Di TV Kita Mengejek Orang Jelek

Pesbuker ANTV (sumber: an.tv)
Pesbuker ANTV (sumber: an.tv)

Entah kenapa, di bulan yang katanya bulan baik ini tayangan televisi malah lebih sering menampilkan tayangan ejekan pada mereka yang fisiknya tidak sempurna.

Tayangan di sebuah stasiun televisi menampilkan seorang wanita dengan satu ciri khas. Si wanita sebenarnya terlihat cukup menggoda dengan tubuh tinggi dan padat serta rambut panjang ikal terurai hingga bahu. Hanya satu kekurangannya-kalau kita bisa menyebutnya sebagai kekurangan-giginya tonggos atau terlihat agak mencuat di bagian depan.

Namanya Elly, nama aslinya Elly Suhari tapi di dunia hiburan namanya lebih terkenal sebagai Elly Sugigi. Tentu karena ciri khasnya di bagian gigi yang menonjol. Subuh itu dia tampil dalam sebuah skena bersama beberapa komedian lainnya. Seperti biasa, gigi Elly jadi bahan empuk bagi para lawan mainnya.

“Itu bukan gigi, itu tang”, kata Opick Kumis.

Kalimat itu dengan cepat mengundang tawa penonton yang ada di studio. Sang korban, Elly Sugigi juga ikut tertawa (atau setidaknya itu yang terlihat di layar kaca). Beberapa menit kemudian gantian Andhika, seorang presenter berwajah tampan campuran bule yang menjadikan gigi Elly sebagai bahan. Dia mendekat ke Elly dan berkata,”Pinjam giginya dong, mau buka botol.” Kembali tawa riuh menyeruak di seantero studio yang menghadirkan ratusan penonton itu.

Adegan di atas terjadi di acara Sahurnya Pesbukers di ANTV tanggal 23 Juli dinihari.

Elly, salah satu korban acara televisi (sumber: detikforum)
Elly, salah satu korban acara televisi (sumber: detikforum)

Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 27 Juli, Elly kembali jadi bintang tamu di acara yang sama. Tentunya dia kembali menjalani peran sebagai orang yang teraniaya. Sebagai orang dengan fisik tidak sempurna yang terus menjadi sasaran empuk dari lawan mainnya.

Tapi kali ini berbeda. Dalam sebuah segmen, suami Elly dihadirkan ke panggung. Lelaki yang baru 5 bulan menjadi suaminya itu bertubuh kekar dengan tampang yang jauh dari kata jelek. Elly sendiri nampak kaget ketika sang suami hadir di panggung, mungkin ini di luar skenario yang dia tahu. Dengan cepat raut wajah Elly berubah jadi tegang dan salah tingkah. Wajahnya jadi makin tidak nyaman ketika para lawan mainnya seperti sepakat mengeroyok kekurangan fisiknya.

“Mas, mas..kamu pasti tukang kayu kan?”, Tanya Andhika pada suami Elly. “Kenapa?” Tanya suami Elly dengan wajah keheranan. “Soalnya kamu nikah sama amplas kayu”, Jawab Andhika sambil menunjuk Elly.

Tentu saja jawaban Andhika ini ditimpali dengan suara tawa menggema dari ratusan penonton yang ada di studio. Semua senang, semua merasa terhibur oleh lawakan Andhika. Sementara itu Elly masih nampak tertawa meski terlihat jelas wajahnya tidak nyaman.

Dan celaanpun terus berlanjut. Anda bisa membayangkan bagaiman perasaan seorang wanita yang dihina di depan suaminya bukan? Sialnya lagi karena sang suami ikut tertawa setiap kali celaan dari lawan mainnya keluar. Saya tidak bisa menebak bagaimana perasaan suami Elly, benarkah dia tertawa karena geli atau hanya pura-pura tertawa saja? Saya tidak bisa membayangkan bisa tertawa lepas ketika ada orang yang menghina fisik istri saya di depan mata meski mereka bilang itu hanya bercanda. Saya juga tidak bisa membayangkan tega menghina fisik istri orang di depan suaminya langsung.

