Pikiran

Bangga Dengan Gratisan

Ilustrasi (sumber: Kompasiaia)
Ilustrasi (sumber: Kompasiaia)

Banyak dari kita yang masih mencari cara supaya bisa masuk stadion tanpa harus membeli tiket, atau menonton gelaran musik tanpa mengeluarkan uang. Kadang kita malah bangga ketika bisa melakukan itu semua.

Sekisar tahun 2000, kala itu PSM berhasil menembus babak semi final Liga Indonesia dan bermain di Gelora Bung Karno. Saya dan beberapa teman dari Makassar kebetulan sedang mengadu nasib di Jakarta waktu itu dan kesempatan ini tidak kami sia-siakan. Berangkatlah kami ke GBK untuk menonton langsung aksi tim kesayangan kami. PSM menang dan berhasil masuk final.

Keesokan harinya di kantor terjadi perbincangan seru dengan sesama pekerja dari Makassar tentang pertandingan kemarin. Topiknya tentu saja sekitar keberhasilan PSM masuk final dan kemungkinan PSM menjadi juara musim itu. Di sela-sela perbincangan datanglah kawan lain, sesama orang Makassar.

“Kemarin kalian nonton di stadion ya? Saya juga, dan saya bisa masuk tanpa bayar! Pakai bantuan polisi yang jaga, hehehe.” Katanya dengan nada penuh bangga.

Saya dan teman-teman lain yang sama-sama datang ke stadion sehari sebelumnya saling melemparkan pandangan. Ternyata pikiran kami sama: bisa masuk tanpa bayar koq bangga?

Teman saya yang terakhir ini tentu tidak sendirian di republik ini. Dia hanya salah satu dari sekian banyak orang yang selalu bangga kala berhasil masuk ke stadion dan menonton tim kesayangannya tanpa mengeluarkan sepeser uangpun. Kalaupun harus mengeluarkan uang, jumlahnya tidak sebanyak kala membeli tiket resmi karena tentu saja jalurnya juga tidak resmi.

Berkali-kali saya menyaksikan praktek seperti ini. Di stadion Mattoangin, Makassar kita bisa menemukan para supporter yang memanfaatkan celah kecil untuk bisa masuk stadion tanpa harus membeli tiket. Beberapa di antaranya bahkan rela memanjat dan mempertaruhkan nyawanya hanya demi bisa masuk stadion tanpa bayar. Sisanya ada yang memanfaatkan kenalan anggota keamanan yang kebetulan berjaga. Anggota keamananpun kadang memanfaatkan situasi ini dengan memberi tawaran: bayar dengan harga miring dan saya akan mengawal kamu ke dalam.

Situasi ini berbeda dengan situasi di Eropa, benua yang jadi Mekkah-nya sepakbola. Di sana para penonton sangat bangga kala berhasil mengantongi tiket pertandingan tim kesayangannya, semahal apapun itu. Mereka akan merasa sebagai salah satu faktor yang membuat tim kesayangan mereka tetap bisa tampil, tentu dari lembaran uang yang mereka habiskan untuk memberi tiket. Tiket itulah yang membuat para supporter merasa ikut memiliki klub dan berani mati demi klub yang mereka bela.

Kondisi di Indonesia sedikit berbeda. Banyak orang yang mengaku mendukung satu klub, mengaku rela mati demi klub pujaan mereka itu. Tapi ketika klub mereka menggelar pertandingan, usaha pertama yang dilakukan adalah mencari cara untuk bisa masuk ke stadion dengan gratis atau minimal menyogok petugas dengan harga yang tentunya lebih murah dari harga tiket resmi. Jadilah stadion memang penuh, tapi jumlah tiket yang didapat tidak seperti yang terlihat.

Dalam kasus berbeda hal yang sama juga terjadi. Sekira seminggu yang lalu dalam acara Panggung Dalam Bingkai yang berisi pameran foto panggung oleh 2 orang fotografer panggung Makassar terjadi obrolan singkat tentang perkembangan dunia musik di Makassar. Kala itu hadir Iko Md, salah seorang pekerja seni belakang panggung yang sudah lama mengikuti perkembangan skena musik di Makassar.

Ada sebuah fenomena menarik yang sempat diceritakannya. Sebuah band Bandung berniat menggelar sebuah konser. Dalam waktu singkat tiket konsernya sold out atau terjual habis, hebatnya lagi karena ditengarai 70% dari tiket yang terjual habis itu dibeli oleh anak band atau mereka yang juga aktif dalam komunitas musik di Bandung.

Iko membandingkannya dengan kondisi musik di Makassar di mana sebuah pertunjukan musik seringkali kesulitan menghabiskan tiket. Tapi bukan itu yang jadi sorotan utama, ada hal lain yang dibincangkan Iko malam itu. Hal lain itu adalah banyaknya teman-teman band penampil yang kasak-kusuk mencari cara agar bisa masuk ke arena konser dengan gratis.

Membandingkan kedua kondisi di atas tentu menimbulkan satu kesan berbeda. Mendukung teman bukan hanya dalam bentuk hadir secara fisik di konser mereka, tapi juga memberi dukungan dalam bentuk materi yang bisa mereka jadikan bahan bakar untuk terus hidup dan berkarya. Mustahil band bisa terus hidup tanpa makan, dan untuk makan mereka juga butuh uang. Membeli tiket konser mereka adalah salah satu cara. Klub sepakbola juga begitu, mereka butuh uang untuk terus bisa bermain memuaskan para supporter. Tiket adalah salah satu cara mereka mengumpulkan uang.

Anyway, sepanjang saya menuliskan artikel ini saya merasa berkaca. Orang-orang yang saya sebutkan di atas bisa jadi adalah saya sendiri. Memang saya belum pernah masuk stadion tanpa membawa tiket resmi, tapi kalau ada yang menawarkan tiket gratisan tentu saya tidak menolak. Sayapun masih sering mencari cara untuk bisa masuk lokasi konser band lokal tanpa harus membeli tiket, dan saya juga masih sering mencari tautan unduh lagu-lagu band kesayangan saya meski saya selalu mengaku sangat mendukung dan mencintai mereka.

Jadi buat Anda yang senang mencari gratisan, tak usah khawatir karena sayapun masih seperti itu. Tapi, saya tidak bangga dengan itu! Saya malah bangga kalau saya bisa mendukung tim sepakbola, band kesayangan saya dan band teman saya dengan materi yang saya punya. [dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (1)

  1. saya juga senang dengan yang gratisan….., tapi bukan sengaja masuk dengan gratis ..apalagi dibantu pihak keamanan…., …. 🙂

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.