Musik

Tanpa Musik, Kematian Akan Lebih Menyakitkan

Poster Musik Atau Mati

Musik atau mati, terdengar provokatif dan sedikit bombastis. Tapi itulah nama yang dipilih Slemmersindo – salah satu EO terbesar di Makassar – untuk pagelaran mereka di awal bulan Oktober ini.

Saya dan tiga orang teman baru saja meninggalkan areal parkir motor Trans Mall Makassar menuju tempat digelarnya acara Musik Atau Mati ketika terdengar intro lagu Jeremy-nya Pearl Jam. Saya tahu itu pasti perbuatan Cupumanik. Band yang memang terkenal sebagai pengusung aliran grunge di Indonesia.

Ah, telat! Pikir saya. Jeremy sudah berlalu ketika kami sudah berada di dalam are konser, tepat di depan panggung satu. Entah sudah berapa lagu yang sudah selesai digeber oleh komplotan yang dipimpin oleh Che itu. Penonton belum ramai, mungkin juga karena tidak banyak orang kenal Cupumanik. Aliran grunge memang sudah lama turun panggung setelah sempat menjadi primadona di awal hingga menjelang akhir 90an.

Cupumanik
Grunge harga mati!!

Che masih terus bernyanyi dengan ganas. Tiga hari sebelumnya dia baru saja menyambangi kota Makassar dengan band sampingannya, Konspirasi. Che seperti biasa, kritis dan apa adanya. Termasuk menyebut-nyebut tentang ?politik dan perseteruan polisi vs KPK yang sedang hangat. Tapi itulah Che, itulah grunge yang memang kritis dan apa adanya.

Che dan Cupumanik menutup penampilan mereka dengan tembang Grunge Harga Mati. Malam belum panas.

Rocket Rocker

Selanjutnya panggung dua yang meledak. Rombongan band asal? kota Bandung, Rocket Rocker memeriahkan malam yang baru saja turun itu. Suasana makin menghangat. Rupanya banyak anak muda yang menantikan band ini. Sayang saya tidak kenal satupun dari lagunya. Tapi band ini menurut saya cukup menghibur. Mereka pandai menjaga interaksi dengan penonton melalui joke-joke yang up to date. Sayangnya, suasana belum panas, penonton masih malu untuk bergoyang.

Bergoyang Ska Bersama Shaggy Dog

Malam itu bersama Lelaki Bugis saya menantikan aksi Gugun Blues Shelter yang kami kira akan tampil setelah Rocket Rocker. Kami beranjak ke panggung satu. Musik atau Mati memang menempatkan dua panggung yang berdiri berjejer yang diisi bergantian oleh para penampil. Di depan, para penonton disekat oleh pagar-pagar besi sehingga mereka harus berlarian memutar ke belakang untuk bisa pindah ke panggung sebelah.

Ternyata kami salah. Yang sedang bersiap di panggung satu adalah Shaggy Dog. Band ska dari Jogja. Tak apalah, saya tetap bertahan di depan panggung satu sambil berusaha menikmati aksi Rocket Rocker di panggung sebelah. Beruntung karena mereka sempat membawakan lagu Samalona dari mendiang Imanez. Saya ikut berdendang setelah lebih dari 30 menit tak ada satupun lagu mereka yang akrab di kuping saya.

Penonton di depan panggung satu perlahan mulai menyemut ketika Rocket Rockers sepertinya sudah akan mengakhiri penampilannya. Beberapa anak muda berdandan a la anak ska merapat ke pinggir pagar. Saya bersiap dengan kamera di tangan.

Shake your body doggies!

Akhirnya yang ditunggu tiba. Heru sang vocalis yang malam itu tampil berkemeja dengan cepat memompa adrenalin para penonton. Sebagian penonton mulai berjoget a la anak ska dengan kaki dan tangan yang digerakkan bergantian seperti orang berlari. Malam makin panas.

Heru cukup pandai berinteraksi dengan penonton, gayanya ramah dan selalu tersenyum. Sikap ramahnya ini membuat penonton tak ragu untuk ikut bergoyang dengan penuh semangat. Heru bahkan sempat mengabadikan kegilaan penonton dengan kamera dari iPhone-nya. Dan kegilaan pecah ketika Shaggy Dog memainkan intro lagu Sayidan. Penonton bersorak riang, lagu ini memang salah satu hits dari Shaggy Dog.

Ketika Sayidan dibawakan, saya sudah ada di depan panggung dua. Siap menantikan Gugun Blues Shelter. Tepat ketika Shaggy Dog pamit, lampu panggung dua menyala. Seorang lelaki kaukasia dengan rambut semi mohawk naik ke panggung. Teriakan penonton menyambutnya. Disusul kemudian seorang lelaki lain berambut gondrong keriting yang menutupi hampir semua wajahnya. Yah, merekalah Gugun Blues Shelter.

Aksi Tingkat Dewa dari Gugun

Sekitar setahun belakangan ini saya sudah sering mendengar nama mereka meski belum pernah melihat langsung penampilannya. Malam itu saya menyaksikan sendiri kegilaan seorang Gugun yang begitu piawai memainkan gitarnya dengan melodi blues yang menyayat. Saya tidak terlalu mengenal genre musik ini, tapi sayatan gitar Gugun membuat saya mengingat beberapa lagu dari sang dewa gitar Jimi Hendrixx. Luar biasa!

Gugun memang gilak!

