Pasar Terong, Si Bawang Putih Yang Disakiti

Pasar Terong (foto: rakyatsulsel.com)
Pasar Terong (foto: rakyatsulsel.com)

Coba lihat sekeliling kita, berapa banyak pasar tradisional yang masih bernafas dengan segar? Mungkin ada, tapi lebih banyak yang megap-megap dikepung pasar modern.

Tersebutlah sebuah pasar bernama pasar Terong. Terletak di Jl. Terong, tidak terlalu jauh dari pusat kota Makassar. Sejak tahun 1960an, pasar ini jadi barometer harga hasil pertanian di Indonesia Timur. Bersanding dengan pasar Kramat Jati di Jakarta, pasar Turi di Surabaya dan pasar Medan Kota di Medan. ?Setiap subuh suara Syahril Sidik dari radio RRI dengan lantang akan menginformasikan harga bayam, kubis, cabe keriting, kol gepeng, dan lain-lain dan lain-lain. Terus begitu selama kurang lebih 44 tahun.

Sekisar 1.138.202 keluarga petani ?di Sulawesi Selatan mengirimkan hasil pertanian mereka ke Pasar Terong. Dua ribuan pedagang menyambutnya, menjadi tangan pertama dan kedua yang akan menghubungkan para petani dengan para penikmat hasil bumi. Macam-macam pedagang ada di sana, mulai dari pedagang besar yang membeli bertruk-truk hasil bumi, pedagang bermodal sedang yang mampu menyewa kios, pedagang modal sedikit yang menyajikan dagangan dengan meja kayu sederhana hingga pedagang nyaris tak bermodal yang hanya mengelar tikar sebagai etalase dagangan. Ada juga pedagang bersepeda yang menjemput hasil bumi dari pasar Terong dan mengantarkannya ke halaman rumah ibu rumah tangga nyaris di sekujur kota ini.

Pasar Terong tidak hanya memanjangkan sulurnya ke kota ini, tapi juga ke kota lain di pulau lain seperti Kalimantan, Jawa dan bahkan hingga ke negeri seberang seperti China dan Timor Leste. Bisa dibayangkan betapa panjang sulur Pasar Terong ini bukan?

Paar Terong sebenarnya berawal dari pasar tumpah. Tidak jauh di sebelah barat ada pasar Kalimbu, pasar tertua kedua di kota Makassar yang berdiri pada tahun 1920an. Kalimbu dalam bahasa Makassar berarti berselimut (biasanya berselimut sarung). Kata ini diambil dari kebiasaan pedagang yang menggelar dagangan sambil membungkus diri dengan sarung untuk menahan dinginnya angin dini hari. Pasar Kalimbu makin hari makin ramai hingga kemudian para pedagang tumpah ke jalan-jalan kecil ke arah Timur tempat pasar Terong sekarang berada.

Di tahun 1960an, kawasan yang sekarang menjadi kawasan pasar Terong masih berupa rawa-rawa yang tergenang air kala hujan datang. Awal pembangunan pasar Terong dimulai dengan kebakaran besar yang bermula di Jalan Kangkung, masih dalam kawasan pasar Terong sekarang. Singkat cerita kawasan bekas kebakaran itu oleh pemerintah kota disulap menjadi pasar yang baru. Rawa-rawa ditimbun dengan tumpukan sampah, tanah dan pasir. Kios darurat dibangun untuk mewadahi para pedagang yang selama ini berseliweran di sekitarnya.

Dari tahun ke tahun pasar ini terus mengalami perubahan. Pasar Terong juga makin ramai, bahkan mengalahkan “ibu kandungnya” pasar Kalimbu. Semakin ramai tentu semakin menarik perhatian, terutama untuk pejabat pemerintah kota. Tak elok rasanya pasar sebesar itu dibiarkan begitu saja, harus ada usaha untuk membuatnya terlihat rapi dan nyaman. Mungkin itu di kepala mereka.

