V dan Para Pelangi Di Sekitar Kita

ilusrasi (sumber: ukprogressive.co.uk)
ilusrasi (sumber: ukprogressive.co.uk)

Mengenang seorang teman yang punya orientasi berbeda

Sebut saja namanya V. Kami sekelas di sebuah STM negeri di kota Makassar, sekira awal tahun 1990an. Sosoknya agak aneh menurut kami, sangat tidak sesuai dengan kesan garang dan maskulin yang biasanya disematkan untuk anak STM. Si V ini meski berbadan tinggi besar tapi sungguh kemayu. Gerak-geriknya lembut dengan nada suara yang juga lembut dan manja. Di antara teman-teman dia sering menjadi bahan olok-olok, meski dia tak pernah marah dan tetap menjadi teman baik kami.

Dia adalah teman yang baik, setia kawan meski dia terlihat berbeda di antara kerumunan pria-pria remaja yang hormonnya sedang menggelegak. Dia seperti saudara perempuan kami, mampu dan mau mendengarkan seperti seorang perempuan meski juga mampu dan kadang mau bekerja seperti seorang pria.

“Sebenarnya saya masuk STM karena dipaksa bapak.” Akunya. Bapaknya seorang Katolik konservatif yang tak rela anak lelakinya berbeda dengan anak lelaki pada umumnya. Kalau tak salah ingat, V ini anak pria satu-satunya. Semua saudaranya perempuan, mungkin itu pula yang membuatnya jadi berbeda dengan pria pada umumnya.

Sang bapak katanya berusaha keras supaya V jadi lelaki seperti yang kita tahu. Dia memaksakan sang anak masuk STM meski V sendiri mengaku lebih suka masuk SMK yang berhubungan dengan kecantikan. V suka sekali merias, sesekali dia membantu kakak perempuannya yang kebetulan membuka usaha salon di rumahnya. Tapi sang bapak rupanya bersikeras, V harus masuk STM. V tak punya daya untuk melawan, dia pasrah pada suruhan sang bapak meski hatinya memberontak.

Sepanjang pertemanan kami saya ingat dia memang terlihat tidak sungguh-sungguh belajar. Nilainya rata-rata, bahkan bisa dibilang selalu buruk. Utamanya di mata pelajaran yang membutuhkan praktik. Padahal dia bukan anak yang bodoh. V anak yang cerdas, tapi hatinya bukan di STM. Semua dijalaninya dengan terpaksa, bahkan mungkin dengan sangat tersiksa.

Kepada teman-teman dekatnya dia bahkan mengaku kalau dia terjerumus ke dunia prostitusi sejenis. Tak jelas bagaimana awalnya dan siapa yang menariknya, tahu-tahu dia bercerita detail tentang kegiatan malam minggunya. Melayani pria-pria muda dan tua menjadi salah satu aktivitas yang kerap mengisi akhir pekannya.

“Lebih enak melayani om-om, bayarnya banyak dan mintanya sedikit. Kalau anak muda, bayarnya sedikit mintanya banyak.” Kata V suatu waktu. Kalimat itu paling membekas di kepala saya sampai sekarang, meski saya lupa bagaimana reaksi kami waktu itu.

Menurut V, pelanggannya biasanya terlihat seperti pria normal pada umumnya. Bahkan punya istri dan anak, persis seperti pria normal. Tapi mereka ternyata punya sisi gelap yang tak berani mereka perlihatkan kepada masyarakat. Ada keinginan yang sulit mereka tolak, keinginan untuk mencicipi sesama pria, utamanya pria muda. Dan V yang mengambil peran untuk memenuhi hasrat gelap “pria normal” itu. Entah untuk uang atau sekadar rekreasi, tak ada satupun dari kami yang tahu.

Beberapa bulan sebelum kenaikan kelas, kabar duka datang dari V. Bapaknya meninggal dunia karena sakit. Kami teman-teman baiknya datang melayat, melihat kesedihan sekaligus kelegaan di mata V. Sedih karena kehilangan bapak, tapi sekaligus lega karena hilang sudah penghalangnya. Penghalang untuk menjadi seperti yang dia mau, bukan untuk menjadi seorang pria yang bersekolah di STM seperti yang dimaui sang bapak.

