Internet

Karena LINE Fadhli Dibui

LINE behind bars
LINE behind bars

Hati-hati dengan ucapanmu. Kalimat itu pasti akan membekas dalam hati Fadhli Rahim, pria 33 tahun asal kota Sungguminasa, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan. Pria yang sehari-harinya berdinas di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Gowa ini tersandung masalah hukum karena ucapannya di sebuah grup chatting LINE.

Alkisah, di sebuah grup chatting LINE yang isinya hanya 7 orang alumni SMA 1 Sungguminasa, Fadhli mengeluarkan ucapan yang bernada menuduh. Dalam ucapannya Fadhli menuding bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo yang juga adik kandung gubernur Sulawesi Selatan sebagai oknum yang rajin mengutip fee dari para investor. Kata Fadhli, kebiasaan pak bupati ini membuat banyak investor enggan menanamkan modalnya di Kabupaten Gowa, jadinya kabupaten yang berbatasan langsung dengan Makassar ini tidak berkembang.

Ucapa Fadhli ternyata berbuntut panjang. Salah seorang dari anggota grup chatting itu sempat memperingati Fadhli, tapi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Adalah seorang wanita bernama Hasni yang kemudian ditengarai meneruskan ucapan Fadhli di grup chatting itu ke bupati Gowa yang juga atasannya. Ucapan dalam grup tertutup yang seharusnya tidak keluar ke publik itu akhirnya membuat bupati Gowa berang dan dengan cepat mengambil tindakan.

Hanya selang sehari setelah Fadhli diminta menghadap ke pak Bupati (meski tidak jadi bertemu), tanggal 7 Mei 2014 Fadhli sudah menerima sanksi penuruan pangkat dari III/b ke III/a. Saat itu mungkin dia mengira kalau kasusnya akan berhenti sampai di situ. Penurunan pangkat yang kata seorang teman PNS tidak sesuai prosedur itu adalah pukulan telak untuk Fadhli. Saya yakin saat itu dia pasti sudah menyesali tindakannya.

Tapi ternyata derita Fadhli tidak berhenti sampai di situ saja. ?24 November 2014 atau selang 6 bulan setelah penurunan pangkatnya, Fadhli ditahan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kasus ini ternyata berlanjut. Fadhli disangkakan melanggar Pasal 310 KUHP jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara atau denda 1 miliar rupiah. Sampai sekarang Fadhli sudah menjalani 6 kali persidangan sejak 18 Desember 2014.

Senin 26 Januari 2015 sidang Fadhli kembali ditunda karena saksi pelapor bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo masih belum bisa hadir. Ada kabar yang mengatakan kalau beliau enggan hadir kalau bukan atas perintah presiden. Entah kabar ini benar atau tidak.

Pantaskah Fadhli Dibui?

Kasus Fadhli ini dalam catatan SAFENET masuk sebagai kasus ke 74 yang terkait dengan UU ITE atau kasus ke 34 di tahun 2014 saja. Sebagian besar kasus memang berakhir dengan ketidakjelasan dan setidaknya hanya dua yang divonis bebas (Prita Mulyasari di Jakarta dan Muhammad Arsyad di Makassar). Beberapa kasus lainnya berakhir dengan penderitaan bagi si terlapor meski belum ada yang menanggung hukuman maksimal selama 6 tahun atau denda 1 miliar.

Menjadi pertanyaan bagi banyak orang, pantaskah Fadhli dibui karena ucapannya?

Dalam kasus ini saya tidak bilang Fadhli benar 100%, karena bagaimanapun menuduh pejabat negara mengambil sesuatu yang bukan haknya adalah tuduhan serius yang harus dibuktikan dengan data yang kuat. Orang bisa saja bilang kalau itu adalah rahasia umum, tapi sepanjang tidak ada bukti maka tuduhan itu tetap saja dianggap sebatas tuduhan. Fadhli tidak bisa membuktikannya, dan karenanya apa yang dia ucapkan tetap dianggap sebagai sesuatu yang tidak benar.

Tapi, memenjarakan Fadhli karena ucapannya di ruang tertutup juga bukan sesuatu yang bijak menurut saya. ?Saya yakin sebagian besar dari kita pernah melakukannya, menggunjingkan pejabat publik dalam ruang yang tertutup yang hanya dihadiri segelintir orang saja. Menggunjingkannya bisa sekadar menggunjingkan kinerja mereka sampai pelanggaran-pelanggaran atau malah kehidupan pribadi mereka. Tapi selama masih dilakukan di ruang tertutup saya kira kita masih bisa menerimanya.

Akan berbeda kalau misalnya tuduhan-tuduhan atau gunjingan-gunjingan itu dilakukan di ruang publik, ruang dimana banyak orang bisa mengaksesnya, membacanya dan mungkin menyebarkannya. Apalagi kalau kita tidak bisa menyertakan bukti yang mendukung tuduhan kita.

Pejabat publik dalam bayangan saya harusnya adalah orang-orang dengan tingkat intelektualitas , psikologi dan emosi yang lebih mapan dan matang dari sebagian besar kita rakyat biasa. Tuduhan seperti itu tidak perlu memancing reaksi berlebihan dari mereka. Kinerja mereka yang akan jadi bukti ketidakbenaran tuduhan atau gunjingan itu. Pejabat publik juga punya akses lebih besar ke media massa, tempat dimana mereka bisa memuat bantahan mereka atas tuduhan-tuduhan itu. Tak perlu sampai memenjarakan si pelaku.

Sampai sekarang saya masih belum habis pikir, kenapa Fadhli sampai harus diseret ke meja hijau? Ucapannya hanya dilakukan di ruang tertutup dengan 6 orang lainnya sebagai saksi. Kalau tak ada si Husni yang meneruskannya maka obrolan itu tidak akan keluar ke publik, tak akan ada yang tahu. Toh kalau memang pak bupati tidak salah orang tentu akan bisa menilainya sendiri.

Sebagai abdi negara Fadhli juga sudah menerima hukuman administratif berupa penurunan pangkat. Ibunya yang juga seorang abdi negara juga sudah terkena imbasnya, dipindahtugaskan ke sebuah daerah yang berjarak sekisar 40km dari rumahnya. Hukuman-hukuman itu sudah cukup untuk menimbulkan efek jera pada Fadhli, tak perlu lagi meneruskannya hingga ke meja hijau.

Menyeret Fadhli ke meja hijau akan disangka sebagai sebuah bentuk represif dengan tujuan menimbulkan rasa takut. Saya yakin setelah ini memang akan lebih banyak warga yang takut mengkritik pemimpinnya, bukan segan tapi takut. Kalau ditarik ke belakang, apa yang menimpa Fadhli ini buat sebagian orang dimasukkan dalam kategori usaha mengekang kebebasan berekspresi. Sebuah usaha yang bisa menimbulkan efek jeri bagi warga lainnya.

Apa yang terjadi pada Fadhli buat saya sangat disayangkan. Fadhli memang salah, tapi reaksi atas kesalahannya adalah sesuatu yang berlebihan dan kontra produktif. Sayang sekali kalau menjelang akhir masa jabatannya bupati Gowa akan dikenang sebagai pejabat yang pernah memenjarakan warganya, bukan sebagai pejabat yang dicintai rakyatnya.

Semoga saja kisah ini akan berakhir baik untuk semua, bukan hanya buat Fadhli tapi juga buat bupati Gowa dan semua kita yang mendambakan kebebasan berekspresi. [dG]

Baca tulisan Perjalanan PSN Gowa mengkritik Bupati

 

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (1)

  1. sedih sekali bro. tak seharunya berujung seperti ini.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.