Hal-Hal Yang Saya Rindukan dari Makassar
Makassar bagaimanapun menyebalkannya karena macet atau banjir, tetap akan saya rindukan. Apalagi ketika sedang jauh.
SAYA TIDAK LAHIR DI MAKASSAR, lima tahun awal hidup saya dihabiskan di sebuah kota yang berbatasan langsung dengan Makassar. Namun, selepas itu seluruh hidup saya dihabiskan di kota yang dibangun oleh Belanda abad ke-16 ini. Saya tinggal di Makassar dan beraktivitas di kota ini. Meski sempat pindah tempat tinggal, kembali ke kota kelahiran, namun kegiatan saya sebagian besar dihabiskan di Makassar. Jadi bisa dibilang saya orang (kota) Makassar. Kota ini sudah menjadi bagian dari hidup saya hampir sebagian besarnya.
Saya pernah meninggalkan kota ini hampir setahun penuh ketika mencoba peruntungan di Jakarta. Namun, saya akhirnya kembali lagi dan hampir tidak pernah meninggalkannya dalam waktu lama. Sampai akhirnya jalan hidup membawa saya ke timur Indonesia, meninggalkan Makassar dalam waktu yang cukup lama.
Dalam rentang waktu itu, tiba-tiba saya sadar ada hal-hal yang sangat saya rindukan dari kota ini ketika jauh. Di balik semua hiruk-pikuknya yang kadang menyebalkan, lengkap dengan macet, banjir dan perilaku pengendaranya yang ugal-ugalan, kota ini tetap menyiratkan rindu yang kadang menyusup tanpa bisa dilarang.
Pertama, tentu saja saya rindu pada seseorang yang tinggal di kota ini. Seseorang yang bisa memberikan pelukan hangat dan ciuman membara. Soal ini tidak perlu saya jelaskan lebih jauh, kalian tentu sudah bisa menebaknya.
Kedua, makanannya. Sebagai orang yang tinggal dan beraktivitas di Makassar sejak kecil, makanan di kota ini sudah mendarahdaging dalam tubuh saya dan tentu saja akan selalu saya rindukan. Nasi goreng merah, mie kering, coto, konro, sop saudara, pallumara, pallubasa, bahkan hanya sayur bening dan ikan gorengnya. Semua kadang-kadang membuat saya begitu rindu ingin pulang.
Sekarang saya agak beruntung karena berada di Jayapura yang sebagian penduduknya adalah perantau dari Sulawesi Selatan. Untuk mendapatkan makanan dengan cita rasa SulSel bukan hal yang sulit. Banyak penjual coto, konro, pallubasa dan sop saudara dengan racikan yang hampir sama dengan racikan aslinya di Makassar.
Tapi, untuk beberapa makanan lainnya bukan hal mudah untuk ditemukan. Mie kering misalnya, di Jayapura saya belum berhasil menemukan pedagang mie kering yang rasanya sama dengan aneka varian mie kering di Makassar. Belum ada yang menyamai mie keringnya Mie Titi, Mi Cheng, Mie Anto atau mie-mie lain yang sama terkenalnya di Makassar.
Begitu juga dengan olahan ikan laut. Meski Jayapura berada di tepi pantai, tapi saya juga belum berhasil menemukan olahan ikan laut yang rasanya sama dengan di Makassar. Baik itu rasa ikannya maupun rasa sambalnya. Selama di Jayapura saya selalu merindukan ikan laut yang disajikan di Paotere. Itu sajian ikan laut favorit saya lengkap dengan sayur santan dan air jeruknya yang disajikan di gelas sebesar timba, ha-ha-ha-ha.
Mencari ikan bakar yang pas di lidah saja susah, apalagi sajian pallumara. Pallumara paling enak yang pernah saya temui malah di Timika. Ketika itu bersama pak Rara kami mampir di sebuah warung yang menyajikan pallumara khas Bugis-Makassar. Ketika makan, serentak pak Rara langsung berucap, “ini benar-benar kayak ikan pallumara di rumah!” Dan itu saya benarkan. Rasanya benar-benar seperti makan di rumah sendiri dengan sajian buatan ibu atau istri. Maknyus!
