Perjalanan

Menanti Sunset Di Tanjung Bara

pantai bara
Matahari yang pulang

 

Tak banyak yang tahu Pantai Bara Bulukumba, pantai yang masih sepi dan susah dijangkau.

Kalau mendengar pantai Bira, orang mungkin sudah langsung tahu. Bagaimanapun pantai di kaki pulau Sulawesi ini sudah lumayan terkenal sebagai salah satu tujuan wisata di Sulawesi Selatan. Saking terkenalnya sampai-sampai dulu pantai ini dijadikan latar sebuah sinetron berjudul : Lelaki Dari Tanjung Bira yang dibintangi Desy Ratnasari.

Tapi ketika menyebut Pantai Bara Bulukumba, mungkin tak banyak orang yang tahu. Mungkin orang bahkan mengira kita salah menuliskan pantai Bira. Salah menulis hurud A yang seharusnya huruf I.

Tapi tidak, pantai ini memang ada. Letaknyapun tak jauh dari Pantai Bira yang sudah terkenal itu. Begitu memasuki kawasan wisata pantai Bira kita bisa langsung berbelok ke kanan ke sebuah jalan kecil yang tak rata dan berbatu. Jalan selebar sekitar 2,5 meter itu diapit tumbuhan liar serupa hutan. Bahkan jika beruntung kita bisa berjumpa binatang liar seperti babi hutan atau kera yang melintas.

Jalan berbatu yang tak rata serta tumbuhan liar di kanan-kiri jalan memang praktis menyembunyikan pantai yang berjarak sekitar 2 km dari pantai Bira ini. Tak ada kendaraan umum yang bisa digunakan menuju ke sana. Kalau tak menumpang kendaraan sendiri kita bisa mencegat kendaraan yang kebetulan menuju ke pantai Bara Bulukumba, meski memang waktunya tak pasti.

Beberapa ratus meter setelah menempuh jalan tanah yang berbatu serta pepohonan yang rindang di kanan-kiri kita akan menemukan pemandangan tak biasa. Pemandangan yang terlihat kontras dengan suasana sekitar yang terasa masih terpencil.

Belasan bangunan permanen berdiri tak beraturan. Ciri khasnya sama, di depan bangunan-bangunan itu ada logo minuman keras serta lampu kerlap-kerlip. Itulah pusat hiburan malam di pantai Bara. Isinya adalah cafe dan tempat karaoke yang juga menyediakan perempuan-perempuan sebagai teman bernyanyi atau sekadar menikmati berbotol-botol minuman keras.

Lelaki Bugis yang sudah pernah melakukan penelitian di tempat itu bercerita bagaimana tempat itu selalu ramai ketika malam tiba, utamanya di malam minggu. Pengunjungnya sebagian besar dari kota Bulukumba, selebihnya adalah pelancong dari pantai Bira dan supir truk antar daerah. Kabupaten Bulukumba memang telah menerapkan syariat Islam seperti di Aceh, karenanya peredaran minuman keras dan lokalisasi sangat dijaga ketat utamanya di dalam kota Bulukumba. Sebagai gantinya pemda menyiapkan satu tempat khusus untuk urusan seperti itu dan terpilihlah pantai Bara sebagai tempatnya.

Baca tulisan Lelaki Bugis di sini: http://lelakibugis.net/dentum-dalam-sunyi-pantai-bara/

Kami hanya melintasi pusat hiburan malam itu. Tujuan kami memang pantai Bara Bulukumba yang katanya terpencil dan menyajikan pemandangan luar biasa itu. Tak salah kalau memang pantai itu jarang dikunjungi orang. Jalan ke sana lumayan berat dan tidak terjangkau kendaraan umum.

Menjelang tiba di pantai Bara Bulukumba ada rumah-rumah panggung yang tak terurus. Konon bangunan ini dulunya disiapkan sebagai bungalow untuk para turis, tapi karena perkembangan infrastruktur yang lambat hingga bangunan tersebut tak terisi hingga akhirnya tak terurus.

Dan kemudian tibalah kami di satu sisi Pantai Bara Bulukumba. Mobil harus diparkir agak jauh karena pantainya memang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Ada beberapa bungalow yang berdiri di sekitar pantai, salah satunya menggunakan gaya mediterranian dan masih dalam proses pengerjaan. Harga untuk menginap di bungalowitu juga lumayan mahal. Satu bungalow disewakan seharga Rp. 900.000,-untuk maksimal 2 orang. Lebih dari itu akan kena tambahan biaya. Untuk kantong turis lokal, harga seperti itu tentu tergolong mahal.

pantai bara bulukumba
Mereka yang menanti sunset
pantai bara bulukumba
Mencari tempat yang sepi

 

Di depan kami kemudian terhampar pantai yang sepi, berpasir putih, berombak tenang dan berair jernih. Dua orang perempuan asing tampak asyik menikmati air laut, sementara di sisi yang berbeda seorang lelaki berkulit putih dengan pakaian renang bercakap-cakap dengan seorang lelaki lokal. Mereka pasti orang asing yang memang sengaja mencari suasana pantai yang terpencil dan jauh dari hiruk pikuk.

Kami bercengkerama di bibir pantai. Menikmati deburan ombak dan angin laut yang membuai. Kami memang tak hendak berenang, hanya menantikan sunset saja. Sayangnya karena pantainya menghadap ke barat laut sehingga matahari yang beranjak pulang tak berada tepat di depan kami.

Matahari yang tenggelam ada di sebelah kanan kami, perlahan bersembunyi di balik bukit. Meski tidak berada tepat di depan kami, tapi sensasi mentari yang pulang tetap nyaman untuk dinikmati. Tidak sia-sia rasanya kami menempuh perjalanan panjang melewati jalan berat dan hutan kecil di kanan-kiri.

Setelah mentari benar-benar telah kembali, barulah kami beranjak. Kembali meniti jalan panjang yang tak rata itu. Di tengah jalan kami masih sempat melihat seekor babi hutan melintasi jalan kami. Dentuman musik dan kerlip lampu dari pusat hiburan malam di pantai Bara mulai mengisi malam. Beberapa perempuan berpakaian seksi duduk di depan cafe dan tempat karaoke. Tanda kalau malam benar-benar akan segera bergulir.

Baca kisah kapal pesiar kayu seharga 6.5M di sini

Sebuah pengalaman yang luar biasa, menikmati matahari senja di pantai yang masih tak tersentuh. Mungkin suatu saat kami masih akan kembali ke sana. Karena pantai Bara memang pantas untuk dirindukan.

 

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. bungalownya mahal daeng 🙂

  2. Kampongg ku ini odongkk

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.