Pikiran

Puasanya Anak-Anak Sekarang

“Ceramahnya masih lama? Bosan nih”

Waktu berputar. Selalu ada hal-hal baru di dunia ini, sebagiannya adalah penyempurnaan dari hal yang sudah lama ada.

Udara pagi menyapa dengan lembut. Angin dingin yang kering di musim kemarau terasa menusuk. Matahari belum lagi menampakkan seluruh tubuhnya, cahayanya masih malu-malu. Hari itu minggu pagi, di sebuah komplek perumahan.

Di depan jalan masuk kompleks, tepat di bibir jalan besar puluhan anak-anak muda dan remaja tanggung berkumpul. Mereka riuh bersenda gurau satu sama lain. Tapi bukan cuma bersenda gurau, ada yang berbeda. Beberapa dari mereka melemparkan petasan-petasan kecil ke udara. Petasan meletus, mengeluarkan suara yang mengganggu di telinga. Sang pelaku tertawa riang, apalagi karena temannya terlihat kaget. Anak-anak perempuan beteriak-teriak dan berlarian setiap kali petasan-petasan itu dilempar ke udara atau ditaruh di tanah.

Saya berdiri tidak jauh dari mereka. Saya harus menunggui taxi yang sudah saya pesan, jadi mau tidak mau harus berada dalam keriuhan itu. Sesekali saya menatap tajam ke anak-anak tanggung itu. Suara petasan benar-benar mengganggu, dalam hati saya bersumpah kalau ada salah satu dari mereka yang melempar petasan ke dekat saya, maka saya siap mendaratkan kepalan tangan saya ke wajah sang pelaku.

Saya benci petasan. Suaranya benar-benar mengganggu, belum lagi tingkah riuh anak-anak itu yang seolah-olah kegirangan ketika ada orang lain yang kaget setengah mati. Seseorang dari mereka malah sudah keterlaluan. Petasan kecil yang sudah dibakar dengan cepat dia masukkan ke bagian belakang jaket temannya, tak ayal sang teman sibuk menggelinjang mengeluarkan petasan itu dari dalam jaketnya. Mereka menganggapnya lucu, tapi sesungguhnya beresiko.

Entah siapa yang memulai, tapi makin lama petasan ini terasa makin mengganggu. Dari lini masa di twitterpun banyak yang berkomentar menyatakan kekesalan mereka pada aksi anak-anak itu bermain petasan. Parahnya lagi karena pelaku-pelakunya kadang tidak mengenal waktu, suara petasan bisa terdengar kapan saja. Di pagi hari yang tenang, siang hari yang terik hingga malam hari yang dingin. Petasan sudah lebih dari dosis obat.

Minggu pagi itu, sambil menahan kesal pada anak-anak tanggung yang girang membakar petasan itu ingatan saya pada ramadhan masa kecil melayang-layang.

Dua puluhan tahun yang lalu saya tinggal di sebuah daerah yang masih seperti sebuah kampung. Rumah hanya ada 12 unit, berderet tepat di depan hamparan sawah dan hutan tipis. Di depan rumah kami ada sungai kecil dengan airnya yang tak seberapa dalam.

Selepas sahur saya dan teman-teman yang tak seberapa banyak itu akan berjalan sejauh kurang lebih 300 meter dari rumah untuk menjangkau masjid terdekat. Di sana kami bergabung dengan anak-anak sebaya lainnya dari kampung sebelah. Selepas sholat subuh maka agenda adalah jalan-jalan di sekitar kampung. Kalau anak-anak sekarang bermain petasan, kami dulu bermain dengan busi bekas.

Busi bekas kami lubangi ujungnya, kemudian tutupnya menggunakan baut yang diikat dengan karet. Isi bagian dalam busi diganti dengan serbuk mesiu yang diambil dari pentolan korek gas kemudian ditutup dengan baut yang tadi. Bagian belakang busi diberi hiasan dari tali rafia, seperti rok para penari hula-hula.

Busi yang sudah diisi mesiu ini dilempar ke udara, ketika kepalanya menyentuh tanah maka terdengar ledakan kecil dan kemudian melentingkan busi kembali ke udara. Semua berteriak girang, apalagi ketika lentingan busi sangat tinggi. Tapi aksi meledakkan busi bekas ini biasanya tidak panjang karena kami biasanya kekurangan amunisi. Maklum, kami anak-anak kampung yang miskin. Untuk membeli korek kayu saja rasanya berat.

Sebelum petasan datang, kami juga pernah bermain yang sama. Bedanya, anak-anak sekarang hanya bisa membeli barang yang sudah ada. Dulu kami harus berjuang dulu sebelum bisa punya mainan. Kami harus mencari busi bekas, harus melepas kepalanya, mencari baut bekas, mencari karet, tali rafia dan asesoris lainnya. Ada proses kreatif dalam menciptakan mainan itu sebelum kami bisa menikmatinya.

Waktu berputar. Selalu ada hal-hal baru di dunia ini, sebagiannya adalah penyempurnaan dari hal yang sudah lama ada. Dulu kami dan generasi sebelum kami harus memutar otak untuk bisa menikmati sesuatu yang bernama permainan. Anak-anak sekarang cukup dengan merogoh kocek, mengeluarkan lembaran rupiah untuk menikmati sesuatu yang bernama permainan.

Waktu berganti. Tiap jaman hadir dengan tantangannya sendiri-sendiri. Anak sekarang punya cara sendiri untuk menunjukkan kreatifitasnya, tentu berbeda dengan cara generasi kita dulu. Dulu kita mengenal meriam bambu, atau lappo-lappo seperti yang saya ceritaka di atas. Anak-anak sekarang mengenal petasan dan kembang api. Apa bedanya? Semua punya suara yang sama. Hanya saja ada proses kreatif yang berbeda, ada tantangan yang berbeda.

Selamat hari anak nasional!

[dG]

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (3)

  1. dulu waktu kecilku juga masih kreatif daeng, bikin meriam bambu sampe alis ilang separo kena cipratan api di atas lubang sumbu…
    dan biarpun puasa, tetep kuat motong bambu tebal, lebih besar dari gawang sepakbola.

  2. 🙂
    Kalo di jamanku masih populerji yg namanya meriam bambu sama lappo-lappo, tapi petasan ada tonji…..

  3. Dua puluh tahun lalu saya juga mainan petasan busi. Cuma lihat sih, lebih tepatnya.. Daeng Ipul 30 tahun yg lalu, kaleee…

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.