Madura 2: Luar Biasanya Perempuan Madura
Di tulisan pertama saya bercerita tentang persentuhan awal dengan Madura, di tulisan kedua ini saya akan menulis tentang batik Madura dan peran perempuan Madura dalam kehidupan sosial mereka.
Di halaman rumah batu yang lumayan besar itu berderet beberapa gentong yang terbuat dari tanah liat. Gentong-gentong itu ditutup dengan penutup dari kayu. Di satu sudut halaman, beberapa kain dengan warna dominan oranye dan merah darah digantungkan di sebilah bambu. Di sudut lainnya dua orang pria sedang sibuk merendam beberapa lembar kain di dalam larutan pewarna. Lagu dangdut dengan suara kencang mengiringi kegiatan mereka. Sesekali kedua pekerja itu menyanyi mengiringi musik dari speaker besar di suatu siang yang mendung itu.
Itu suasana yang menyambut kami di rumah pak Alim, pemilik galery Zulpah Batik di desa Tanjung Bumi, Bangkalan Madura. Bersama rombongan Cultural Trip Potret Mahakarya lainnya saya duduk melingkar di depan pak Alim yang bercerita banyak tentang batik gentongan khas Bangkalan.
“Perempuan di sini membatik hanya untuk mengisi waktu luang ketika suami mereka melaut. Mereka membatik bukan karena ingin mencari uang, benar-benar sekadar mengisi waktu luang.” Kata pak Alim. Tanjung Bumi berada di pesisir utara Madura, sekisar 1 jam perjalanan ke timur kota Bangkalan. Sebagian besar pria di desa itu adalah nelayan yang bisa melaut hingga berbulan-bulan.
Ketika suami mereka melaut, para istri yang ditinggal tak lantas larut dalam rasa sepi. Dengan tekun mereka menumpahkan rasa rindu pada sang terkasih di atas lembaran-lembaran kain hingga terciptalah lembaran batik yang punya ciri sendiri. Ciri utama adalah corak dan warnanya. Corak batik Madura (khususnya batik Bangkalan) menggunakan goresan yang lebih tegas dan berani. Corak itu kemudian dipertegas dengan warna yang cerah, berbeda dengan kebanyakan warna batik Jawa yang relatif lebih lembut.
Batik dari Tanjung Bumi kadang disebut sebagai batik gentongan, pasalnya batik tersebut melalui sebuah proses perendaman di sebuah gentong untuk memunculkan warnanya yang cerah. Oleh pedagang, proses tersebut kemudian dilebih-lebihkan hingga muncullah mitos bahwa batik gentongan direndam di gentong selama berbulan-bulan. Padahal tidak seperti itu, perendaman kadang hanya memakan waktu sehari semalam. Adapun gentong yang dipilih tentu karena jaman dulu belum ada ember.
“Kalau dulu sudah ada ember, mungkin ini namanya jadi batik emberan hahaha.” Kata pak Alim sambil tertawa.
Perempuan Madura, Batik dan Jamu.
Batik Tanjung Bumi yang menawan adalah hasil karya tangan perempuan-perempuan Madura yang tekun, sabar dan berdedikasi sepenuhnya tanpa memikirkan harga jual. Karena mereka melakukannya bukan untuk materi maka memaksa mereka menyelesaikan satu lembar batik secepat mungkin adalah hal yang sulit. Selembar kain ukuran 1 x 5 meter bisa selesai dalam waktu sebulan, bahkan kadang lebih. Pantas saja jika harganya di atas 2 juta rupiah. Selain waktu pengerjaan yang lama, hasilnya juga butuh ketekunan tinggi.
Melihat rumitnya corak batik yang belum selesai di atas selembar kain saya benar-benar yakin kalau mereka mengerjakannya dengan ketekunan yang luar biasa. Goresan-goresan malam di atas kain itu seperti curahan hati yang mengalir melalui tangan-tangan terampil perempuan Madura. Proses membatik sangat panjang, dari proses menggambar pola corak di atas kain, menggariskan lilin malam, hingga proses mewarnai yang butuh pengulangan untuk mendapatkan warna yang detail dan cerah.
