Melawan Hoaks Virus Corona
Seperti gula pada semut, maraknya berita tentang virus corona juga mengundang banyaknya hoaks untuk mendekat.
Virus corona. Berita tentang penyebaran virus ini sedang jadi pembicaraan hangat di Indonesia – bahkan mungkin di seluruh dunia. Virus yang membuat kota Wuhan jadi seperti kota mati, belum lagi berita-berita tentang penyebarannya di beberapa daerah di dunia. Berita-berita media massa, maupun media sosial dipenuhi berbagai cerita dan berita tentang corona.
Lalu, seperti semut yang suka merubungi gula, hoaks seputar virus pun menyebar. Baik lewat media sosial, maupun lewat bilik-bilik percakapan.
SAFENet, kelompok relawan kebebasan berekspresi di internet sampai tanggal 3 Februari kemarin mencatat setidaknya ada 54 hoaks seputar virus corona yang sudah menyebar di internet di Indonesia. Isinya macam-macam, mulai dari informasi masuknya virus corona ke Indonesia, makanan yang jadi penyebab virus corona, foto mayat bergelimpangan di Wuhan yang diduga karena virus corona, sampai yang paling menggelikan bahwa virus corona bisa menular lewat HP Xiaomi yang memang buatan Tiongkok.
Kemarin, seorang kawan di sebuah grup WhatsApp tiba-tiba saja meneruskan pesan entah dari mana. Pesan itu lumayan panjang, dimulai dengan ucapan innalillahi wainna ilihi rojiun, lalu disambung salam assalamu alaikum wr.wb. Setelahnya ada kutipan sumber yang (katanya) berasal dari ibu-ibu duta besar (mungkin maksudnya kedutaan besar) Indonesia di Kuala Lumpur. Lalu mulailah inti dari pesan itu.
Dalam pesan itu dikatakan kalau ada pekerja pabrik makanan kaleng di Tiongkok yang keringatnya menetes ke dalam makanan kaleng yang diproduksi pabriknya. Mereka itu katanya mengidap virus corona, jadi virus itu sudah masuk ke dalam makanan kaleng yang diproduksi oleh pabrik itu. Karenanya, diharapkan agar masyarakat untuk sementara waktu menghindari makanan dari luar, khususnya dari Tiongkok karena dikhawatirkan kita akan terjangkit virus corona.
Lalu pesan itu ditutup dengan membawa-bawa nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kemudian nama RSCM, RS Fatmawati, RS Siloam dan nama Dr. H. Ismuhadi, MPH – yang saya tidak tahu siapa dia.
Bantahan Hoaks Tersebut
Dari awal saya sudah tidak percaya pada berita itu. Polanya persis sama seperti pola hoaks yang biasa beredar. Tatanan kalimat yang amburadul, dimulai dengan salam, memasukkan banyak nama-nama lembaga atau orang biar terkesan intelek (dalam pesan itu ada kedutaan besar, ada nama rumah sakit, dan ada nama dokter).
Saya coba cari di internet dan sepertinya itu memang hoaks yang masih segar karena belum ada bantahannya. Saya pikir, hebat juga teman saya ini. Dia lumayan update untuk urusan hoaks. Padahal biasanya dia agak belakangan soal menyebar hoaks di grup WA. Mungkin dia sudah memperbaiki kemampuannya.
Dari pencarian saya terbukti kalau pesan itu bukan pesan baru. Pesan itu pesan daur ulang dari hoaks yang sudah ada sebelumnya.
Beberapa tahun lalu ada hoaks beredar bahwa virus HIV dari Thailand menyebar lewat makanan kaleng. Pesannya hampir sama, pola dan narasinya sangat mirip. Dimulai dengan dubes dan diakhiri dengan nama-nama rumah sakit dan nama dokter. Hanya bagian virusnya saja yang diubah.
Sampai di sini jelas dong kalau ini hoaks.
Bantahan itu saya masukkan ke grup tepat di bawah pesan hoaks yang dikirim teman itu. Tidak ada reaksi, semua diam. Termasuk sang pengirim hoaks sendiri. Beberapa jam kemudian ada teman lain yang memosting video ke grup yang sama. Saya tidak tahu apa isi videonya, saya tidak mengatur untuk mengunduh otomatis video yang masuk ke grup. Video itu langsung disambut oleh teman yang tadi mengirim hoaks dengan ikon ketawa.
Buset! Ketika saya menimpali hoaks yang dia kirim, dia diam saja. Ketika orang lain mengirim pesan yang entah apa isinya, dia langsung membalas. Luar biasa!
Keesokan harinya (hari ini tanggal 4 Februari) muncullah bantahan dari Mafindo tentang hoaks tersebut. Sebelumnya, eyang Anjari – seorang blogger yang juga bagian dari humas Kemenkes – sudah ngetwit dan membeberkan kenapa pesan itu hoaks.
