Meniti Kaki Kerinci; Bermula di Bangko
Kembali ke Jambi, tapi kali ini naik ke bagian Jambi yang agak tinggi. Kaki Gunung Kerinci.
PUKUL 9:30 PAGI. Pesawat NAM Air yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di tanah Muaro Bungo, salah satu kabupaten di provinsi Jambi. Selain Jambi, Muaro Bungo juga punya bandara rupanya, meski tentu saja lebih kecil. Waktu saya tiba tanggal 4 September 2015 baru ada satu penerbangan dari Jakarta, NAM Air. Tapi, sehari kemudian jalur baru dengan pesawat Wings Air dibuka.
Seorang pria sekira 30an awal menjemput kami. Namanya Bang Noldy (atau setidaknya kedengaran seperti itu). Dialah yang akan mengantar kami ke sana kemari selama kurang lebih enam hari. Avanza hitam berplat nomor BH sudah siap mengukur jalan dari Muaro Bungo dan berakhir di Padang, lima hari kemudian.
Ini perjalanan reportase terpanjang dalam kurun dua tahun ini. Kalau biasanya hanya berlangsung antara 3- 4 hari, maka kali ini waktunya lebih panjang; 7 hari. Bermula dari Makassar menuju Jakarta, mendarat malam dan beristirahat sejenak sebelum pagi harinya lanjut ke Muaro Bungo. Kami harus berganti pesawat karena jalur Jakarta-Muaro Bungo hanya bisa ditempuh dengan pesawat NAM Air, tidak ada layanan Garuda ke sana. Waktu yang mepet membuat kami harus berangkat malam dan menginap beberapa jam di Jakarta.
Dari Muaro Bungo kami bergeser agak ke selatan, menuju kota Bangko, ibukota kabupaten Merangin, Jambi. Perjalanan ditempuh kurang lebih 1 jam 30 menit dengan jalur yang rata dan nyaris lurus. Belum ada masalah berarti.
Di Bangko kami langsung menuju kantor bupati, menuntaskan tugas pertama. Hanya sekira dua jam di sana sebelum kami beranjak mencari makan siang.
Kalau sudah di Jambi, maka pilihan makanan khas apalagi kalau bukan: masakan Padang! Hahaha. Sebenarnya tidak cocok kalau disebut makanan Padang, mungkin lebih pas kalau disebut makanan Sumatra.
Karakternya mirip, penuh dengan santan dan cabe. Baik itu cabe merah ataupun cabe hijau. Khusus di Bangko, tambahannya adalah dendeng batokok. Dendeng daging sapi dengan karakter yang tidak terlalu kering seperti dendeng pada umumnya. Saya kurang tahu bumbu apa yang disematkan di dendeng ini, tapi dendeng inilah yang jadi menu wajib di setiap waktu makan selama berada di Merangin dan Kerinci. Sialnya – atau untungnya – saya ketagihan sama dendeng batokok ini. Mudah-mudahan saja saya tidak sampai sakaw, soalnya mencarinya susah. Harus ke Jambi dulu.
Selepas makan kami menyelesaikan lagi dua urusan sebelum kemudian beranjak menuju desa pertama yang akan kami kunjungi: Rantau Kermas. Desa ini berada di Kecamatan Jangkat, jaraknya sekitar 120an km dari kota Bungo. Sebenarnya jarak sejauh itu bisa dijangkau dalam rentang waktu sekitar 2 jam saja, tapi jalanan yang sempit, naik-turun, berkelok-kelok dan bahkan berakhir di jalan tak beraspal membuat waktu perjalanan menjadi molor sampai 3 jam.
Kami tiba di Rantau Kermas ketika malam sudah mendekap bumi. Udara dingin pegunungan menyambut kami begitu kami turun dari mobil. Saya merapatkan jaket, berusaha menghalau udara dingin. Desa yang tak dialiri listrik PLN itu sudah sepi. Malam itu kami bertemu kepala desa dan bahkan menginap di rumah beliau.
Keheningan desa berketinggian sekitar 900an Mdpl itu membuat tidur saya begitu nyenyak. Perjalanan jauh yang berkelok-kelok naik turun juga ikut menyumbang alasan untuk tidur nyenyak. Udara dingin mampu saya lawan dengan jaket, kaos kaki dan tentu saja selimut tebal yang disiapkan tuan rumah.
