Menyelamatkan Penyu, Menyelamatkan Kehidupan

Sampan karya Arfah Aksa
Sampan karya Arfah Aksa

Kalau manusia terakhir sudah mati maka kehidupan baru akan tumbuh, tapi ketika serangga terakhir mati maka kehidupan akan ikut mati.

Saya pernah membaca quote di atas, sebuah quote yang sangat menusuk tentang bagaimana kehidupan di dunia justru bisa musnah karena mahluk bernama manusia, mahluk yang katanya paling cerdas dan berbudi tapi sekaligus paling serakah. Karena keserakahannya yang tak berbatas itu manusia jadi tega menghancurkan kehidupan, memusnahkan satu persatu elemen alam, dari mahluk hidup terbesar hingga terkecil sekalipun.

Foto Sampan karya Arfah di Mahakarya Indonesia oleh Dji Sam Soe mengingatkan saya pada sebuah perjalanan dua tahun lalu ke sebuah pulau di jejeran Spermonde. Bukan sampannya yang membuat ingatan saya melayang ke masa itu, tapi latar laut dan matahari tenggelamnya. Spermonde sendiri adalah istilah dari bahasa Belanda yang diberikan kepada gugusan pulau-pulau yang membentang di Barat daya pulau Sulawesi mulai dari Takalar di bagian selatan hingga ke Pare-Pare di bagian utara. Dinamakan spermonde karena jika dilihat dari atas, gugusan kepulauan ini memang menyerupai bentuk sperma. Spermonde terdiri dari kurang lebih 130 pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni.

Salah satu tujuan kami waktu itu adalah pulau Kapoposang yang letaknya sudah masuk dalam wilayah administratif kabupaten Pangkajene – Kepulauan. Jarak dari Makassar sebenarnya bisa ditempuh dengan kapal kayu bermesin selama kurang lebih 4 jam, hanya saja untuk ke sana memang tidak mudah. Tidak ada kapal reguler, kita harus menuju pulau terdekat dulu seperti pulau Sarappo sebelum bisa menyeberang ke Kapoposang.

Mungkin karena masih sulit dijangkau, pulau ini relatif masih asri. Ada puluhan kepala keluarga yang hidup di pulau yang tidak terlalu luas ini. Listrik hanya mengalir antara jam 6 sore sampai jam 6 pagi dengan bantuan genset, tidak ada operator selular yang menjangkau pulau ini. Buat pendatang, pulau ini memang cocok untuk tempat bersantai, keluar dari rutinitas sehari-hari, termasuk rutinitas bergaul dengan smartphone.

Baru menginjakkan kaki di pulau ini, kita sudah disambut oleh pasir putih sehalus bedak bayi. Air lautnya bening, membuat kita bisa melihat langsung dasar laut yang dipenuhi terumbu karang dan rumput laut. Benar-benar godaan yang sangat sulit untuk dilawan, membuat kita tak akan puas hanya dengan menatap keindahannya.

Menyelamatkan Penyu.

Tapi keindahan Kapoposang bukan hanya itu. Salah satu sisi pulau Kapoposang adalah habitat penyu, utamanya penyu sisik. Penyu-penyu itu datang dari lautan lepas dan bertelur di sana. Rupanya penyu adalah hewan yang tidak bisa melupakan asalnya, penyu-penyu itu meski sudah berenang ratusan kilometer suatu saat nanti akan kembali ke tanah tempat mereka menetas. Tentu untuk gantian menetaskan keturunan yang baru.

Tapi alam banyak berubah. Manusia dengan keserakahannya merusak keseimbangan alam sedikit demi sedikit. Penyu-penyu itupun mulai kehilangan tempat aman dan nyaman, tempat di mana mereka bisa bertelur dan meneruskan keturunan dengan khidmat. Ada pemburu jahat yang menjadikan mereka sebagai sasaran dan ada rantai kehidupan yang menghapus kenyamanan mereka. Jadilah penyu-penyu itu mencari tempat lain untuk bertelur, yang tidak bisa bertahan terpaksa menyerah pada keserakahan manusia.

Tapi masih ada manusia yang tidak serakah, manusia yang sadar kalau alam adalah milik bersama semua mahluk hidup. Semua punya hak yang sama untuk hidup di muka bumi tanpa harus dikuasai satu spesies saja. Manusia-manusia yang masih punya kesadaran itulah yang kemudian berusaha untuk menyeimbangkan kembali alam ini, mengembalikan hak para penyu yang terampas.

Ada penangkaran penyu di Kapoposang, dikelola warga dengan bantuan beberapa LSM dan pemerintah. Dengan cara yang mendekati aslinya mereka mencoba memberi kehidupan kepada penyu-penyu kecil itu. Mula dari menetaskan telur, memelihara penyu kecil sampai melepas mereka kembali ke lautan.

Penyu yang dilepas ke lautan
Penyu yang dilepas ke lautan

Ketika tiba di pulau Kapoposang, kami diajak untuk ikut melihat-lihat penangkaran penyu itu sekaligus melepas mereka ke lautan. Melihat mahluk kecil itu tiba-tiba saya merasa bersalah, karena keserakahan spesies kami mereka jadi korban. Jumlah penyu makin lama makin menipis, entah karena perburuan, entah karena habitat mereka yang mulai terganggu.

Sepertinya memang benar, jika saja bumi ini tidak dihuni manusia maka kehidupan-kehidupan baru mungkin akan tumbuh dengan pesat. Dan ketika satu spesies saja lenyap tak bersisa, maka mungkin bumi ini malah akan mendekati kehancuran. Menikmati alam memang menyenangkan, tapi kadang kita lupa untuk menjaganya. Sebagai mahluk paling sempurna kita malah menghancurkannya, sadar atau tidak. [dG]