Baca juga: Pilihan Wisata Kuliner Makassar
Eh tapi saya masih beruntung ada di Jayapura sehingga mudah menemukan makanan khas Bugis-Makassa. Tidak seperti ketika merantau ke Jakarta. Ketika itu makanan yang paling banyak tersedia adalah makanan dari Jawa yang secara rasa sangat sulit saya terima di lidah. Berat badan saya pernah turun drastis kala itu. Karena jarang makan. Ckckckck.
Ketiga, teman-teman. Teman-teman di Makassar buat saya adalah obat paling mujarab untuk banyak “penyakit”. Ketika suntuk, bertemu dengan mereka bisa menghilangkan suntuk itu. Ketika sedang kehilangan motivasi, berkumpul bersama mereka bisa menumbuhkan motivasi baru. Ketika sedang tidak ada uang, berkumpul bersama mereka ya tetap saja membuat saya tidak punya uang.
Saya berteman dengan banyak orang-orang hebat di Makassar. Dari mereka yang sudah saya anggap guru karena senioritas dan kelapangan pengetahuannya, sampai mereka yang saya anggap sebagai adik-adik yang luar biasa karena prestasinya.
Di saat santai saya bisa bercanda ria dengan mereka, sementara di saat tertentu saya bisa berdiskusi ringan dengan mereka, misalnya tentang peran para jomblo dalam peningkatan ketahanan pangan nasional, atau posisi para jomblo dalam perencanaan dan tata kota. Pokoknya diskusi apa saja yang walhasil memberi wacana dan wawasan baru. Saya tidak pernah berhenti belajar ketika bertemu dengan mereka.
Baca Juga: Tahun-tahun Penting Dalam Sejarah Arsitektur Kota Makassar
Di Jayapura saya belum bertemu dengan teman-teman yang sama. Ada sih satu orang teman yang bila sempat bertemu akan juga memberi wawasan baru, utamanya di sisi sejarah dan militer. Tapi kami jarang bertemu karena kesibukan. Di Jayapura, rotasi hidup saya lebih banyak berputar di kerja, makan, kosan, tidur. Sejauh ini masih menyenangkan, meski tentu saja saya merindukan teman-teman di Makassar.
Jadi, seberapa pun kota ini semakin macet, panas dan ramai, saya akan tetap merindukannya. Kota yang selalu mengetuk pintu hati saya untuk kembali pulang. [dG]
Saya lupa kalau yang menulis ini Daeng Ipul, karena saya cuman klik tautan yang ada tanpa perhatikan dulu siapa yang tulis.
Maka saya takjub dengan pemilihan kata dan cara bertuturnya enak dibaca, pas scroll pi ke bawah kudapat foto ta, yaaampyuun haha, emak-emak siwer XD
Btw, saya setuju dengan ini “Makassar bagaimanapun menyebalkannya karena macet atau banjir, tetap akan saya rindukan. Apalagi ketika sedang jauh”.
Hahahaha belum makan siang kapang eee
Wahahahah kejar setoran, daeng…
Saya pernah meninggalkan kota ini nyaris sembilan tahun dan saya sangat setuju soal kulinernya. Tidak mudah untuk melenyapkan rasa yang telah membekas di lidah. Ketika saya kembali, hanya butuh nyaris dua bulan untuk membuat bobot badan naik drastis. Makassar, tempat dimana diet adalah fantasi belaka.
Iya. Kalau makanan sudah soalnya karena soal perasaan hahaha
Haha. betul itu daeng. Waktu di Papua itu cari makan pedas ala Bugis Makassar, MUDAH tapi MAHAL.
Tapi tra dapa tahan kalau su lapar. Asal pero’ kenyang dolo, menyesal kemudian.