*****
KABUT TIPIS MASIH BERGELAYUT di sekujur desa ketika kami memulai aktivitas. Memotret suasana desa, melihat hutan adat dari jauh dan mendengarkan cerita warga. Berkali-kali saya berusaha memenuhi paru-paru dengan udara sejuk pegunungan yang masih jauh dari racun polusi.
Sungguh menyegarkan.
Saya sempat menimbang-nimbang apakah akan mandi atau tidak? Maklum, air di bak mandi yang besar itu sungguh dingin, sedingin air di botol minum dalam kulkas. Sebuah kran juga tidak berhenti mengalirkan air sepanjang hari. Tanpa jeda.
“Percuma, ditutup juga airnya akan mendesak. Bisa-bisa kerannya rusak,” kata Wawan, pendamping desa yang menemani kami.
Air itu mengalir dari mata air di bukit yang tak pernah kering. Tidak ada mesin pompa, hanya dialirkan melaui pipa-pipa ke rumah warga.
Akhirnya, setelah membasahi kaki, naik ke paha, lalu kedua lengan, saya merasa siap untuk mengguyur tubuh dengan air pegunungan yang dingin itu.
Byurrr!
Saya bergidik. Dinginnya langsung menusuk tulang, tapi hanya sejenak karena rasa segar lalu merayap ke tubuh melalui semua pembuluh darah. Ahhh segarnya. Rasanya bahkan saya menolak untuk berhenti mandi, terus-terusan mengguyur tubuh dari kepala sampai kaki.
Rasa dingin baru menyerang sesaat setelah adegan guyur-mengguyur itu berhenti. Dingin, tapi sekaligus segar.
Konon, mandi di tempat dingin memang bisa menyegarkan dan membuat tubuh jadi lebih hangat. Ketika tubuh terkena air dingin, otomatis otak akan memerintahkan pori-pori untuk menutup demi menjaga suhu dalam tubuh. Ini berbeda dengan kalau kita mandi air hangat di tempat dingin. Ketika air hangat menyentuh kulit, otak mengira suhu di luar sedang tinggi dan dia memerintahkan pori-pori kulit untuk membuka. Akibatnya, tubuh malah terasa lebih dingin setelahnya karena pori-pori membuka selebar mungkin.
Hmm, betapa otak begitu mudah dimanipulasi.
Selepas mandi dan sarapan, kami beranjak meninggalkan desa. Matahari mulai tinggi, mengantarkan rasa hangat ke seluruh bumi. Beberapa warga sedang memanen padi di sawah kecil di ujung jalan masuk desa. Air sungai di sebelahnya mengalir deras, beberapa jenak saya terasa dipanggil untuk mencelupkan tubuh ke sana. Sayang, kami sudah harus beranjak.
Tujuan selanjutnya adalah kota Sungai Penuh, sebuah kota tua di kaki Gunung Kerinci yang sekaligus jadi ibukota Kabupaten Kerinci. Jarak dari kota Bangko sekitar 160an km. Karena kami berangkat dari Desa Rantau Kermas, berarti kami akan total menempuh jarak sekitar 300an km. Jarak tempuh diperkirakan sekitar enam jam, belum termasuk urusan makan dan salat.
Avaza hitam berplat BH itu meniti jalan berbatu, menanjak dan berkelok menuju jalan besar. Di sebelah kanan, jurang menganga menampakkan hamparan hijau hutan yang diselingi kebun-kebun kayu manis (mereka menyebutnya kulit manis, karena yang manis memang kulitnya).
Gunung Masurai tertutup kabut, hanya nampak membayang seperti gadis yang malu-malu di balik tirai. Kami meniti jalan dengan jendela mobil yang dibiarkan terbuka, mengundang udara sejuk pegunungan masuk ke mobil dan mengisi paru-paru.
Awal perjalanan yang menyenangkan, 300an kilometer menghampar di depan. Kerinci, mari kita lihat apa yang akan kamu sajikan buat kami.
— bersambung — [dG]
Dari tulisannya bisa kebayang suasananya ?
ini maksudnya bertanya atau bagaimana? hahaha