Perempuan Madura membatik hanya untuk membunuh kesepian kala suami mereka melaut, pun sebagai sebuah persembahan untuk sang terkasih kala mereka kembali ke rumah nanti. Bagi perempuan Madura, pengabdian kepada suami adalah tugas sepanjang hayat sedetik setelah mereka menuntaskan akad nikah. Mereka akan memberi yang terbaik bagi suami mereka, raja di rumah mereka.
Di kisah yang lain kita pasti sudah akrab dengan beragam jamu dari pulau Madura. Ada beragam cerita tentang bagaimana perempuan Madura menjaga diri mereka dengan ramuan-ramuan herbal tradisional yang diturunkan secara turun-temurun. Para pria berkelakar bagaimana jamu itu membuat para perempuan Madura menjadi sangat mempesona di atas ranjang. Dalam konteks yang berbeda, ini adalah bentuk pengabdian seorang perempuan kepada suaminya.
Jamu Madura sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Ibu Fachruzah pemilik jamu Mahkota Madura di Pamekasan mengaku sudah mewarisi keterampilan membuat jamu ini selama 6 turunan. Nenek buyutnya orang Tionghoa yang mungkin membawa keterampilan itu dari tanah Tiongkok. Sedari kecil anak-anak perempuan mereka sudah dikenalkan pada bahan-bahan pembuat jamu secara perlahan. Setelah mengenal bahan mereka akan mulai diajar untuk meracik jamu. Begitu seterusnya hingga keterampilan ini menurun terus menerus.
Perempuan Madura, Kehormatan Yang Harus Dijaga
Bagi pria Madura, istri mereka adalah ratu dan kehormatan yang harus dijaga. Mereka tidak akan diam begitu saja kalau mendapati kabar ada pria yang mencoba mengganggu istri mereka. Berurusan dengan istri orang Madura berarti berurusan dengan suami serta keluarga besarnya. Ujung clurit adalah akhir kisah, pun menjadi akhir kehidupan bagi mereka yang berani mengganggu kehormatan.
Lelaki dan perempuan Madura berada dalam sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Perempuan Madura memberikan yang terbaik kepada suaminya dan sang suami memberikan semua kemampuannya untuk menjaga istri, harta terbaiknya. Tidak heran, perempuan Madura yang telah menikah katanya akan berjalan dengan gaya yang penuh kepercayaan diri karena dia yakin tidak ada lelaki yang berani mengganggunya. Sekali lagi, mengganggu perempuan yang sudah bersuami berarti siap berhadapan dengan suami dan keluarga besarnya.
Para pembatik di Bangkalan dan peracik jamu di Pamekasan adalah sebenar-benarnya perempuan Madura. Kala suami mereka sedang berjuang mencari nafkah mereka tidak tinggal diam atau mencari kesenangan dengan cara yang lain. Mereka mengisi waktu luang dengan kegiatan menyenangkan, kegiatan yang menggambarkan dedikasi mereka pada suami dan keluarga. Hasil dari dedikasi mereka adalah hasil yang lahir dari tangan-tangan terampil yang dilengkapi dengan ketekunan yang luar biasa.
Kisah para perempuan Madura bukan satu-satunya kisah pengabdian perempuan di Nusantara ini. Catatan sejarah dan budaya Nusantara mencatat banyak pengabdian para perempuan di sekujur Nusantara ini, dari kerajaan di Aceh hingga suku-suku di Papua. Pembedanya hanya pada jenis hasil pengabdiannya, kalau perempuan Madura mengabdi pada batik maka perempuan suku lain mungkin mengabdi pada kain tenun.
Cerita perempuan Madura hanya pelengkap kisah betapa banyaknya perempuan-perempuan di Nusantara ini yang lahir dan tumbuh menjadi perempuan luar biasa. Mereka mungkin termarginalkan, terlupakan dan hanya menjadi warga kelas dua. Tapi dengan kekuatannya sendiri mereka bisa besar sebagai manusia yang punya kekuatan. Di beberapa suku mereka bahkan menjadi kehormatan yang harus dijaga meski itu berarti harus menyabung nyawa. Di Madura misalnya. [dG]
i love this one, daeng. really love your point of view.
hehehe terima kasih 😀
nice share, entah kenapa topik ini berhasil menarik perhatian 🙂
btw batik madura emang terkenal lebih berani memadukan warna-warna cerah…. udah nyobain sate lalat? 🙂
huhuhu ndak sempat makan sate lalat
Jangankan istri orang, gangguin tunangan orang aja bisa berakhir di ujung carok 😀
hihihi iyya ya?
