Madura 1: Kenapa Harus Madura Sih?

Alhamdulillah
Alhamdulillah

Biasanya saya menulis dengan tema berbeda setiap hari, tapi Minggu ini saya akan mengubah kebiasaan itu. Selama beberapa hari ini saya akan menulis tentang kesan selama mengikuti Cultural Trip Potret Mahakarya ke Madura. Tulisan ini adalah bagian pertama.

“Selamat ya mas Ipul, mas terpilih sebagai salah satu dari 4 pemenang yang akan mengikuti Cultural Trip ke Madura.” Berita itu saya terima di suatu siang yang gerimis. Harusnya berita itu menyenangkan, tapi hari itu saya menerimanya dengan datar dan tanpa ekspresi berlebihan.

Sebelumnya saya memang tidak tahu banyak tentang Madura. Mendengar kata Madura saya pasti membayangkan sate yang lezat dan pak Slamet tukang cukur langganan saya. Madura buat saya tidak semenarik tujuan wisata lain di Indonesia seperti Wakatobi atau Raja Ampat misalnya.

“Kenapa harus Madura sih?” Tanya saya dalam hati. Jujur, saya lebih mengidamkan tujuan lain daripada pulau Madura yang belum pernah saya dengar sebagai sebuah tujuan wisata yang menarik. Jujur pula, saya awalnya hampir menolak ajakan itu. Alasannya karena Madura tidak terlalu menarik selain satu alasan lain. Tapi niat itu saya urungkan beberapa hari kemudian. Sudahlah, tak ada salahnya mencoba melihat Madura dari dekat.

Akhirnya Jumat 13 Desember dini hari saya sudah duduk merokok di satu sudut terminal 2F Bandara Soekarno Hatta. Sehari sebelumnya saya menghadiri diskusi akhir tahun ICT Watch jadi bisa berangkat bersamaan dengan anggota rombongan Cultural Trip Potret Mahakarya lainnya dari Jakarta. Matahari masih bersembunyi ketika saya berkumpul bersama anggota rombongan. Total hari itu ada 23 orang yang berangkat dari Jakarta, berikutnya kami akan bertemu anggota rombongan yang lainnya di Surabaya.

Pukul 6:20 waktu Jakarta kami akhirnya meninggalkan Soekarno Hatta dan tiba di bandara Juanda sejam kemudian. Kami dijemput bis yang sudah siap mengantar kami ke Madura. Matahari tertutup awan mendung tapi gerahnya sangat terasa. Mungkin sebentar lagi hujan, kata saya dalam hati.

Akhirnya Berubah Pikiran.

Di atas bis saya duduk di samping JJ Rizal, seorang sejarawan muda yang namanya sudah sering saya dengar. Duduk di samping mas Rizal ternyata dengan cepat mengubah pikiran saya tentang Madura. Kebetulan saya orang yang tertarik pada sejarah dan budaya sehingga obrolan dengan mas Rizal yang santai dan lucu itu dengan cepat membuat saya tertarik pada Madura.

“Madura itu unik, sama kayak Betawi. Banyak budaya yang mempengaruhinya, ada Jawa, India, Arab dan Tionghoa.” Kata mas Rizal. Sebuah pembuka percakapan yang pas karena tanpa sadar saya sudah menggeser posisi duduk agar bisa mendengarkan cerita mas Rizal lebih jelas.

Sepanjang perjalanan saya benar-benar menyimak rentetan cerita tentang sejarah dan budaya Madura dari mas Rizal. Kalau dia jeli, dia pasti bisa melihat betapa mata saya berbinar-binar mendengar ceritanya. Perlahan saya mulai sangat tertarik pada kisah tentang sejarah dan budaya Madura. Cerita yang sebelumnya belum pernah saya dengar. Ibarat sebuah perhiasan yang tersimpan di dalam kotak, tidak menarik hingga kemudian kotaknya dibuka dan kilau perhiasan itu menarik perhatian orang.

Perkenalan dengan Madura diawali dengan bebek goreng Songkem. Tadinya bebek Sinjay yang terkenal itu yang jadi sasaran, sayangnya karena hari itu Jumat maka bebek fenomenal itu tidak buka. Jadilah bebek Songkem yang jadi sasaran. Saya yang aslinya tidak tertarik pada olahan unggas yang satu itu mengubah pikiran untuk mencobanya. Hasilnya, saya ternyata menyukainya!

Wisata Madura 1

Bebek Songkem adalah pembuka yang pas. Cinta pada sebuah tempat bisa dimulai dari lidah kan? Dan berikutnya mata kami yang dimanjakan oleh manisnya corak batik gentongan di Tanjung Bumi, kabupaten Bangkalan. Corak batik dengan warna cerah dan berani ini berbeda dengan batik Jawa pada umumnya, benar-benar menunjukkan sifat orang Madura yang dinamis, ceria dan berani.

Batik Madura

Topeng, Keraton, Makam dan Keris.

Malam harinya kami diajak ke sebuah desa yang jauh, untuk mencapainya kami harus melintasi jalanan tanah yang licin dan sempit sebelum diakhiri dengan berjalan kaki di atas tanah yang basah sehabis hujan. Tujuan kami adalah sebuah pertunjukan tari topeng Madura yang digelar sebagai ritual acara syukuran desa atas hasil panen yang melimpah.

Wisata Madura 2

Besoknya makin banyak cerita tentang sejarah dan budaya Madura yang kami sesap. Dari keraton Sumenep, masjid Jamik Sumenep, makam raja Sumenep di Asta Tinggi hingga desa pusat pembuatan keris di Aluh Tong Tong. Semua tempat itu makin membuka mata saya tentang Madura yang memang unik dan punya cerita sejarah dan budaya yang menarik.

Semua tempat-tempat itu benar-benar menandai pengaruh budaya yang beragam. Dari budaya Jawa yang tergambar di corak batik Madura, budaya China yang menghiasi keraton Sumenep dan masjid Jamik, budaya Eropa yang tersirat dalam simbol kerajaan Sumenep hingga pengaruh India lewat peninggalan masa Majapahit. Sebuah bukti kalau orang Madura memang dinamis dan tidak menutup diri dari para pendatang.

Wsata religi di Madura
Keris Madura

Dua hari kemudian saya sudah benar-benar berubah pikiran. Dalam perjalanan pulang ke Makassar saya bersyukur hari itu tidak mengikuti kesombongan saya untuk menolak ajakan Cultural Trip ke Madura. Rangkaian perjalanan selama 3 hari 2 malam di Madura berhasil merangkai kepingan cerita menarik tentang pulau penghasil garam ini. Madura ternyata menyenangkan, penuh cerita tentang sejarah, budaya dan kisah-kisah mistisnya. Meski kami tidak sempat menikmati alamnya tapi rangkaian cerita itu sudah cukup untuk membuat saya harus mengakui betapa menariknya pesona pulau di timur Jawa itu.

Dan jika suatu hari nanti ada yang bertanya, kenapa sih harus Madura? Maka saya akan menjawab dengan pasti: karena Madura itu menyenangkan! Banyak cerita yang bisa disesap dari geliat sejarah dan budayanya.

Jadi kalau sampiyan ada waktu, cobalah mengunjungi Madura. Rangkaian ceritanya pasti akan membuat sampiyan mengakui kalau Madura memang menarik meski jarang dibincangkan. [dG]