Bantahan dari Mafindo itu saya masukkan kembali ke grup tempat hoaks itu pertama muncul. Tentu dengan membalas pesan hoaks yang dipost sehari sebelumnya. Maksudnya biar sang pengirim pesan tahu. Tapi ternyata tidak saudara-saudara! Dia sama sekali tidak memberikan tanggapan. Sama sekali.
Bahkan, beberapa jam kemudian dia malah muncul dengan pesan yang diteruskan dari orang lain. Pesan berisi pesan berantai semacam “Dajjal sudah muncul di bumi, dan kalau kamu tidak menyebarkan pesan ini ke tiga grupmu, maka anakmu akan jadi korban.”
Oh Tuhan!
Baiklah, ini saat yang tepat untuk memohon diri dari grup itu.
“Ambil Hikmahnya Saja”
Saya suka heran sama orang-orang yang hobi sekali menyebar hoaks itu. Sebenarnya beberapa dari mereka itu punya niat baik. Mereka ingin menyelamatkan orang banyak dari hal-hal yang merusak atau bahkan mematikan. Makanya begitu ada pesan yang menurut mereka berguna, pesan itu segera diteruskan ke sebanyak mungkin orang lain.
Tapi sayangnya niat baik tidak bisa kalau tidak dibarengi pengetahuan.
Menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya akibatnya hanya akan lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya. Alih-alih menyelamatkan orang, yang ada malah menumbuhkan kepanikan yang tidak beralasan.
Sayangnya, banyak dari penyebar hoaks itu yang ketika diberitahu baik-baik, dikasih bantahan, atau minimal penjelasan kalau itu hoaks, malah diam. Tidak berkomentar sama sekali, tidak merasa bersalah sama sekali. Paling menyebalkan kalau mereka malah balik menyerang orang yang sudah membenarkan.
Di sisi lain, ada juga yang setelah diberi penjelasan malah menjawab:
“Yah, mudah-mudahan saja memang benar hoaks”, atau
“Kita ambil hikmahnya saja,” atau
“Saya kan cuma meneruskan dari grup sebelah”.
Apa? Oh Tuhan!
Sebenarnya setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Tidak tertutup kemungkinan siapapun kita mungkin pernah juga percaya atau menyebarkan hoaks. Itu manusiawi karena manusia memang tempatnya salah. Tapi, ketika tahu kita salah maka hal terbaik adalah bertanggung jawab terhadap kesalahan itu. Meminta maaf, menghapus pesan kalau memang pesan itu terbukti salah, dan paling penting tidak melakukannya lagi.
Bukan malah diam atau mencari pembenaran.
Tapi hal yang paling penting memang adalah dengan berusaha meredam nafsu menyebarkan berita atau pesan yang belum tentu benar. Filternya ada di tangan kita sendiri. Tidak usah jadi orang yang sok pahlawan kalau kita akhirnya malah merugikan kita atau orang lain. Kita bisa jadi orang pertama yang meredam hoaks, tanpa harus bergantung pada orang lain.
*****
Meredam hoaks memang tidak mudah. Kadang kita harus berhadapan dengan teman sendiri atau keluarga sendiri. Bahkan seorang aktivis internet dengan kapasitas yang sudah diakui orang banyak mengaku kesulitan untuk melawan hoaks di dalam grup keluarganya sendiri. Tapi, kalau bukan kita siapa lagi? Mau tidak mau kita harus berkeras hati melawan hoaks itu. Demi kebaikan bersama.
Tapi, kalau memang tidak kuat lagi ya sudah, lambaikan tangan pada kamera. Leave group.[dG]
Dari cerita Daeng, saya jadi bisa membayangkan gimana penyebaran hoaks. Dipikir-pikir lagi, semuanya sangat bergantung sama filter yang ada di pikiran masing-masing, ya? Saya jadi merasakan betul manfaatnya diajarin soal metode ilmiah sama guru di SMP dulu, yang ternyata bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa sebelum pengetahuan dianggap benar harus lewat ujian dan verifikasi dulu.
paling penting sebenarnya memang berpikir kritis
jangan langsung percaya pada informasi apapun yang kita terima
Saya juga alami ini, malahan saya bilangi, “Patabbangkanu deh, kukira siapa yang meninggal.” Hahaha…soalnya didahului dengan kata innalillah.
Sayangnya yang share itu diam, hehehe…
biasanya begitu
kalau sudah sebar hoax, diam mi nda komentar
nanti pi lagi baru sebar hoax lagi
Wahh jadi takut dan cemas juga selama ada berita itu muncul,tapi semua kembalikan kepada Allah yang maha kuasa.Semoga kita semua diliindungi Amin
“Yah, mudah-mudahan saja memang benar hoaks”, atau
“Kita ambil hikmahnya saja,” atau
“Saya kan cuma meneruskan dari grup sebelah”.
Sering juga dapat balasan begini setelah diberi bukti bahwa yang dikirimnya hoax. Begitulah netijen +62.