Betul saya pernah di madura masalah perempuan, aneh tetapi lucu ( harga diri ) perempuan di bela mati – matian oleh keluarganya . Padahal untuk masalah harga diri ( artinya menjaga rasa malu ) seharusnya malu itu bukan datang dari harga diri tetapi dari tanggung jawab atas apa yang dilakukan dan di katakan serta juga dari tindak tanduk.
Anehnya kenapa terbalik tanggung jawab belakangan harga diri ( rasa malu ) yang di bela sampai mati. Harga diri itu bukan hal yang dj dapat dari berbicara ( tetapi dari berbuat ) bukan berbuat lalu malu dan menyangkut harga diri . Sebaliknya tanggung jawab akan perbuatan lah yang di dahulukan. ( Keluarga ikut menjaga ) yang artinya mendidik bukan membela seharusnya bukan di bela tetapi anak perempuan di ajarkan bagaimana menjaga rasa malu dan harga diri ( tanggung jawab atas perbuatan ) bukan terbalik hingga membawa orang tua keluarga besar. Karena sesuatu perbuatan yang menyebabkan rasa malu itu sifatnya individu ( personal ) bukan di pertanggung jawabkan kelompok ( keluarga ) tidak ada sangkut paut antara harga diri dan tanggung jawab terhadap perbuatan yang membuat malu keluarga karena perbuatan itu dilakukan individual bukan kelompok. Lucu sekali seperti Ayah dan Ibu ikut membela layaknya anak kecil yang meminta pertolongan pada orang tua nya saat tidak dapat bertanggung jawab akan perbuatan yang dilakukan. Menggelikan kalau masalah harga diri carok?? Saya tantang untuk jujur mengakui perbuatan yang dilakukan kenapa malah justru ke harga diri dan carok ? HARGA DIRI itu di usahakan bukan di dapatkan dari CAROK , itu seperti manusia tidak punya pendidikan dan hukum sunggug terlalu bagaimana bisa ada hukum dan polisi bahkan ada hukum internasional namun masih memakai harga diri sebagai alasan untuk bertarung sampai mati. apabila disampaikan bahwa di indonesia khusunya madura ( bukan maksud RASIS ) namun apakah bisa diterima dengan akal sehat seharusnya hukum dan agama ( islam ) karena notabene agama ‘madura’ isalm bahkan saya juga orang islam , namun menggunakan cara cara kaum yang tak berpendidikan dan cara hukum rimba hanya untuk harga diri ( bukan tanggung jawab atas perbuatan ) di agama manapun tanggung jawab kejujuran adalah hal penting. Bagaimana kejujuran dan keterbukaan akan hal yang benar benar dilakukan ‘madura’ mengakui bahwa harga diri bukanlah hal terpenting. Namun tanggung jawab lah dan kejujuran terhadap segala perbuatan yang dilakukan didahulukan sebelum CAROK . Lucu sekali CAROK yang di dahulukan dibanggakan sebuah harga diri orang. Madura namun tidak TANGGUNG JAWAB PERBUATAN YANG DILAKUKAN , RASA MALU HARGA DIRI , ADALAH ALASAN UNTUK MENUTUPI KESALAHAN DAN TABIAT ORANF TIDAK BERPENDIDIKAN. Maaf kan bila kasar namun bila memang bisa bertanggung jawab apakah perlu dilakukan pertarung sampai mati atau CAROK ?? Hukum Rimba? Yang kuat yang bertahan hidup. Sungguh ada diajaran ISLAM ? CAROK?? Harga Diri bukan MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERBUATAN DI MATA ALLAH ( TUHAN YANG MAHA ESA ) sungguh terlalu ambisius orang ‘madura’ dengan kata CAROK
Kalau saya pribadi saya berikan nyawa saya demi kepuasan anda Pribadi ( semoga Allah ) mengangkat HARGA DIRI ORANG MADURA DENGAN CAROK ( jika masih percaya Allah ) dan silahkan bertanggung jawab dengan atau hukum yang ada , bahkan hanya dengan moralitas dan ilmu duniawi berpendidikan , cara yang digunakan sebagai HARGA DIRI
Salut, semoga bisa dijaga kelestariannya.
