Belajar Toleransi di Rumah Kos
Belajar toleransi bisa dimulai dari lingkungan terdekat. Saat ini saya sedang belajar, mulai dari rumah kos tempat saya belajar.
SAYA BUKAN ORANG YANG BERSIH-BERSIH AMAT. Karena Amat juga tidak bersih-bersih Ipul. #halah. Intinya saya tidak sebersih Monica Geller di film Friends yang bisa tidak tidur nyenyak karena membayangkan masih ada cucian piring di dapurnya, atau yang membersihkan semua mobil yang parkir di depan apartemennya karena mobil itu terlalu kotor.
Tidak, saya tidak se-freak itu.
Tapi, saya juga bukan orang yang nyaman kalau melihat ada kekotoran di sekitar saya – kecuali otak kotor. Kalau masih level berantakan saya masih bisa menanggung, tapi kalau levelnya sudah kotor (misalnya sisa makanan dibiarkan berhamburan), nah itu saya kadang tidak bisa tahan lagi. Kalau masih sempat ya saya bersihkan, tapi kalau tidak ya cukup berdoa saja semoga ada yang tergerak hatinya untuk membersihkan.
Alasan ini yang membuat saya lebih nyaman tinggal di rumah dan merasa punya kontrol besar pada tingkat kebersihan lingkungan, sesuai standar saya tentunya. Rumah mungkin berantakan, tapi setidaknya tidak ada sisa makanan yang berserakan dan meninggalkan bau.
Sekarang, saya sedang berada di perantauan dan terpaksa tinggal di rumah kos bersama belasan orang lainnya. Artinya, urusan kebersihan bukan lagi kontrol saya sepenuhnya melainkan – idealnya – tanggung jawab bersama.
Sayangnya, standar orang perihal kebersihan memang tidak seragam.
Apa yang buat saya masih tergolong kotor, ternyata buat orang lain masih termasuk wajar. Itu terjadi di kosan tempat saya tinggal sekarang.
Salah satu yang menjadi “pertarungan” dalam diri saya adalah soal kebersihan tempat cuci yang dipakai bersama penghuni kos.
Baca Juga:
Tempat cuci ini terletak di satu sudut tembok, berbentuk ruang terbuka kira-kira berukuran 1 x 2,5 m. Di tempat inilah para penghuni kos sebelah selatan biasanya mencuci pakaian dan piring kotor mereka, termasuk saya.
Sayangnya, ada satu anggota kosan yang sepertinya terlalu sibuk dan kadang tidak sempat mencuci piring. Si anggota kos (yang sampai sekarang saya belum tahu siapa) kadang menaruh begitu saja piring dan alat makannya setelah dipakai. Kadang kala sisa makanannya masih ada di situ. Kalau hanya ditaruh sekian jam mungkin tidak masalah, tapi ini kadang ditaruh selama berhari-hari.
Duh, baunya itu loh! Tahu sendiri kan bagaimana bau sisa makanan basi yang terendam air? Euwww! Menjijikkan!
Awalnya saya coba menahan diri, berusaha supaya tidak muntah setiap kali saya memakai ruang cuci itu untuk cuci pakaian atau cuci piring. Sampai kemudian suatu malam saya tidak tahan lagi. Semua piring kotor yang bertumpuk itu saya cuci sampai bersih dan rasanya lega luar biasa! Pemandangan tidak mengenakkan beserta bau yang menusuk itu hilang seketika.
Piring dan gelas yang sudah bersih itu saya taruh di pinggir tempat cuci. Besoknya saya lihat piring dan gelas itu sudah tidak di tempatnya, berarti sudah diambil oleh pemiliknya. Saya tidak tahu bagaimana reaksinya, karena saya juga tidak peduli. Asalkan segala pemandangan dan bau yang mengganggu itu tidak ada di tempatnya lagi, saya sudah senang.
Tapi apakah si pelaku akan tersinggung? Oh ternyata tidak saudara-saudaraku sekalian!