Benar saja, pertemuan kami di rumahnya ketika melayat itu seingat saya jadi pertemuan terakhir dengan V. Segera setelahnya dia berlalu, meninggalkan sekolah yang selama ini mungkin jadi penjaranya, jadi tempatnya menempa kesabaran dan menerima rasa tak nyaman karena keterpaksaan. Kami tidak tahu kemana dia, kata teman dia pindah ke SMK lain, meneruskan cita-cita dan hobinya menjadi perias.

*****

Cerita tentang V ini muncul di kepala ketika belakangan ini perdebatan tentang Lesbian, Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) sedang marak. Ketika berteman dengan V kami belum tahu apa itu LGBT, kami hanya tahu dia berbeda dari kami. Berbadan pria tapi hatinya wanita. Bahkan ketika dia terang-terangan mengakui profesi sampingannya, kami tak menghujatnya. Anggaplah kami masih naif waktu itu, belum bisa melihat dunia dalam warna hitam-putih. Tapi setidaknya saya bersyukur kami bisa menerimanya apa adanya, bersyukur bahwa kami masih naif dan belum merasa berhak menghakimi seseorang. Semua berjalan apa adanya, hanya karena kami sama-sama manusia.

V bukan satu-satunya orang berbeda yang pernah melintas dalam kehidupan saya. Sebelum dan setelahnya saya sudah berkali-kali bertemu dengan mereka. Ada yang hanya karena pertemuan beberapa jenak, ada juga yang sampai “melamar” saya jadi piarannya dengan janji akan dibelikan motor dan dikuliahkan, ada pula yang sampai sempat membuat kehidupan saya guncang.

Orang-orang seperti V ada di sekitar saya, bahkan mungkin di sekitar kita semua. Ada yang benar-benar menampakkan diri tapi ada pula yang seperti kata V, sehari-harinya tampak seperti pria (atau wanita) biasa. Hidup sebagai hetero, menikah dan punya keturunan tapi tetap menyimpan hasrat pada sejenis. Hasrat yang sesekali dipuaskan, entah dengan cara membayar, suka sama suka atau bahkan memaksa.

Belakangan ini saya mulai eneg melihat perdebatan tentang LGBT yang seperti mulai berlebihan. Mereka yang menolak menggunakan beragam dalil, pun dengan mereka yang mendukung. Masing-masing punya senjata untuk menyerang dan bertahan. Masing-masing punya keteguhan hati untuk tidak menerima alasan pihak lawan. Sampai akhirnya perdebatan tidak pernah berakhir dengan kesepatakan dan saling mengerti. Satu-satunya yang membuat mereka mengangguk setuju adalah keputusan bahwa penolak dan pendukung LGBT tidak akan pernah bisa berdamai.

Ketika perdebatan semakin seru, orang-orang seperti V masih terus ada. Mereka ada di sekitar kita, hidup dalam pergulatan norma dan moral. Sebagian dengan berani menampakkan diri, sebagian lagi seperti para pelanggan V, memakai topeng agar diterima masyarakat. Sebagian menikmati pilihan mereka, sebagian lagi harus bertarung dengan diri sendiri. Entah sampai kapan.

Selama orang Indonesia masih (mengaku) beragama, LGBT memang tidak akan mudah diterima. Apalagi ketika masih banyak yang menuduh mereka melakukan rekruitment dan berusaha menambah anggota sebanyak-banyaknya. LGBT tetap akan jadi sesuatu yang ramai ditolak, dihujat dan dilaknat. LGBT tetap akan dianggap sebagai penyakit, sebagai sesuatu yang merusak moral bangsa.

Bukan hal mudah bagi orang-orang seperti V dan orang-orang yang diceritakan V. Orang-orang yang kadang harus berperang dengan diri mereka sendiri, lalu menghadapi dunia yang tak sepenuhnya mengerti mereka. Benar-benar bukan hal mudah.

Tiba-tiba saya penasaran, di mana V sekarang? Semoga dia sehat-sehat saja dan bahagia dengan pilihannya. Apapun itu. [dG]