Sayangnya Gugun sang vocalist ternyata bukan seorang musisi yang pandai menjalin komunikasi dengan penonton. Dia hanya menyapa seperlunya, itupun dengan kalimat yang tidak tertata rapi. Beruntung ada Jono, sang lelaki kaukasia yang diteriaki penonton sebagai: bule gila! Jonolah yang mampu menghibur penonton dengan aksinya yang mengundang tawa. Gugun mungkin merasa cukup dengan permainan gitar tingkat dewanya, sehingga urusan menghibur di bagian lain diserahkan ke Jono.

Mari Bergoyang Hip Hop

Dan kemudian malam makin memanas. Dari panggung dua, penonton berlarian dan merapat ke panggung satu. Bondan & Fade To Black siap menghangatkan malam. Intro dari lagu pembuka mereka mampu memompa adrenalin penonton. Dengan cepat penonton bernyanyi dan bergoyang bersama anak muda yang dulu terkenal dengan lagu Lumba-Lumbanya ini. Musik hip hop yang dibawakan Bondan& Fade to black sangat sayang dilewatkan tanpa bergoyang.

Bondan dan Fade To Black juga pandai menjalin interaksi dengan penonton, termasuk dengan menyelipkan beragam humor dan joke di atas panggung. Malam makin panas, saya beringsut keluar dari kerumunan penonton menuju panggung dua. Mencari posisi paling tepat di barisan depan.

Yo..yo whazz up brada?

Tujuan utama saya tentu saja band penutup, Sheila On Seven. Band asal Jogja yang bisa dibilang paling sepuh di antara band tamu malam itu sudah lama saya nantikan. Sebagai orang yang mencicipi masa remaja di tahun 90an, banyak lagi dari Sheila On Seven yang mengguratkan kenangan.

Dan ternyata bukan cuma saya yang menantikan Duta cs. Bondan & FadeTo Black belum menyelesaikan aksinya ketika panggung dua sudah mulai padat meski lampunya masih padam. Begitu Bondan dan kawan-kawan pamit undur diri, penonton berteriak kencang! Mereka rupanya sudah tidak sabar menantikan Duta cs naik ke panggung.

Saya berada di antara anak-anak muda usia 20an. Di samping saya malah ada segerombolan anak-anak muda yang membawa bendera Sheilagank, sebutan untuk fans Sheila On Seven. Buat saya ini mengagumkan, band seumuran Sheila On Seven ternyata masih bisa menarik animo anak-anak muda usia 20an yang mungkin masih ingusan ketika pertama kali Sheila On Seven melepas album mereka.

Dan malampun pecah!

Eros baru memainkan intro lagu Sahabat Sejati, ratusan orang melompat dan berteriak gembira. Selanjutnya mereka kompak menyanyi bersama hingga saya merasa suara Duta tenggelam. Saya beruntung berada di tengah kerumunan Sheilagank sehingga bisa merasakan atmosfir yang menggetarkan. Mereka semua bernyanyi sepanjang konser, sesekali melompat dengan riang meski peluh membasahi tubuh mereka.

Luar biasa!

Duta masih kurus seperti dulu, dan masih saja mampu membuat para fansnya berteriak histeris. Dia pandai menjalin komunikasi dengan para fansnya. Sesekali dengan gaya yang konyol dia membuat para penonton tertawa dan kemudian berteriak histeris. Duta, Eros dan Adam – tiga anggota asli Sheila On Seven – terlihat masih punya chemistry yang kuat.

Kita berlari dan terus kan berlari…

Dan malam itu diakhiri dengan single Melompat Lebih Tinggi. Pilihan yang pas yang mampu membuat para penonton melompat sepanjang lagu. Pungkas sudah keriuhan hari itu. Sayang saya tidak sempat menyaksikan band-band lokal yang main di sore hari.

Musik atau mati! Sebuah pilihan kalimat yang provokatif memang, tapi setidaknya kalimat itu menggambarkan realita sebagian besar dari kita. Musik adalah sahabat dekat manusia, bahkan musik mungkin akan mengiringi kematian sebagian orang.

Tanpa musik, kematian mungkin terasa lebih menyakitkan.

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (7)

  1. Pecah ketika SO7, wah ketahuan deh Daeng angkatan berapa!
    😀 hihihi
    Nampaknya pertunjukan-pertunjukan musik di Indonesia sekarang makin menggeliat ya?
    Yeay!

    • iPul dg.Gassing

      bwahaha…sembarangan 😛
      etapi di sekitar saya banyak anak2 umur 20an lho..
      keren emang nih Sheila

  2. Sedap! Asyik kan nonton konser pindah2 panggung? Gemporrr!!!

  3. jangan salah k, Sheila Gank itu bisa dibilang salah satu fanbase yg cukup loyal dan solid…banyak anak umur 20an, pastinya..karena mereka tumbuh bersama lagu2nya Sheila on 7, Sheila on 7 itu..soundtrack kehidupan mereka waktu ABG, salah satu teman saya malah termasuk pendirinya Sheila Gank Makassar dan msh aktif sampai sekarang

    Wew, Makassar akhir2 ini banyak event keren, pengen hijrah kembali ke Makassar jadinya =_=

    • iPul dg.Gassing

      iya..keren!
      gap antara saya dan para penggemar Sheila malam itu cukup terasa..hihihi

  4. ternyata Sheilagank ki’ juga daeng? Kontras dengan Pearl Jam… hehehe

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.