Beberapa hari kemudian, hal yang sama terjadi lagi. Tumpukan piring dan gelas kotor lengkap dengan sisa makanan kembali menghiasi tempat cuci itu, berhari-hari lengkap dengan bau yang menyengat!
Kesempatan kedua ini saya masih melakukan hal yang sama, membersihkannya dengan sukarela sampai semua bersih dan baunya hilang. Besoknya piring dan gelas bersih sudah diambil lagi oleh pemiliknya.
Tapi oh tapi, kejadian yang sama kembali berulang!
Masih sama, piring dan gelas kotor ditumpuk begitu saja selama berhari-hari lengkap dengan baunya yang menyengat. Kali ini saya sudah kehilangan kesabaran. Saya jauh-jauh ke Jayapura bukan untuk jadi tenaga kebersihan yang tidak digaji, woy! Kalau mau minta pring dan gelas dibersihkan, minimal kita sepakati upah dulu #eh.
Jadi untuk kesempatan ketiga ini saya sudah menyerah, tidak mau lagi kerajinan – bahasa apa itu? – dengan mencucinya. Saya mengambil jalan tengah saja, mengisi ember cucian dengan sabun cuci, mengaduknya supaya sabun cuci tercampur rata dan menyiram tumpukan piring dan gelas kotor itu. Beres! Minimal baunya sudah hilang walaupun barangnya masih ada dan tidak enak dipandang.
Yah minimal saya mengurangi satu beban, beban di hidung walaupun mata masih terbebani. Maafkan saya mata!
*****
KEJADIAN INI MENYADARKAN SAYA bahwa tinggal di kosan yang berisi orang dari berbagai latar, berarti harus siap untuk bertoleransi.
Tidak semua orang punya standar yang sama dengan kita. Hal yang kita anggap biasa mungkin saja dianggap berlebihan oleh orang lain. Sebaliknya, hal yang kita anggap berlebihan mungkin saja dianggap biasa oleh orang lain.
Idealnya dalam kejadian seperti ini kita memang harus berkomunikasi, mengkomunikasikan apa yang jadi ganjalan. Mencari titik temu agar tidak ada yang dirugikan dan sama-sama senang. Tapi sayangnya saya bukan tipe orang yang nyaman dengan cara itu. Saya lebih suka menyelesaikannya sendiri dengan cara saya, meski itu berarti saya harus lebih sabar dan melakukannya dalam diam.
Saya bukan tipe orang yang senang menegur kesalahan orang lain, tapi saya lebih senang menunjukkan apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya. Tentu dengan harapan orang akan mengerti dengan sendirinya, bermula dari merasa tersindir dulu. Tapi, kadang itu tinggal harapan tapi tidak jadi kenyataan.
Saya jadi membayangkan, dalam lingkungan kos yang isinya hanya belasan orang saja toleransi betul-betul harus dijaga, kesabaran dilipatgandakan, standar tidak boleh kaku (karena kadang harus turun atau naik, biar enak). Pokoknya, kita tidak boleh terlalu egois. Nah, bagaimana kalau hidup dalam lingkungan yang lebih besar? Dengan anggota yang lebih banyak dan latar yang lebih beragam? Toleransi tentu menuntut perhatian yang lebih lagi, plus kesabaran juga harus jauh lebih tinggi.
Toleransi ini ternyata memang tidak mudah ya. Terlalu kuat memegang prinsip berarti siap bertabrakan dengan prinsip orang lain, terlalu lembek juga tidak bagus. Kita jadi kehilangan prinsip. Ah, sepertinya saya harus belajar banyak soal toleransi ini, mulai dari lingkungan kosan. [dG]
Mulai mendalami jadi anak kos, daeng. Hehehehehe.
Kadang anak kos itu ada yang suka usil, asal ambil sabun mandi, sabun cuci, dan lainnya. Pokoknya kudu sabar 😀
hahaha begitulah
mengasah kemampuan untuk bertoleransi
Selalu terinspirasi jika mampir di blognya bos Daeng Gassing hahahaha. Mantap!