Internet

Media Pembunuh Jurnalisme

ilustrasi
ilustrasi

Kalau hanya mengejar kecepatan dan bukan ketepatan, maka kaidah dasar jurnalisme pun bisalah dikesampingkan.

Saya tidak pernah belajar jurnalistik secara formil, hanya pernah diajar beberapa jurnalis untuk menjadi pewarta warga. Dalam pelatihan tidak formil itu ada banyak hal yang ditekankan kepada saya dan peserta lainnya, termasuk kesediaan untuk menghamba pada kebenaran dan hanya pada kebenaran. Tak sepantasnya para jurnalis (meski itu hanya jurnalis warga) membuat sebuah berita hanya berdasarkan pada asumsi semata, abai pada cover both side, abai pada etika dan semata-mata hanya karena mengejar sensasi.

Prinsip itu kami pegang teguh. Meski hanya berlabel pewarta warga, kami tak lantas membuat cerita seenak perut kami. Setiap tulisan yang bernuansa berita berusaha kami susun dengan mengikuti kaidah-kaidah dasar jurnalistik. Pokoknya tidak asal jadi. Karena kami juga dicekoki prinsip kalau kerja jurnalistik itu kerja mulia, mengabarkan kebenaran sepahit apapun.

Lalu waktu berputar, perlahan-lahan media massa mengalami perubahan tren. Media cetak mulai memudar, media daring malah makin berjaya seturut dengan tingkat penetrasi penggunaan internet yang semakin tinggi. Berbeda dengan media cetak, media daring umumnya lebih mengejar kecepatan, bukan ketepatan. Apalagi penyangga utama mereka adalah jumlah klik yang bisa dikonversi menjadi jumlah uang. Semakin sering diklik maka kemungkinan mengumpulkan uang juga semakin besar.

Karena sifatnya mengejar kecepatan dan sensasi maka tentu saja ketepatan dan kejujuran jadi nomor sekian. Logikanya begini, kalau para wartawan dan redaksi itu mengutamakan ketepatan maka itu berarti mereka harus mewawancarai banyak pihak, melakukan cover both side dan melakukan riset pendek. Bayangkan berapa banyak waktu terbuang untuk melakukan itu? Di sisi lain pesaing mereka sudah muncul dengan berita yang sama, tapi lebih cepat dan mungkin lebih sensasional. Jadi kesampingkan dulu ketepatan, yang penting cepat dan sensasional dulu.

Makanya kemudian tidak heran kalau banyak berita ecek-ecek yang berbau tidak sedap berseliweran di media sosial. Beberapa media daring mengangkat berita hanya berdasarkan pada ocehan satu sisi saja, bahkan hanya pada ocehan pengguna media sosial saja. Tidak lebih dari sebuah berita rombengan yang dipungut di sana-sini, lalu disatukan dan disajikan dengan kemasan “media massa arus utama”.

Masih ingat berita tentang seekor orang utan di kebun binatang Surabaya yang kabarnya hamil karena kelakuan seorang petugas penjaga kebun binatang? Berita ini diunggah oleh sebuah portal berita yang cukup besar di Indonesia. Beberapa hari kemudian ketika berita itu sudah dikonfirmasi sebagai berita hoax, portal beritanya kemudian membuat sebuah ralat dengan menyalahkan netizen yang dianggap lalai menyebarkan berita tersebut.

Lah kok enak? Mereka yang bernaung di bawah nama jurnalis dan punya struktur baku lalu ketika berita mereka salah, justru warga biasa yang disalahkan. Bukannya mereka yang seharusnya melakukan investigasi lebih dahulu untuk membuktikan berita itu benar atau tidak sebelum dilansir oleh media mereka?

Lalu, sebuah media lokal di Makassar juga pernah melakukan sebuah kesalahan fatal menurut saya. Seorang wanita bersuami tertangkap basah sedang asyik masyuk dengan seorang pria bukan pasangannya di sebuah hotel. Kejadian ini diberitakan bertubi-tubi oleh sebuah media daring lokal dengan mengesampingkan etika. Foto wajah si ibu dicomot begitu saja dari laman Facebooknya, dipajang di media daring tersebut. Bahkan ada media daring yang terang-terangan menulis nama si ibu tanpa inisial, lengkap dengan nama akun Facebooknya.

Koreksi kalah saya salah, tapi menurut saya ini menyalahi etika jurnalisme. Bukankah urusan itu bukan konsumsi publik? Atau kalaupun itu sudah masuk ranah hukum maka tersangka tidak terbukti bersalah sebelum diputuskan pengadilan? Jadi tentunya tidak elok memajang data pribadi pelaku di media daring dengan begitu nyatanya, karena toh itu hanya akan mengundang orang untuk menjatuhkan hukuman sosial sebelum kita tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dua contoh di atas hanya sebagian kecil kelakuan media daring yang semakin hari sepertinya semakin abai pada etika jurnalistik. Berita hoax, berita tak terkonfirmasi, sampai berita yang bertendensi memecah belah, semua dipajang dan diberitakan tanpa harus melalui proses lagi. Pokoknya asal cepat, kalau bisa diberi judul sesensasional mungkin. Kalaupun berita itu salah, itu urusan belakang.

Kalau sudah begini, pantas dong kalau dibilang media daring sekarang tidak lebih dari pembunuh jurnalisme? Mereka tidak lagi mematuhi aturan-aturan dasar jurnalisme dan malah sibuk meminggirkannya. Lalu profesi wartawan yang seharusnya begitu mulia karena jadi pembawa berita kebenaran pelan-pelan jatuh jadi hanya sekadar penyebar berita bohong yang dangkal.

Betapa malangnya jurnalisme, dibunuh oleh anak-anak kandungnya sendiri. Perih bok! [dG]

 

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. Sementara saya disini belajar tentang media. Ketika harus memberi contoh tentang apa yang terjadi di Indonesia, saya hanya bisa mengurut dada.

    Dada ayam kaefsi.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.