Bahkan Anak Kecil dan Ustadpun Ikut Mencela.

Di tayangan yang sama di tanggal 23 Juli adegan miris tertayang di layar kaca. Hari itu dirayakan sebagai hari anak nasional, dan hari itu Sahurnya Pesbukers juga menghadirkan 2 orang anak perempuan kecil yang bergaya genit seolah anak gadis dewasa padahal usianya belum lagi genap 10 tahun.

Bukan cuma itu, salah seorang dari mereka juga dengan fasihnya mengeluarkan hinaan pada fisik salah satu bintang tamu. Adalah Daus Mini yang jadi sasarannya. Dalam satu segmen diceritakan, Daus yang fisiknya memang seperti anak kecil terlihat mendekati salah satu bintang tamu, si perempuan kecil itu. Tanpa saya sangka, si perempuan kecil menoleh ke arah penonton dan berucap, “Penonton? Ini orang apa saringan?” Daus hanya tersipu malu ketika seisi studio tertawa terbahak-bahak.

Seketika saya merasa ada yang menohok di dada. Seorang anak kecil yang belum genap sepuluh tahun bisa mengeluarkan kalimat seperti itu? Mungkin itu adalah hasil dari pengamatannya selama ini, maklum tayangan serupa sangat banyak bertebaran di televisi nasional kita. Atau mungkin kalimat itu adalah skenario yang disiapkan? Dia hanya harus mengingat dan mengeluarkannya di saat yang tepat? Kalau iya, betapa teganya sang pembuat skenario.

Anak sekecil itu sudah diajari untuk menghina fisik orang, meski mereka bisa bersembunyi di belakang alasan kalau itu hanya untuk lucu-lucuan.

Beberapa jam sebelumnya di acara Bukan Empat Mata di stasiun TV Trans7, seorang ustad (atau begitu mereka menyebutnya) datang sebagai bintang tamu. Saya lupa namanya, saya juga jarang melihatnya di layar kaca. Tak penting siapa dia, tapi malam itu lelaki berbaju muslim dengan kopiah di kepala dan dipanggil ustad itu ternyata juga ikut menghina fisik orang. Kali ini Tukul yang jadi sasaran.

Sang ustad dengan nada yang lembut berujar,”Hidup itu harus seimbang. Sama seperti bibir, harus ada atas dan ada bawah. Bukan bawah semua”, sambil menatap ke arah Tukul. Jelas dia bermaksud menyindir bibir Tukul yang memang terkenal monyong. Seisi studio riuh oleh gelak tawa dan Tukul hanya tersipu malu.

Meski mereka bisa berlindung di belakang kalimat “semua hanya candaan” tapi tetap saja ada yang tidak terasa tepat. Seorang ustadz yang seharusnya punya pemahaman agama yang lebih dari orang biasa seperti saya harusnya tahu bagaimana mengeluarkan candaan yang lebih cerdas daripada candaan yang hanya menyindir fisik orang lain.

Begitulah, di bulan yang katanya bulan baik ini televisi kita malah mengumbar tayangan yang isinya malah banyak menertawai kekurangan orang. Elly, Daus Mini dan Tukul hanya sedikit dari mereka yang ikut jadi korban. Sayangnya, para korban ini menikmatinya. Tentu karena gelimangan rupiah juga mendarat di kantong mereka. Bagi mereka tak mengapa celaan, hinaan dan kadang bedak mendarat di tubuh mereka asal rupiah terus mengalir.

Sementara kita, anak-anak kita yang menonton televisi dan melihat semua adegan itu merasa kalau itu adalah hal yang wajar. Tak lama kitapun mulai melakukannya di dunia nyata, di keseharian kita dengan satu hal yang kurang: rupiah yang mengalir ke kantong para korban.

Begitulah, di televisi kita mengejek orang jelek. Mungkin di dunia nyata nanti anak-anak kita juga mengejek orang jelek. Atau, bisa jadi mereka yang jadi korban. Anda rela anak-anak Anda melakukannya? Atau Anda rela anak-anak Anda jadi korban? Saya sih tidak kedua-duanya.

Selamat berpuasa, jaga hati, jaga sikap [dG]