Iya di Jayapura juga begitu. Banyak ji makanan Bugis-Makassar, tapi yaaa gitu deh. Harganya juga yahud
Saya bisa mengklaim bahwa yang dimaksud pada bagian pertama itu adalah saya? ?
Terserah kita ji sayang
Point penting “merindu” yuhuuuu saya juga kak kemnaapun itu, mau liburan keluar negeri, atau hanya domestik pasti tidak sabar untuk pulang. Terlebih untuk makanannya ya :’ yg ku terbiasa memakai jeruk nipis walau hanya makan nasi goreng haha. Mungkin krn makassar sudah seperti rumah, dimana tempat untuk selalu kembali :”
Poin pertama itu… Eh nganu… Ehm.
Pelukan hangat ok lah ya, tapi ciuman membara… Ah! Tak bisa kubayangkan… ??
Hahaha masak sihhhh?
Makassar adalah kota yang selalu dirindukan. Sebagai orang yang lahir dan besar di Makassar, tentunya tidak mudah meninggalkannya dalam waktu lama. Rindu… Pulang….
Saya teringat akan sebuah pepatah yang mengatakan, Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri. Meskipun makmur dan mewah hidup di negeri orang, negeri sendiri tetap yang paling baik.
” … sampai mereka yang saya anggap sebagai adik-adik yang luar biasa karena prestasinya.”
Pasti Saya salah satunya, toh, Daeng?
#dilemparpalumara
Samaaa, saya juga selalu rindu Makassar. Saya pernah merantau hampir 3 tahun, selaluku terkenang Makassar. Sama makanannya, udaranta, tanahnya, suasananya …. Sekarsng pun walau kemacetannya menyebalkan, rasanya saya tidak ingin pindah ke kota lain.
Padahal saya hanya numpang lahir dan besar di sini. Mama dan bapakku orang perantauan. Tapi saya berasa orang Makassar.
Hahaha kita bukan adik-adik, tapi kakak senior yang bisa ditimba ilmunya
Mari kita cess dulu kakak! Sebagai (mantan) perantau, saya akui makanannya Makassar betul-betul bikin ka rindu selama merantau. Apalagi dulu merantaunya di Bandung. Emang sih makanan Bandung enak2 tapi nda ada bisa kalah Mie Titi/Mie Awa, Kapurung, lombok rica2nya Mas Daeng, Bakso Atiraja, bahkan sampai lombok kuningnya Atiraja kurindukan??? nda cocok betulka makanan Jawa karena manis2 baru saya terbiasa makanan pedas…
Tull! Hahaha
Masalah dengan masakan Jawa ya karena rasa manisnya itu, jauh beda sama makanan kita
Asiik ? sesekali pulang lah kak dan berbagi ilmu serta pengalamannya di Jayapura ?
Hahaha ini lagi di Makassar 1 bulan lebih
Saya pernah tinggalkan Makassar 2 tahun, tapi nda serindu itu ji mau pulang hahahha mungkin berbeda kondisinya kalau sekarang ka pergi merantau 😀
Dulu masih muda, jadi memang maunya cari pengalaman. Coba sekarang? Hahaha
Wah memang kalau jauh dr makassar itu bikin kangen yah kak?. Saya lahir di Makassar, tp pas Masuk SD sy udh dibawa tinggal di luar kota, pernah dijawa,dan Paling lama di samarinda. baru aja balik 2 tahun yang lalu kesini. Waktu diluar Makassar, saya selalu rindu tentang Makassar, tak banyak yg sy ingat krna masih terlalu kecil. Tp yg pling sy rindukan itu Logat, dan Makanannya??
Dimanapun kaki berpijak, tapi lidah tidak bisa bohong…cuma makassar kulinernya enak-enak kak.
Iya enak buat kita orang Makassar, tapi buat orang Jawa belum tentu hahaha
Ke manapun kita melangkah, pada akhirnya kampung halaman lah yang dirindukan untuk kembali. Hehehehhehe
Itu sudah hahaha.
Kampung halaman is the best pokoknya