Tahun 1996 dimulailah sebuah gebrakan besar mengubah pasar Terong dari pasar tradisional yang kumuh menjadi sebuah pasar modern berlantai empat. Luar biasa! Pemerintah kota waktu itu sampai harus studi banding ke Hawaii untuk mengadopsi model pasar tradisional di sana yang dicangkokkan begitu saja ke pasar Terong.

Salah satu sudut pasar Terong (foto: Makassarnolkm)
Salah satu sudut pasar Terong (foto: Makassarnolkm)

Dipaksa menelan pil dari Hawaii.

Megah, muda dan segar. Itulah penampakan baru pasar Terong. Tapi apa lacur, pasar yang megah itu tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Barang-barang kebutuhan dapur sehari-hari ditaruh di lantai 3 dan 4. Ibu-ibu malas mendaki ke lantai 3 dan 4 hanya untuk membeli segenggam cabai atau setangkai kangkung. Sementara itu di depan, pedagang kecil yang tak punya modal menyewa kios menggelar dagangan di halaman pasar atau sepanjang jalan sekitar pasar. Sudahlah, daripada naik tangga dan buang tenaga, mending beli di sini saja – begitu pikir ibu-ibu pembeli.

Jadilah pedagang kecil di luar pasar malah lebih ramai daripada mereka yang berjualan di dalam pasar. Resah karena pelanggan makin berkurang, para pedagang itu beramai-ramai keluar dari pasar dan menggelar dagangan di sepanjang jalan, berbaur dengan mereka yang sudah lebih dulu bertahan di sana. Gedung megah itupun perlahan jadi bangunan tua yang teronggok tidak terawat. Tak ada pedagang yang mau membayar uang sewa, toh mereka juga tidak mengambil manfaat dari gedung itu. Tak ada uang sewa berarti tidak ada uang yang bisa dipakai untuk memelihara gedung yang semakin hari semakin kosong itu.

Entah siapa yang paling tepat disalahkan dalam kasus itu. Toh para pedagang tidak pernah meminta untuk dibuatkan bangunan megah berlantai 4. Mereka hanya minta sebuah bangunan yang layak, bersih dan teratur untuk aktifitas mereka. Pemerintah kotalah yang merasa gaya pembeli di Hawaii cocok dengan gaya pembeli di Makassar. Padahal tidak.

Pedagang juga dipungut retribusi setiap bulannya. Jumlahnya tidak sedikit. Retribusi harusnya bisa dipakai untuk membenahi pasar yang mereka tempati sekarang. Minimal menjaga kebersihannya agar pengunjung tetap nyaman berbelanja. Tapi yang terjadi sebaliknya, pasar dibiarkan kumuh, penuh dengan kotoran, bau menyengat, rombongan lalat dan bahkan diberi kesan menakutkan karena penuh dengan preman dan pencopet.

Pasar tradisional di negeri ini memang seperti selalu dikorbankan. Selalu dibiarkan terkesan kumuh, kotor dan tidak aman. Berbeda dengan pasar yang dibangun oleh para investor berkantong tebal. Pasar yang dilengkapi pendingin ruangan, lantai mengkilap, etalasi mentereng dan troly yang lincah berkelebat kesana kemari.

Pasar Terong adalah bukti kejamnya pemerintah kota memperlakukan pasar tradisional (atau diistilahkan juga dengan pasar lokal). Denyut nadi warga yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu perlahan dienyahkan, diganti dengan pasar modern milik para investor. Ekonomi rakyat yang mengalir dengan pasar tradisional sebagai muaranya perlahan akan disumbat, tidak peduli bagaimana nasib mereka. Kapitalisme selalu membawa mimpi yang indah, mimpi yang dirasakan pas untuk menggantikan pasar tradisional yang kumuh di kota ini.

Dalam legenda bawang putih dan bawang merah, pasar Terong mungkin tepat berperan sebagai bawang putih. Dia disakiti, dihina dan dibiarkan bekerja keras tanpa pernah mendapat penghargaan. Berbeda dengan saudara barunya yang langsung mendapat perhatian dan kasih sayang berlebih.

Malang nian nasibmu wahai pasar Terong. [dG]

?

?