Kadang saya heran kenapa semua membahas tentang madura , terus terang saya orang surabaya asli sidoarjo waru. Kalau di dalam teori ada cross culture artinya tidak semua budaya bisa bersinggungan ‘ madura ‘ sudah berbeda dengan orang ‘ jawa ‘ jadi setidaknya bukan menyalahkan madura dan surabaya. Di lihat dari letak geografisnya saja orang madura sebelum ada akses suramadu harus lewat kapal menyebrang madura – surabaya. Dari pendapatan perkapita juga pasti beda ( madura bangkalan , sampang , sumenep ) kabupaten ‘ kecil ‘ sedangkan surabaya kota ( ibu kota provinsi jawa timur ) jadi dari ekonomi dan ketahanan terhadap kegiatan perekonomian pasti berpusat di surabaya. Hal ini juga termasuk faktor mempengaruhi orang madura bahkan bukan cuma madura namun banyak dari kota lain penyangga layaknya sidoarjo , gresik , lamongan , bahkan jombang kediri mojokerto malang bekerja di surabaya atau pun sebaliknya . Jadi kalau berbicara soal masalah surabaya , madura jangan lupa untuk bicara soal ekonomi dimana di madura bukan pusat perekonomian di jawa timur ( listrik dan sumber daya layaknya pabrik ) dan pusat perkantoran mall dll. Termasuk dalam infrastruktur kota. Jadi seharusnya yang dibahas di madura memang betul indah , saya pernah ke sumenep tetapi culture budaya ekonomi dan ‘ edukasi atau pendidikan ‘ dari kebiasaaan di kabupaten – kabupaten madura menyebabkan gesekan budaya ( kota ) dan desa madura atau pun bisa disebutkan sebagai perbedaaan masyarakat kota dan deaa hal ini menyebabkan gesekan antara budaya dan pemahaman yang berbeda beda contoh paling mudah masalah ekonomi diamana banyak perantauan ( madura dan kota penyangga surabaya ) datang ke surabaya untuk mencari mata pencaharian atau masa depan yang lebih baik dari ekonomi yang ada di kota asal gesekan budaya yang di bawa dari tempat asal mungkin tidak sesuai dengan hidup yang serba mahal dan berbeda di surabaya di kota ( provinsi jawa timur ) mungkin kalau di banding jakarta maka akan terjadi suatu gesekan budaya yang lebih tinggi lagi karena notabene dari batak sabang sampai marauke akan bisa di temui di jakarta bukan hanya di surabaya, bahkan kota kota lain diluar jawa , sumatera papua pasti ada di jakarta dimana kota ibukota negara
Sekian jangan Percaya akan Madura Surabaya namun banyak faktor juga yang mempengaruhi bukan hanya budaya Ekonomi ( permasalahan ekonomi / uang / kehidupan yang berbeda dimana kota asal kurang sejahtera tidak ada hiburan mall tempat makanan cepat saji , PLN ( tenaga listrik ) sebagai prasarana untuk adanya pabrik dan tempat tempat mencari pekerjaan lain yang mendukung perekonomiaan masyarakatnya ) maka akan ada namanya urbanisasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di Madura tentunya dan Surabaya , mungkin bisa sebut saja indonesia tercinta
Seharusnya konten itu tidak berpihak atau menonjol cumq satu sisi madura atau apa bukan apa apa , menurut saya konten yang positif tidak hanya berpihak pada perempuan madura artinya konten ada mengandung ‘ makna ‘ tersirat untuk menunjukan bahwa madura itu indah perempuan madura itu baik. Tentunya konten ini berisi keberpihakan terhadap suatu daerah tertentu yang artinya mempunyai ‘ maksud ‘ untuk membaikan sebuah ‘ daerah khususnya madura ‘ hal ini berarti bisa di ambil sebagai suatu maksud tersirat tanpa maksud untuk apapun intinya konten ini berarti sebagai promosi ‘ kebudayaan madura ‘ perempuan madura khusunya