangan yang tak layak disuguhkan di pagi yang lumayan hangat.

Saya lalu berbelok ke arah Tempat Pembuangan Akhir di daerah Samata. Tempat yang jadi pangkal dari seluruh alur pembuangan sampah di kota Makassar itu memang jadi jalur tepat bagi saya untuk memotong jalan. Terus menyusuri jalan Tamangapa Raya dan masuk ke jalan Antang Raya biasanya beresiko terjebak macet di depan pasar Antang, jadi saya lebih memilih berbelok ke TPA Tamangapa dan nantinya masuk dari arah belakang kantor.

Satu-satunya masalah terbesar saat memotong jalur ke dalam kompleks TPA ini adalah aroma sampah yang luar biasa menyengat. Bayangkan bagaimana rasanya jika sampah satu kota ditumpuk dalam satu wilayah plus sampah kemarin-kemarin dan kemarin-kemarinnya lagi. Untungnya karena waktu yang harus saya lewati bersama aroma itu hanya dalam bilangan detik, tak sampai semenit. Bayangkan bagaimana mereka yang tiap harinya hidup dalam kompleks TPA itu. Ada beberapa rumah permanen dan semi permanen, sebuah TK, sebuah SD dan ajaibnya beberapa warung makan yang entah bagaimana caranya bisa bertahan di tengah aroma sampah yang sangat menyengat. Itu adalah pertanyaan yang selalu hadir di kepala setiap kali melintas di kompleks TPA itu.

Lepas dari TPA saya melintas sejenak di kawasan kompleks Perumnas Antang dan kemudian masuk kembali ke kawasan perumahan penduduk bernama daerah Nipa-Nipa. Kantor sudah semakin dekat, sayang jalan sempit yang beraspal bolong itu kadang jadi penghambat terbesar dalam sisa perjalanan hingga tiba di kantor.

Mr. Han terdengar sibuk mengawal Point Authority versi remix ketika gerbang kantor sudah di depan mata. Dengan menambah sedikit kecepatan akhirnya saya sampai di parkiran. Jam menunjukkan pukul 07.55, total sekitar 20 menit perjalanan dari rumah ke kantor. Ah, perjalanan yang indah dan penuh warna, jauh dari debu polusi kendaraan, deru mesin, suara klakson dan kemacetan. Saya tidak bisa membayangkan akan menemukan suasana yang sama bila misalnya saya tinggal dan berkantor di Jakarta.

Dan, itulah jalan lapang saya menuju kantor setiap harinya. Jalan yang lapang dan penuh dengan warna-warni natural, jauh dari angkuhnya modernitas.